Liputan6.com, Jakarta - Ratusan ribu orang, kebanyakan muda-mudi, siap dengan kostum Halloween untuk berpesta. Mereka memadati Itaewon, salah satu lingkungan paling populer di Seoul untuk keluar malam. Namun bukan berakhir senang, horor Halloween benar-benar terjadi hingga ratusan jiwa melayang.
Dalam video yang beredar, kerumunan orang pada Sabtu 29 Oktober 2022 malam membuat gang-gang sempit di Itaweon penuh sesak. Tak ada ruang gerak. Mereka yang datang dari belakang, merangsek maju mendorong orang-orang di depannya.
Advertisement
Mereka terjepit. Tak sedikit yang pingsan, terinjak-injak, lemas kehabisan napas.
Seorang pria tampak mengundang siapa pun di antara para warga yang merupakan ahli di bidang kesehatan atau bisa melakukan cardio-pulmonary resucitation (CPR) untuk bergabung. Seperti dilansir Koreaboo, dalam unggahan video terdengar pria tersebut dalam bahasa Korea meminta kesediaan warga membantu melakukan tindakan CPR. Dia pun mengulangi permintaannya dengan bahasa Inggris.
"Adakah di sini yang tahu caranya melakukan CPR? Yang sudah pernah mengikuti wajib militer dan belajar cara melakukan CPR, mohon bantuannya! Perawat wanita, mohon bantuannya!" pria tersebut berseru.
Video lain dari lokasi tragedi Halloween Itaewon menunjukkan orang-orang tanpa lelah melakukan CPR sementara bantuan darurat melewati kerumunan untuk menolong setiap korban.
Salah seorang dokter yang menjadi relawan, Lee Beom-suk, mengatakan pada stasiun TV lokal YTN, jumlah korban meningkat tajam segera setelah dia bergabung. Korban yang jatuh pun melebihi kemampuan tenaga medis di lapangan.
"Semula aku melihat dua korban, tapi jumlah mereka meningkat secara dramatis dan staf medis darurat tidak cukup untuk membantu mereka semua. Para warga termasuk dokter dan perawat lainnya yang ada di sana bergabung untuk membantu para korban," ujar Lee, dilansir Korea Herald.
Meski demikian, Lee mengatakan tak satupun korban yang dibantunya terselamatkan. Tampaknya para korban itu telah terlalu lama terperangkap.
"Wajah-wajah mereka semuanya sudah membiru, dan perut mereka membengkak," ucapnya.
"Aku tak bisa merasakan detak nadi mereka atau pun napas mereka dan banyak diantara mereka yang hidungnya berdarah," imbuh Lee.
Menurut Markas Besar Penanggulangan Bencana dan Keselamatan Pusat Korea Selatan (CDSCHQ), per 30 Oktober pukul 23.00 waktu Korea, gelombang kerumunan Itaewon telah menewaskan 154 orang dan melukai 132. Dari 132 yang terluka, 36 masih dalam kondisi kritis.
Polisi Korea Selatan mengakui kegagalannya dalam mencegah tragedi Itaewon. Kepolisian mengaku sudah memprediksi akan ada banyak warga yang datang ke Itaewon, tetapi tidak memperkirakan tragedi berdesak-desakan akan terjadi.
Hong Ki Hyun, kepala Biro Manajemen Ketertiban Publik dari Badan Kepolisian Nasional Korea Selatan, juga mengakui dan menyesalkan polisi di TKP salah perhitungan terkait antisipasi lonjakan kerumunan. "Saya diberitahu bahwa aparat kepolisian di TKP tidak mendeteksi adanya lonjakan mendadak kerumunan," kata Hong.
Ia mengungkap, ada 137 polisi yang diterjunkan ketika tragedi itu terjadi. Angka 137 orang itu disebut lebih tinggi dari jumlah aparat yang diterjunkan sebelum COVID-19 pada 2017-2019. Para polisi yang dikirim itu bertugas mencegah hal-hal ilegal serta mengurus lalu lintas.
Hong mengakui tidak ada kebijakan terpisah terkait pengendalian kerumunan di gang sempit lokasi bencana terjadi. Selain itu, polisi mengaku tak punya petunjuk untuk mengurus acara tanpa organizer yang jelas seperti festival Halloween di Itaewon.
Sejumlah pakar internasional menganggap memang ada yang salah dalam aktivitas publik dalam jumlah besar ini. Terutama, aktivitas yang luput dari perkiraan aparat setempat.
