Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengajak masyarakat dan jajarannya untuk terus bersiap, bahwa akan selalu ada tantangan-tantangan baru ke depan dengan tingkat kesulitan yang terus naik.
Sang Bendahara Negara pun bersyukur, ekonomi Indonesia bisa pulih dengan cepat dan kuat pasca pandemi Covid-19. Namun, dirinya enggan larut dalam sukacita berlebih.
Advertisement
"Kita mengawal pemulihan ekonomi, maka tentu kita juga melihat munculnya tantangan-tantangan baru yang selalu tidak lebih mudah. Kita lihat sekarang, dunia geopolitik dan ekonomi global yang mengalami tekanan yang bertubi-tubi, pasti akan memberikan imbas kepada perekonomian Indonesia," kata Sri Mulyani dalam Upacara Peringatan Hari Oeang RI ke-76, Senin (31/10/2022).
Dalam hal ini, Sri Mulyani pun menuntut Kementerian Keuangan selaku lembaga pengelola keuangan negara, untuk terus sigap merespon segala situasi.
"Kebijakan fiskal dan keuangan negara yang adaptif, responsif, fleksibel, namun tetap akuntabel dan transparan, serta dengan tata kelola yang baik, jadi kunci untuk terus menjaga masyarakat Indonesia, perekonomian Indonesia, dan menjaga keuangan negara sendiri," imbuhnya.
Sri Mulyani menyadari, meskipun telah mampu menangani pandemi, tantangan-tantangan baru akan hadir. Sehingga pemerintah dan masyarakat harus sigap menghadapinya.
"Ini juga merupakan tantangan yang bisa mencelakai, atau menurunkan daya pemulihan ekonomi nasional. Oleh karena itu, kita harus tangguh terus mengawal pemulihan," desak dia.
Dia berharap, peringatan Hari Oeang RI ke-77 tidak hanya dijadikan ajang untuk sukacita perayaan. Namun juga titik tekad bagi jajarannya untuk sigap menghadapi tantangan dan tangguh terus mengawal pemulihan ekonomi Indonesia.
"Karena setiap tantangan, apapun bentuknya, dia akan terus merongrong atau terus mencelakai terwujudnya cita-cita kemerdekaan RI," tegas Sri Mulyani.
Ekonomi Global 2023 Diramal Makin Suram, Bagaimana Nasib Indonesia?
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, situasi dan kondisi ekonomi global diprediksi masih akan tertekan sampai 2023. Hal itu disebabkan, inflasi di berbagai negara masih cenderung tinggi.
Sri Mulyani menjelaskan, seiring dengan gejolak harga dan pengetatan moneter maupun fiskal di berbagai negara, maka outlook perekonomian global menjadi melemah dan menjadi korban karena gejolak dan respons kebijakan.
Jika dilihat proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia terus dikoreksi menurun, untuk tahun 2022 proyeksi dari World Economic Outlook dari IMF hanya 3,2 persen, dan tahun depan akan semakin melemah.
“Artinya, pesan yang muncul juga dari pertemuan IMF world bank, G20, dan central bank yang baru terjadi minggu lalu itu mengkonfirmasi bahwa situasi ekonomi masih akan tertekan sampai 2023, dan inflasi masih cenderung tinggi,” ujar Menkeu dalam Konferensi Pers APBN KITA, Jumat (21/10/2022).
Bendahara negara ini menegaskan, tahun depan inflasi memang diramal masih cenderung tinggi walaupun diperkirakan sedikit mengalami penurunan. Namun masih pada level yang diperkirakan tinggi jika menggunakan standar 10 tahun terkahir.
Bahkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari negara-negara terbesar seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Tiongkok, semuanya menunjukkan tren pelemahan tahun ini dan tahun depan. Kendati begitu, Indonesia masih diproyeksikan oleh berbagai lembaga dunia cukup baik yaitu sekitar 5 persen.
