Liputan6.com, Yogyakarta - Beberapa Batik Larangan dihadirkan dalam pameran batik 'Adiwastra Narawita: Kain Indah Sang Raja' di Taman Pintar Yogyakarta Jalan Panembahan Senopati 1-3, Yogyakarta. Selama ini, batik larangan yang sudah banyak diketahui adalah batik parang.
Dalam pameran tersebut, dihadirkan beberapa batik larangan yang merupakan modifikasi dari Batik Parang. Gusti Kanjeng Ratu Bendara mengungkapkan, dari sekian banyak batik yang dominan dengan warna coklat dan putih, terdapat batik yang latarnya berwarna hitam dengan goresan hijau.
Batik tersebut adalah batik Radyo Katiyoso, yakni batik yang dibuat khusus untuk para edukator yang berada di Museum Keraton Yogyakarta. Terdapat aksara Jawa pada motif batik tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Menurut GKR Bendara, setiap batik memiliki filosofinya masing-masing. Sebut saja batik Parang Barong yang terdapat semacam tangga pada motifnya.
Batik tersebut merupakan kemurnian diri. Diharapkan, siapapun yang mengenakan batik tersebut memang hatinya murni saat mengenakan.
Sementara itu, pada batik Kawung memiliki motif yang terkesan berputar dengan warna putih di bagian tengah, yang diartikan sebagai roda itu berputar atau kembali kepada nol. Intinya adalah tentang bagaimana mencapai sebuah kemuliaan di dunia, tetapi tetap suci.
Mengutip dari kratonjogja.id, Batik Larangan Keraton Yogyakarta atau yang juga disebut awisan dalem adalah motif-motif batik yang penggunaannya terikat dengan aturan-aturan tertentu di Keraton Yogyakarta dan tidak semua orang boleh memakainya. Adapun yang termasuk Batik Larangan di Keraton Yogyakarta, di antaranya Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, Parang-parangan, Cemukiran, Kawung, dan Huk.
Setiap Sultan yang sedang bertahta memiliki kewenangan untuk menetapkan motif batik tertentu ke dalam batik larangan. Parang rusak adalah motif pertama yang dicanangkan sebagai pola larangan di Kesultanan Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada 1785.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Motif Huk dan Kawung
Saat pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII, batik larangan ditekankan pada motif huk dan kawung. Motif huk terdiri dari motif kerang, binatang, tumbuhan, cakra, burung, sawat (sayap), dan garuda.
Motif-motif tersebut memiliki maknanya tersendiri. Sebut saja motif kerang yang bermakna kelapangan hati, motif binatang menggambarkan watak sentosa, motif tumbuhan melambangkan kemakmuran, serta motif sawat bermakna ketabahan hati.
Motif ini dipakai sebagai simbol pemimpin yang berbudi luhur, berwibawa, cerdas, mampu memberi kemakmuran, serta selalu tabah dalam menjalankan pemerintahannya. Motif huk ini hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.
Adapun motif kawung merupakan pola geometris dengan empat bentuk elips yang mengelilingi satu pusat. Bagan seperti ini dikenal dalam budaya Jawa sebagai 'keblat papat lima pancer'.
Motif tersebut dimaknai sebagai empat sumber tenaga alam atau empat penjuru mata angin.Pendapat lain mengatakan bahwa kawung menggambarkan bunga lotus atau teratai yang sedang mekar.
Bunga teratai umumnya digunakan sebagai lambang kesucian. Motif kawung juga sering diartikan sebagai biji kawung atau kolang-kaling, yakni buah pohon enau atau aren yang sangat bermanfaat bagi manusia.
Oleh sebab itu, pemakai motif ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lingkungannya. Motif kawung ini hanya boleh dipakai oleh para Sentana Dalem.
(Resla Aknaita Chak)
Advertisement