Liputan6.com, Jakarta - Gangguan kesehatan mental mulai mendapatkan fokus tersendiri dari sebagian masyarakat, termasuk dari kalangan remaja. Mereka pun mulai aktif mencari bantuan progresif saat merasakan hal yang aneh pada dirinya.
Psikolog Klinis Nirmala Ika menyatakan pola asuh menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi permasalahan kesehatan mental pada remaja. Mulai dari orang tua, keluarga, hingga guru.
Advertisement
"Namanya anak tetap butuh arahan, tetap butuh bimbingan sampai akhirnya mereka bisa jadi atau bisa kita lepas. Sebagai orang tua harus mau berubah. Dulu kita identitas kita jelas gitu, kita ke suku atau agama ya, tapi anak-anak sekarang enggak bisa begitu, kenapa karena tadi paparan informasi mereka itu besar banget," kata Nirmala kepada Liputan6.com.
Menurut dia, setiap orang dewasa harus tetap menyadari bahwa adanya jarak antara generasi terdahulu dengan saat ini. Mulai dari perkembangan teknologi, pola asuh, hingga tantangan yang dihadapi oleh remaja saat ini.
Karena hal itu diperlukan pendekatan-pendekatan yang berbeda untuk memahami mereka. Selain itu, kata Nirmala, para orang dewasa juga harus memiliki kemauan untuk memahami adanya perbedaan tersebut.
"Kalau memang tujuan kita untuk kebaikan anak-anak untuk masa depan kita harus sama-sama berubah. Anak-anak ini memang perlu disiapkan untuk masa depan mereka, tapi bukan dimanja, jadi secara mental dan fisik, secara etos kerja dan lain-lain. Kita sebagai orang tua juga harus mau berubah untuk menyiapkan mereka," papar dia.
Gangguan Kecemasan
Saat ini rata-rata para remaja yang menjalankan konseling kepada Nirmala lebih banyak mengalami gangguan kecemasan. Mulai dari kekhawatiran akan masa depan hingga kesalahan persepsi dalam menerima situasi atau permasalahan yang sedang dihadapi.
"Buat mereka itu suatu masalah yang besar jadi yang sering dimunculkan adalah tidak semangat sekolah, takut untuk berinteraksi dengan orang, depresi sampai punya keinginan untuk mengakhiri hidup," dia menandaskan.
Isu kesehatan mental di Indonesia telah menjadi fokus berbagai pihak. Meski tak dimungkiri masih diselimuti tabu dan stigma negatif, namun perhatian pada gangguan kesehatan jiwa semakin tumbuh kesadarannya di masyarakat.
"Sebenarnya masalah gangguan jiwa di mana saja bisa terjadi dan bisa siapa saja, dari status ekonomi apa saja dari rendah sampai tinggi, dari kondisi lingkungan apa saja semua memiliki potensi untuk mengalami masalah bahkan gangguan jiwa," kata Ahli Madya Epidemiologi Kesehatan Direktorat Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Edduwar Idul Riyadi, dalam jumpa pers virtual "Peluncuran Survei Kesejahteraan Mental dan Pusat Kesehatan Digital TikTok," Rabu, 12 Oktober 2022.
Peningkatan Stres Pengaruhi Kondisi Kejiwaan Seseorang
Edduwar melanjutkan, prevalensi gangguan jiwa berat saja di seluruh dunia hampir sama. Misal, gangguan jiwa berat disebut sebagai gangguan psikotik hingga skizofrenia, di seluruh dunia tidak jauh beda, yakni rata-rata 0,5-1 persen.
"Artinya tidak ada pengaruh dia di kota, Eropa, Amerika, Indonesia, itu tetap prevalensinya seperti itu. Memberi gambaran bahwa masalah gangguan jiwa itu memang ada di bagian masyarakat kita. Semakin banyak penduduk, semakin juga tinggi prevalensi gangguan jiwa di satu daerah tersebut," dia menerangkan.
Ia mengungkapkan bahwa di kota seperti Jakarta dengan penduduk yang padat, tingkat stresnya lebih tinggi dibanding di desa. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang dapat sebagai faktor risiko meningkatnya stres pada seseorang.
"Peningkatan stres itu juga bisa memengaruhi kondisi kejiwaan seseorang, tapi ingat, kondisi kejiwaan seseorang juga dipengaruhi oleh ketahanan atau resiliensi mental seseorang," tuturnya.
Edduwar mengatakan ketahanan mental sangat berperan dan berpengaruh pada diri seseorang. Ketahanan mental, kata dia tidak instan tetapi melalui suatu proses dari tahap perkembangan mulai masa kecil, remaja dan dewasa, termasuk kehidupan atau lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.
"Ini yang membentuk ketahanan mental seseorang, sehingga kadang-kadang kita berpikir 'kok, masalah segitu saja bisa jadi terganggu' ini yang biasa kita pikir sepele, padahal sebenarnya itu bukan masalah sepele karena setiap orang memiliki ketahanan mental yang masing-masing berbeda untuk menilai stres-stres atau masalah yang timbul dalam kehidupannya," kata Edduwar.
Ia menegaskan untuk tidak memandang remeh suatu persoalan, mengingat setiap orang memiliki kondisi-kondisi berbeda dalam menghadapi stresnya. Dalam situasi tersebut, ia menyarankan untuk pergi ke tenaga profesional atau bisa self-care.
"Self-care itu salah satu cara kita untuk mengatasi persoalan-persoalan kesehatan mental yang ada dalam diri kita. Kalau kita mumet kerjaan seperti lagi banyak tekanan, tugas, capek ingin ngopi itu salah satu sikap untuk menangani kondisi stres kita itu disebut sebagai self-care kita, kadang-kadang kita enggak sadari bahwa itulah self-care," terangnya.
Advertisement