“Namun kita tidak boleh tidak waspada karena guncangan ekonomi ini sangat-sangat kencang dan sangat besar yang harus terus kita kelola dan waspadai secara baik,” ujar Menkeu.
Saat ini koreksi pertumbuhan ekonomi terjadi di semua negara, kalau dunia tadi mengalami penurunan 3,2 persen dan tahun depan melemah di 2,7 persen. Berarti dalam hal ini sudah terjadi koreksi ke bawah, dan nanti bulan Desember akan melihat lagi proyeksi untuk 2023 yang mana diperkirakan situasi dunia akan semakin kompleks.
Hal itu disebabkan, karena tidak tahu kepastian kapan berakhirnya perang dan ini menimbulkan spillover yang sangat besar. Kedua, munculnya musim dingin atau winter yang akan menyebabkan permintaan energi meningkat, sementara pasokan tidak pasti dan ini akan memberikan tekanan pada harga-harga energi.
“Tentu kita lihat dengan inflasi yang tinggi, kenaikan suku bunga yang semakin drastis dan makin tinggi oleh bank-bank sentral akan makin melemahkan sisi permintaan. Ini yang harus kita waspadai sampai akhir tahun dan sampai tahun 2023,” pungkasnya.
Advertisement
Pertumbuhan Ekonomi Ciamik, Indonesia Aman dari Pasien IMF
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti, menegaskan kondisi Indonesia sejauh ini masih dalam posisi yang cukup baik perekonomiannya. Artinya, Indonesia tidak termasuk dalam 28 negara yang minta bantuan dana ke IMF.
Hal itu disampaikan Destry dalam peluncuran buku Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) No.39 bertajuk “Sinergi dan Inovasi Kebijakan untuk Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dan Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Nasional”, Jumat (21/10/2022).
“Pertemuan IMF World Bank Annual Meeting yang baru saja selesai di Washington DC dan terinfo bahwa pada saat ini sudah ada 28 negara yang telah mengajukan permintaan bantuan keuangan dari IMF. Nah, bagaimana dengan Indonesia Alhamdulillah sejauh ini kita masih dalam posisi yang cukup baikn, dimana perekonomian kita di kuartal 2 kemarin masih bisa tumbuh di atas 5 persen,” kata Destry.
Bahkan, Bank Indonesia optimis memperkirakan sepanjang Tahun 2022 ini perekonomian Indonesia bisa tumbuh di kisaran 4,5 – 5,3 persen.
Lanjutnya, kondisi perekonomian global saat ini menghadapi suatu ketidakpastian yang sangat tinggi. Bank Indonesia menyebut kondisi itu VUCA, yakni Volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity.
“Nah ini, tentunya akan menyebabkan tekanan tidak hanya pada negara maju tetapi juga pada negara berkembang. Bahkan kalau kita lihat episentrum dari terjadinya Gejolak VUCA saat ini adalah kita lihat di negara maju,” ujarnya.
Masalah AS
Dia mencontohkan, negara yang mengalami VUCA adalah Amerika Serikat (AS). Negara yang dijuluki Paman Sam ini menghadapi tekanan inflasi yang sangat tinggi, dan kemudian direspon dengan kebijakan moneter suku bunga yang sangat agresif.
“Sehingga Ini akhirnya memberikan tekanan, bukan hanya untuk negaranya sendiri tapi juga untuk negara maju sekitarnya dan juga untuk negara-negara emerging seperti Indonesia,” ujarnya.
Disamping itu, kondisi ketidakpastian ini kemudian juga makin diperparah dengan terjadilah perang antara Rusia dengan Ukraina. Kemudian juga ada kebijakan proteksionisme masing-masing negara dan juga tambahan lagi dengan adanya zero covid policy di China, yang akhirnya membuat ekonomi China juga tertahan pertumbuhannya.
“Kita melihat fenomena terjadinya perlambatan ekonomi secara global dan bahkan diperkirakan akan terjadi resesi di tahun 2023,” ujarnya.
Advertisement