Profesor Lee Young-ju dari Departemen Kebakaran dan Bencana di Universitas Seoul, Korea Selatan, mengatakan bahwa rencana dan tindak keselamatan diperlukan dalam aktivitas yang melibatkan lebih dari 1.000 orang.
"Acara di distrik yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga lokal harus memiliki rencana dan tindakan keselamatan jika lebih dari 1.000 orang. Tapi distrik ini sebeneranya tidak ada penyelenggaraan khusus, jadi tidak memiliki fungsi kontrol keamanan," kata profesor Lee Young-ju, dikutip dari Korea Herald.
"Ini adalah bencana yang sebenarnya bisa dikendalikan atau dicegah. Tapi ini tidak diurus, dan tidak ada yang mengambil tanggung jawab di tempat tersebut."
Sementara itu, Juliette Kayyem, pakar Manajemen Bencana dan Analis Keamanan Nasional menyatakan kepada CNN, memang sulit untuk menentukan dengan tepat apa yang mungkin memicu sebuah tragedi. Tetapi ia menyebut, pihak berwenang bisa mengantisipasi lewat jumlah kehadiran manusia yang tinggi ke suatu tempat.
"Ada tanggung jawab dari pihak berwenang untuk memantau volume kerumunan secara real time, sehingga mereka dapat memantau hal tersebut," ujar Juliette.
Kemudian, Mehdi Moussad seorang peneliti perilaku saat kerumunan di Max Planck Institute for Human Development mengatakan, sifat acara yang relatif spontan -- tidak ada tiket dan tidak ada pintu masuk dan keluar yang terkendali -- memperburuk bencana.
Dia menonton video tersebut dan menanggapinya dengan metode kepadatan lewat jumlah orang per meter persegi. Dalam studi yang ia pelajari, Moussad menyebut ada sekitar 8 hingga 10 orang per meter persegi.
"Pada tingkat kepadatan itu, tidak mengherankan bahwa beberapa orang pertama mulai pingsan, karena mereka terlalu dekat dan mereka tidak bisa lagi bernapas," katanya, dikutip dari Washingtonpost.
"Dan jika ini terus berlanjut, maka semua orang di zona itu tidak akan lagi memiliki cukup oksigen, bahkan setelah mereka pingsan, maka mereka akan tewas satu per satu."
Ketua Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Pauline Suharno menilai, untuk mencegah terjadinya tragedi seperti di Itaewon, yang seharusnya dilakukan penyelenggara acara adalah menyediakan link pendaftaran agar mengetahui berapa yang akan hadir serta untuk memahami kapasitas area.
"Sangat disayangkan sebetulnya, apalagi acaranya enggak jelas waktu itu kapasitasnya berapa orang, kemudian tak terinformasikan dengan baik apakah tidak ada penutupan jalan atau pengamanan yang beroperasi di sana untuk membatasi orang atau pengunjung untuk masuk ke situ," ujar Pauline kepada Liputan6.com, Senin (31/10/2022).
Meski tidak ada tiket yang dijual, menurut dia, seharusnya ada pendaftaran agar otoritas setempat bisa mengetahui animo masyarakat. Ia menyebut masyarakat Korea Selatan sedang euforia karena pelonggaran aturan COVID-19, sehingga sedang jor-joran ingin pesta. Namun, ia menyayangkan tragedi ini tak bisa dicegah pihak berwenang.
"At least kalau misalnya memang tidak ada tiket yang dibeli pun tak apa, tapi paling tidak ada pendaftaran supaya bisa ketahuan kapasitasnya berapa, dan animonya seperti apa. Sangat disayangkan hal itu tidak dilakukan," ungkap Pauline.
Pelajaran Bagi Indonesia
Pauline mengatakan, semestinya untuk acara besar ada personel keamanan dan medis yang bersiaga di area. Hal ini disebut penting juga untuk dipelajari bagi Indonesia.
Panitia lokal pun diharapkan menyiapkan anggaran untuk memastikan keamanan acara dan pengunjung. Namun, Pauline berkata kadang-kadang panitia malah cuek karena merasa sudah punya izin keramaian.
"Kalau tidak kita membayar keamanannya sendiri, kan enggak ada yang ngurusin kita. Jadi kita mau enggak mau sebagai organizer harus membayar, harus mau membayar untuk biaya pengamanan, sehingga akan ada orang-orang profesional yang membantu kita mengatasi hal-hal tersebut," jelas Pauline.
