Australia Pulangkan Warganya yang Terdampar di Kamp Suriah Sejak ISIS Jatuh

17 warga Australia yang terdampar di kamp-kamp Suriah sejak jatuhnya ISIS, telah dipulangkan oleh pemerintah federal.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 31 Okt 2022, 13:30 WIB
Bendera negara Australia - AFP

Liputan6.com, Canberra - 17 warga Australia yang terdampar di kamp-kamp Suriah sejak jatuhnya ISIS, telah dipulangkan oleh pemerintah federal.

Menteri Dalam Negeri Clare O'Neil membenarkan bahwa empat wanita dan 13 anak-anak tiba dengan selamat di Australia pada Sabtu pagi, dikutip dari laman Xinhua, Senin (31/10/2022).

Sejumlah warga Australia yang menganut paham radikal itu bergabung dengan ISIS dan tinggal di kamp al-Hol serta al-Roj di timur laut Suriah.

Dalam sebuah pernyataan, O'Neil mengatakan bahwa pemulangan itu diinformasikan oleh nasihat keamanan nasional yang mempertimbangkan "berbagai faktor keamanan, masyarakat dan kesejahteraan."

"Keputusan untuk memulangkan wanita-wanita ini dan anak-anak mereka diinformasikan oleh badan keamanan nasional," katanya.

"Setiap saat fokusnya adalah keselamatan dan keamanan semua warga Australia serta keselamatan mereka yang terlibat dalam operasi tersebut."

Menurut The Australian, ini adalah pemulangan pertama warga Australia sejak dua kelompok sebelumnya pada Juli 2019.

 


Australia Tak Bakal Tergesa-Gesa Cabut Kewarganegaraan Terduga Teroris

Ilustrasi bendera Australia (pixabay)

Teroris yang berangkat untuk membali pasukan teror seperti ISIS terancam kehilangan kewarganegaraan, alias menjadi stateless. Negara-negara asal mereka pun ogah menerima orang yang terlibat jaringan teroris.

Namun, pemerintah Australia mengambil kebijakan baru agar tidak tergesa-gesa dalam mencabut kewarganegaraan orang yang jadi terduga teroris. Alhasil, orang yang diduga bergabung ke ISIS masih dapat memiliki kewarganegaraan Australia.

Dilaporkan VOA Indonesia, Jumat (10/6/2022), Mahkamah Agung (MA) Australia memenangkan kasus Delil Alexander yang memiliki dwi-kewarganegaraan Turki dan Australia. Saat ini, ia ditahan di Suriah. Ia meninggalkan Australia ke Turki pada tahun 2013, memberitahu keluarganya bahwa ia akan mengatur suatu acara pernikahan dan akan kembali.

Namun Alexander kemudian melakukan perjalanan ke Suriah, di mana menurut badan intelijen Australia ia bergabung dengan kelompok ISIS. Alexander kemudian ditahan oleh pasukan Kurdi.

Pada tahun 2019 pengadilan Suriah menjatuhkan vonis hukuman 15 tahun penjara terhadapnya. Meskipun ia kemudian diampuni oleh pemerintah Damaskus, ia tetap berada dalam tahanan.

Pengacaranya di Sydney, Osman Samin, mengatakan kepada Australian Broadcasting Corp. ABC bahwa Australia telah secara salah mencabut kewarganegaraan kliennya karena ia tidak berafiliasi dengan kelompok ekstremis.

“Sayangnya karena Australia mencabut kewarganegaraannya, ia tetap berada dalam tahanan Suriah karena pihak berwenang Suriah tidak akan membebaskannya ke dalam komunitas Suriah. Ia sekarang dipindahkan ke sebuah penjara di Damaskus yang terkenal dengan berbagai pelanggaran HAM," kata Samin.

 


Urusan Hakim, Bukan Politikus

Bendera Australia berkibar setengah tiang di atas patung Ratu Elizabeth II Inggris di Gedung Parlemen di Canberra pada 9 September 2022. Ratu Elizabeth II meninggal usai kesehatannya menurun sejak beberapa tahun lalu dan membuat ia jarang tampil di hadapan publik. (Photo by AFP)

Putusan Mahkamah Agung Australia menjadi bagian penting dari undang-undang pejuang asing Australia yang dirancang untuk mencegah tersangka anggota kelompok teroris kembali ke tanah air.

Dalam kasus penting ini, para hakim memutuskan bahwa pemerintah tidak dapat mencabut kewarganegaraan Australia jika mereka didakwa melakukan pelanggaran terorisme di negara lain.

Pengadilan mengatakan konsekuensi pencabutan kewarganegaraan seseorang yang tidak diadili di Australia sangat serius, sehingga sedianya ditangani oleh hakim, bukan oleh politikus.

Pejabat-pejabat pemerintah mengatakan sedang mengkaji implikasi putusan tersebut. Mereka menambahkan bahwa pihak berwenang di Canberra masih dapat memberlakukan apa yang disebut sebagai perintah pengadilan sementara, yang dapat menghentikan mereka yang memiliki dwi-kewarganegaraan yang diduga terkait pelanggaran ekstremisme untuk kembali ke Australia hingga dua tahun.

Adik Alexander, yang mengajukan kasus hukum ini atas namanya, mengatakan ia tidak yakin apakah kakaknya masih hidup. 

 


Polisi: Perkembangan Teknologi Pengaruhi Modus Penggalangan Dana Teroris

Bendera Australia credit to https://pixabay.com/users/chickenonline

Beralih ke dalam negeri, Polri terus mengingatkan masyarakat waspada dalam menyalurkan sumbangan agar tidak disalahgunakan oleh kelompok tertentu untuk mendanai kelompok teroris dengan berbagai modus yang terus berkembang.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan mengatakan kemajuan teknologi secara global turut memengaruhi modus pencarian dana yang dilakukan kelompok teroris.

"Berdasarkan hasil selidik dan sidik tindak pidana terorisme, ditemukan berbagai fenomena modus pengumpulan dana yang dilakukan oleh berbagai kelompok terorisme di Indonesia," ujar Ramadhan seperti dilansir Antara.

Ia menjelaskan kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Anshor Daulah (AD) selaku pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), salah satu yang aktif menggalang dana dari masyarakat dengan berbagai modus.

Senin (23/5) lalu, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Malang, berinisial IA (23) karena terlibat dalam menggalang dana untuk ISIS.

Sebelumnya, Sabtu (14/5) sebanyak 24 orang kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) ditangkap di tiga wilayah berbeda juga menjadi pendukung ISIS.

"Dinamika perkembangan teknologi secara global juga memengaruhi modus pencarian dana yang dilakukan kelompok terorisme terutama kelompok JAD dan AD selaku pendukung ISIS," katanya.

Hubungan Indonesia Australia (Liputan6.com/Trieyas)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya