Liputan6.com, Jakarta - Bagi orang Indonesia, menyelesaikan masalah secara kekeluargaan mungkin sudah tidak asing lagi. Sayangnya, cara ini kerap digunakan pula untuk kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekat.
Menilik data himpunan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), ada sebanyak 11.952 kasus kekerasan pada anak sepanjang 2021. Dari data itu, 7.004 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual.
Advertisement
Sedangkan, kekerasan terhadap perempuan mencapai 8.478 kasus pada 2021, yang 1.272 diantaranya adalah kasus kekerasan seksual. Entah berapa ribu kasus lagi yang tidak dilaporkan.
Wakil Sekjen Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), dr Baety Adhayati mengungkapkan bahwa seringkali yang membuat korban kekerasan seksual takut untuk melapor adalah fakta terkait pelaku yang ternyata merupakan orang dekat. Seperti ayah kandung, ayah tiri, sanak saudara, dan lainnya.
"Bisa kadang-kadang justru lingkungan yang tidak kita sadari. Misal, seperti guru ngaji. Itu ternyata ada juga kasusnya. Jadi orang-orang yang korban percaya, yang sudah dekat," ujar Baety dalam media briefing bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ditulis Minggu, (30/10/2022).
"Banyak orangtua-orangtua yang datang memeriksakan anaknya, kemudian ketika mereka mengetahui peristiwa yang terjadi itu mereka tidak nyangka, karena itu masih keluarga atau tetangga. Padahal orangnya kelihatan baik."
Tak berhenti di sana, relasi kuasa pun menjadi faktor selanjutnya mengapa korban takut lapor. Dimana ada hubungan kuat antara pelaku dan korban, sehingga ada kendali dari pelaku terhadap korban.
Tantangan yang Dihadapi Korban Kekerasan Seksual
Belum lagi stigma-stigma yang masih beredar di masyarakat terkait keperawanan. Banyak korban akhirnya memilih bungkam lantaran tidak mau mendapatkan stigma dan merasa semakin tidak berharga.
"Kemudian stigma-stigma yang lazim ada di masyarakat. Pola pikir masyarakat yang menilai bahwa ketika seseorang menjadi korban kekerasan seksual, berarti sudah ada kerusakan di alat kelamin. Artinya dia sudah tidak perawan. Ya sudah, berarti kalau sudah tidak perawan, masa depannya hancur. Ini banyak diungkap oleh orangtua korban kekerasan seksual anak," kata Baety.
Padahal menurut Baety, masalah perawan dan tidak perawan bukanlah sesuatu yang penting untuk masa depan seseorang. Apalagi pada kasus anak yang masih punya potensi untuk berkembang, termasuk pada struktur selaput daranya.
"Inilah hal-hal yang menjadi stigma di masyarakat. Sehingga kebanyakan korban atau justru keluarga yang diharapkan menjadi pelapor, apalagi kalau korbannya anak-anak, justru tidak melapor," ujar Baety.
Advertisement
Terhambat Secara Psikologis
Baety menjelaskan, hambatan psikologis seperti rasa takut, malu, serta adanya rasa bersalah menjadi faktor selanjutnya yang membuat korban tidak melapor.
"Ada yang menyalahkan diri sendiri. Ini biasanya anak-anak yang kurang diawasi orangtuanya. Sehingga orangtuanya merasa ini ada bagian dari kontribusi kami, karena enggak terawasi dengan baik," kata Baety.
"Apalagi kalau sampai korbannya hamil. Ini lebih-lebih lagi ya, malah kadang korbannya diisolasi. Sekolahnya berhenti, dipindahin rumahnya, sampai misalnya nanti dia lahiran orang enggak tahu karena ada rasa malu," tambahnya.
Selain itu, ada pula faktor ancaman yang diterima korban, yang akhirnya membuat korban takut untuk melapor tindak kekerasan seksual yang dialami.
"Biasanya karena diancam, awas ya kalau lapor nanti disebarkan videonya. Itu banyak terjadi. Kemudian kalau lapor nanti mau dibunuh atau diancam orangtuanya nanti yang dibunuh," kata Baety.
Kekerasan Seksual, Layaknya Fenomena Gunung Es
Dalam kesempatan yang sama, Baety mengungkapkan bahwa asus kekerasan pada perempuan maupun anak khususnya kasus seksual berjalan seperti fenomena gunung es.
"Data yang terjadi ini hanyalah puncaknya saja. Jadi fenomena gunung es, masih banyak kasus-kasus lain yang belum terdata karena banyak kendala," kata Baety.
Baety menjelaskan, kendala yang dimaksud antara lain adalah korban tidak mau melapor, tidak tahu mau lapor kemana, dan infrastruktur di wilayah korban belum sepenuhnya bisa menjangkau korban.
Di samping itu, ada pula faktor-faktor seperti ketidakmampuan korban. Serta, ketidaktahuan korban soal kekerasan seksual yang dialaminya merupakan sebuah kesalahan. Mengingat ada beberapa korban yang justru tidak merasa dirinya korban.
"Ini biasanya pada anak-anak yang umur sekitar tiga lima tahun, belum usia sekolah. Atau usia sekolah masih kelas satu dua, itu belum tahu kalau itu tidak boleh. Kenapa mereka tidak mengerti? Karena mungkin tidak diajari oleh orangtua dan pihak sekolah," pungkasnya.
Advertisement