"Seperti sisi medis, harus ada ambulans standby. Harus ada ini. Harus ada itu. Lalu pengamanan bukan cuman dengan izin keramaian sudah cukup," tegasnya.
Terkait kunjungan ke Korea Selatan, Pauline berkata kunjungan ke negara tersebut masih aman, meski ia menyayangkan tragedi Itaewon.
Pauline lantas menyarankan agar warga yang ingin wisata ke luar negeri agar mendaftar ke travel agent supaya bisa didampingi travel guide yang tersertifikasi untuk menjaga keamanan.
"Kami selalu menyarankan pengunjung itu untuk membeli paket travel agent," ujar Pauline.
"Ada guide, ada transportasi, ada orang lokal yang mendampingi. Dengan adanya orang lokal yang mendampingi paling enggak orang itu bisa memberikan informasi do's and don'ts, dan apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi," ungkapnya.
Menurut Dr Milad Haghani dari University of New South Wales di Australia, efek dari ratusan ribu orang dalam ruang terbatas membuat kerumunan bertindak "seperti cairan".
"Ketika kerumunan mencapai tingkat kepadatan kritis itu, tidak ada individu dalam kerumunan yang pada dasarnya bertanggung jawab atas tindakan atau gerakan mereka … Tidak ada orang yang dapat memutuskan ke mana harus pergi atau bagaimana harus bereaksi," kata dosen senior di Sekolah Sipil dan Teknik Lingkungan ini.
"Dalam keadaan tertentu itu, setiap momen ketidakstabilan atau turbulensi di satu tempat di kerumunan dapat menyebar melalui kerumunan dan orang-orang tidak akan bisa menghentikannya."
Dr Haghani mengatakan, mencapai tingkat kepadatan kerumunan yang kritis sering terjadi secara bertahap dan dengan kecepatan yang sangat lambat sehingga orang tidak dapat memperkirakan bencana yang akan datang.
"Orang-orang yang berada di dalam kerumunan secara bertahap merasa bahwa kerumunan menjadi semakin tidak nyaman, tetapi pada saat mereka menyadari bahwa mereka berada dalam masalah, mungkin sudah terlambat," katanya.
"Kerumunan seperti itu sering kali tidak menawarkan rute pelarian kepada orang-orang. Dan sebagai akibatnya, tidak akan ada banyak kemungkinan bagi orang untuk menyelamatkan diri mereka sendiri sayangnya."
Namun dia mencatat bahwa beberapa orang yang beruntung dan di dekat pinggiran ruang dapat meraih benda-benda untuk bergerak secara vertikal, dapat melakukannya. "Tapi kemungkinan itu tidak tersedia untuk semua orang," ia memungkasi.
Advertisement
Apa yang Terjadi di Itaewon
Biasanya setiap akhir pekan, gang-gang sempit Itaewon, distrik kehidupan malam yang diterangi lampu neon di ibu kota Korea Selatan, Seoul, dipenuhi oleh para pengunjung hingga turis. Namun sekarang ini, Itaewon adalah lokasi salah satu bencana terburuk di negara itu.
Pada Sabtu malam, puluhan ribu orang membanjiri daerah di pusat Kota Seoul untuk merayakan Halloween. Namun, kepanikan meletus ketika kerumunan membengkak, dengan beberapa saksi mengatakan menjadi sulit untuk bernapas dan tidak mungkin untuk bergerak.
Hingga hari Minggu, jumlah korban tewas meningkat menjadi 154, dengan puluhan lainnya terluka.
Pihak berwenang kini telah meluncurkan penyelidikan mendesak untuk mencari tahu bagaimana apa yang seharusnya menjadi malam perayaan menjadi sangat salah, ketika keluarga di seluruh negeri berduka dan mencari orang-orang terkasih mereka yang hilang.
Dilansir CNN, Senin (31/10/2022), berikut adalah rangkuman lengkap soal tragedi Halloween di Itaewon:
Mengapa Kerumunan Jadi Begitu Ramai?
Itaewon telah lama menjadi tempat populer untuk merayakan Halloween, terutama karena liburan ini menjadi lebih populer di Asia dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa bahkan terbang ke Seoul dari sejumlah wilayah lain untuk meramaikan perayaan tersebut.
Tetapi selama dua tahun terakhir, perayaan diredam oleh pembatasan pandemi pada ukuran kerumunan dan mandat masker karena COVID-19.
Akhir pekan kemarin menandai Halloween pertama sejak negara itu mencabut pembatasan ini – memberikannya arti khusus bagi banyak peserta yang bersemangat di Seoul, serta pengunjung internasional termasuk penduduk asing dan turis.
Hotel dan acara di wilayah itu telah dipesan jauh-jauh hari sebelumnya dan ditunggu-tunggu oleh banyak orang.
Apa yang Terjadi Kemudian?
Saksi mata mengatakan kepada CNN bahwa sangat sedikit–-jika ada–-pengendalian massa sebelum berubah menjadi tragedi mematikan.
Video dan foto yang di-posting ke media sosial menunjukkan orang-orang berdesakan, berdiri bahu-membahu di jalanan yang sempit.
Seorang saksi mata mengatakan butuh beberapa waktu bagi orang untuk menyadari ada sesuatu yang salah, dengan teriakan panik orang-orang bersamaan dengan musik yang menggelegar dari klub dan bar di sekitarnya.
Setelah panggilan darurat pertama datang sekitar pukul 10.24 malam, pihak berwenang bergegas ke tempat kejadian. Namun, banyaknya orang membuat sulit untuk menjangkau mereka yang membutuhkan bantuan.
Video yang di-posting ke media sosial menunjukkan orang-orang melakukan pertolongan pertama pada pengunjung pesta lainnya yang tergeletak di tanah saat mereka menunggu bantuan medis.
Ribuan orang yang mengenakan kostum Halloween berkontribusi pada rasa kebingungan dan kekacauan yang meluas. Seorang saksi menggambarkan melihat seorang petugas polisi berteriak selama kekacauan, tetapi beberapa orang yang bersuka ria justru mengira dia sebagai pengunjung pesta lainnya.
Penyebab kekacauan masih dalam penyelidikan, meskipun para pejabat mengatakan tidak ada kebocoran gas atau kebakaran di lokasi.
Siapa yang Jadi Korban?
Korbannya masih muda, kebanyakan berusia remaja dan awal 20-an, kata pihak berwenang. Terkenal dengan kehidupan malam dan restorannya yang trendi, Itaewon memang populer di kalangan backpacker dan mahasiswa internasional.
Di antara 154 orang tewas setidaknya 26 warga negara asing, menurut pihak berwenang, dengan korban dari negara-negara termasuk Amerika Serikat, China, Iran, Thailand, Sri Lanka, Jepang, Australia, Norwegia, Prancis, Rusia, Austria, Vietnam, Kazakhstan dan Uzbekistan.
Semua kecuali satu korban telah diidentifikasi, Perdana Menteri Korea Selatan Han Duck-soo mengatakan dalam sebuah pengarahan pada hari Senin. Korban termasuk 56 pria dan 97 wanita.
Kementerian Pendidikan Korea Selatan mengatakan pada hari Senin bahwa enam siswa sekolah termasuk di antara yang tewas, termasuk satu di sekolah menengah. Tiga guru juga meninggal.
Hingga hari Minggu pukul 17.00 waktu setempat, jumlah korban luka telah meningkat menjadi 133 orang, 37 di antaranya luka parah, kata kementerian tersebut.
Pemerintah kota Seoul mengatakan lebih dari 4.000 laporan orang hilang telah diterima. Jumlah itu dapat mencakup beberapa laporan untuk orang yang sama, atau laporan yang diajukan Sabtu malam untuk orang-orang yang telah ditemukan.
Polisi mengatakan tidak ada pencarian aktif untuk mereka yang dilaporkan hilang karena mereka yakin tidak ada yang hilang dari tempat kejadian; sebaliknya, mereka mengatakan laporan orang hilang telah digunakan untuk membantu mengidentifikasi mereka yang meninggal.
Oktober 2022 Jadi Bulan Tragedi Kemanusiaan
Sederet tragedi kemanusiaan terjadi pada Oktober 2022. Menyisakan luka bagi keluarga korban yang ditinggalkan. Mulai dari kasus kerusuhan di dunia olahraga, penembakan massal, jembatan putus, hingga aksi berdesak-desakan.
Bahkan, ada pula kasus WNI di luar negeri yang menjadi korban penembakan. Mirisnya lagi, ia adalah korban salah target.
Setidaknya, ada 7 tragedi kemanusiaan paling disorot. Dikutip dari berbagai sumber, Senin (31/10/2022) berikut daftar tragedi kemanusiaan pada Oktober 2022;
1. Jembatan Penyeberangan Ambruk di India
Kasus terbaru, sebuah jembatan penyeberangan ambruk di India. Sedikitnya 78 orang tewas setelah jembatan penyeberangan ambruk di negara bagian Gujarat, India barat. Ratusan orang tercebur ke Sungai Macchu di kota Morbi.
Dilansir BBC, Senin (31/10/2022), rekaman lokal menunjukkan orang-orang yang selamat tergantung di jembatan gantung yang sebagian terendam. Laporan juga mengatakan sebanyak 400 orang berada di jembatan tersebut pada saat itu.
Kecelakaan pada Minggu tersebut terjadi sekitar pukul 18.40 waktu setempat. Sejauh ini, lebih dari 80 orang telah diselamatkan, kata Brijesh Merja, seorang menteri negara bagian.
Seorang saksi mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa ada banyak anak-anak di jembatan penyeberangan ketika jembatan itu runtuh.
Video menunjukkan bagaimana kekacauan yang terjadi ketika orang-orang di tepi sungai berusaha menyelamatkan mereka yang terperangkap di dalam air saat jembatan mulai rubuh. Video lain menunjukkan orang-orang memanjat sisa-sisa kawat terjaring dari jembatan untuk menyelamatkan diri dari air.
2. Tragedi Itaewon saat Halloween
Terbaru, 154 orang tewas saat merayakan Halloween di Itaeweon, Korea Selatan pada Sabtu (29/10).
Penyebab yang saat ini masih menjadi alasan utama tewasnya ratusan orang di tragedi Itaewon yaitu jumlah kerumunan dalam jumlah besar yang memadati kawasan tersebut.
Dalam laporan BBC, tak tanggung-tanggung, warga yang hadir ke Itaewon, Korea Selatan untuk merayakan Halloween diprediksi mencapai 100.000 orang.
Kemudian, kerumunan dilaporkan memadati gang sempit di Itaewon -- sebuah distrik kehidupan malam yang populer di ibukota Korea Selatan.
Saksi mata menggambarkan banyak orang berupaya untuk melarikan diri dari kerumunan yang menyesakkan tersebut. Hingga pada saat yang tak terhindarkan yaitu ketika orang-orang menuju satu tempat dengan bertumpuk satu sama lain.
Paramedis kewalahan dengan jumlah korban, meminta orang yang lewat untuk membantu memberikan pertolongan pertama. Saksi mata lain menggambarkan kerumunan di daerah itu semakin kacau di malam hari.
Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol telah mengumumkan periode berkabung nasional atas tragedi mematikan pada malam Sabtu 29 Oktober 2022 di Itaewon, Seoul yang telah menewaskan sedikitnya 151 orang, dan melukai 82 lainnya.
Masa berkabung akan berlangsung sampai dampak dari bencana itu dikendalikan, kata Yoon kepada warga Korea Selatan dari kantor kepresidenan, sebagaimana dikutip dari BBC.
3. Tragedi Kanjuruhan
Sepak bola Indonesia berduka pada 1 Oktober 2022. Ratusan nyawa melayang usai menonton pertandingan besar antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Total korban meninggal dunia akibat tragedi Kanjuruhan sebanyak 135 orang.
Tragedi Kanjuruhan menjadi trending topik di Twitter kala itu. Netizen banyak menyampaikan belasungkawa terhadap para korban. Tak sedikit pula yang menyuarakan bahwa peristiwa itu tak seharusnya terjadi.
Para suporter tewas karena sesak nafas usai terkena gas air mata. Aparat keamanan terpaksa melepaskan gas air mata untuk membubarkan suporter yang rusuh usai Arema menelan kekalahan 2-3 dari Persebaya.
Tragedi Kanjuruhan ini sungguh disayangkan karena merusak citra sepak bola Indonesia yang mulai bangkit dan akan menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2023.
4. Ledakan Bom di Somalia
Ledakan bom mobil kembar di dekat persimpangan sibuk di ibu kota Somalia, Mogadishu, menewaskan sedikitnya 100 orang. Hal ini disampaikan langsung oleh Presiden Hassan Sheikh Mohamud.
Dilansir BBC, di antara para korban "yang dibantai [adalah] ibu-ibu dengan anak-anak mereka di tangan mereka", kantor berita AFP mengutip pernyataan presiden.
Ledakan pada hari Sabtu terjadi dalam beberapa menit satu sama lain, menghancurkan bangunan dan kendaraan di sekitarnya. Ledakan yang pertama menghantam kementerian pendidikan dan kemudian yang kedua meledak ketika tim medis tiba untuk menangani para korban, lapor kantor berita Reuters.
Presiden pun menyalahkan kelompok militan al-Shabab atas serangan hari Sabtu yang menargetkan kementerian pendidikan. Situs web Memo Somalia yang pro-jihadis telah melaporkan bahwa kelompok tersebut mengatakan bahwa mereka berada di balik ledakan tersebut.
Sebuah afiliasi dari al-Qaeda, al-Shabab telah terlibat dalam konflik jangka panjang dengan pemerintah federal Somalia.
5. Pesawat Militer Serang Konser di Myanmar
Serangan udara oleh militer Myanmar dilaporkan menewaskan lebih dari 60 orang, termasuk penyanyi dan musisi. Insiden itu terjadi pada perayaan etnis minoritas Kachin menggelar konser.
Dilaporkan AP News, peristiwa terjadi pada Minggu malam waktu setempat. Acara digelar Organisasi Kemerdekaan Kachin di negara bagian Kachin.
Acara pada Minggu 23 Oktober itu dalam rangka merayakan dirgahayu ke-62 berdirinya Organisasi Kemerdekaan Kachin. Konser digelar di markas tempat latihan militer. Ada 300-500 orang yang hadir.
Lokasinya berada di desa Aung Bar Lay yang berlokasi di perkotaan Hpakant. Wilayah itu berada di daerah pegunungan yang terpencil dan jaraknya 650 kilometer dari Yangon.
Selain sekitar 60 orang tewas dan ada sekitar 100 orang yang terluka. Seorang penyanyi dan pemain keyboard dilaporkan ikut tewas. Pejabat dan tentara VIP juga menjadi korban. Pemilik bisnis batu giok di Kachin juga menjadi korban.
Daerah Kachin terkenal dengan tambang giok. Pemerintah dan pemberontak sama-sama mengambil untung dari tambang tersebut.
Belum ada komentar dari media militer atau pemerintah. Sejumlah media pro-Kachin memposting dampak kehancuran akibat serangan.
6. Penembakan Massal di Penitipan Anak Thailand
Korban penembakan massal di penitipan anak di timur laut Thailand berjumlah 37 orang. Pelaku adalah seorang mantan polisi, dan yang dibunuh kebanyakan dari mereka anak-anak, dalam serangan senjata dan pisau.
Menurut laporan BBC, polisi mengatakan bahwa pelaku penembakan dan penikaman massal itu kemudian diburu dan ditemukan bunuh diri bersama keluarganya setelah serangan yang dilakukan di Provinsi Nong Bua Lamphu.
Anak-anak dan orang dewasa termasuk di antara korban- polisi mengatakan penyerang kebanyakan menikam korbannya sebelum melarikan diri dari tempat kejadian.
Mantan perwira berusia 34 tahun itu dipecat pada Juni karena penggunaan narkoba, kata polisi.
Sejauh ini belum jelas diketahui apakah ada motif serangan di penitipan anak Thailand itu.
Sedikitnya 22 anak termasuk di antara yang tewas dalam pembunuhan massal di Kota Utthai Sawan. Beberapa korban berusia semuda dua tahun diserang saat mereka tidur.
Selusin orang yang terluka telah dibawa ke rumah sakit Distrik Nong Bua Lamphu.
7. WNI Jadi Korban Penembakan di AS
Kabar duka datang dari seorang wanita asal Indonesia bernama Novita Kurnia Putri alias Novita Brazil. Ia menjadi korban penembakan di rumahnya yang terletak di San Antonio, Texas, pada Selasa 4 Oktober 2022 waktu setempat.
Sheriff Bexar County Javier Salazar mengatakan para deputi sedang berpatroli di lingkungan itu ketika mereka mendengar serangkaian tembakan dan melihat sebuah kendaraan "melarikan diri dari daerah itu dengan kecepatan tinggi."
Kepolisian setempat telah menegaskan bahwa Novita adalah korban salah tembak, dan korban tidak salah apa-apa. Novita meninggal pada usia 25 tahun.
Diduga target asli para pelaku adalah rumah tetangga Novita. Namun, polisi menilai para pelaku tidak menunjukan rasa penyesalan.
Belum jelas apakah para pelaku akan disidang sebagai orang dewasa atau anak-anak. Mereka kini sedang ditahan.
Pelaku diduga menembakkan 100 peluru dan "menghantam rumah yang salah" dalam penembakan di jalanan Texas.
Advertisement