Liputan6.com, Jakarta - Satu hal yang menjadi perhatian dunia baru-baru ini adalah tragedi kerumunan yang memakan banyak korban jiwa di sejumlah wilayah.
Festival musik di Houston, pertandingan Persebaya vs Arema di Kanjuruhan, ibadah haji di Arab Saudi, tragedi di klub malam Chicago merupakan beberapa contoh kasus yang terjadi akibat kerumunan sudah menelan banyak jiwa.
Advertisement
Kerumunan di stadion, jalan yang kecil, di konser yang kemudian saling dorong dan saling injak hingga orang-orang tewas karenanya.
Baru-baru ini, hal tragis tersebut terjadi lagi di Seoul, Korea Selatan. Perayaan Halloween yang menyenangkan berubah menjadi menyedihkan karena kerumunan orang yang saling dorong di jalanan sempit Itaewon.
Markas Besar Penanggulangan Bencana dan Keamanan Korea Selatan (CDSCHQ), mengutip Pancafe melaporkan bahwa jumlah terbaru korban menjadi 154 orang tewas, 132 orang cedera, dan 36 orang dalam kondisi kritis.
Tragedi tersebut merupakan tragedi terbesar dalam hampir satu dekade belakangan setelah tragedi Sewol (2014) memakan banyak korban jiwa dan menggemparkan Korea.
Tragedi tragis karena kerumunan itu resikonya semakin meningkat setelah Covid-19. Pasalnya, tempat-tempat hiburan ditutup dan kerumunan hampir tidak ada karena pandemi. Maka dari itu, saat pandemi mereda, resiko kerumunan meningkat.
Sebagian besar acara padat kerumunan yang memiliki perencanaan yang matang, dapat berjalan dengan baik. Tapi, insiden kerumunan yang menelan banyak korban jiwa memiliki beberapa ciri umum yang sama.
Mengutip Sydney Morning Herald, Senin (31/10/2022), berikut adalah beberapa ulasan mengapa hal tersebut bisa terjadi:
Tinjauan Fisika dan Biologis
Penyebab utama sebagian besar kematian karena insiden kerumunan adalah orang yang mati karena kehabisan nafas.
"Saat seseorang berusaha untuk bangun, lengan dan kakinya terpelintir. Pasokan darah mulai berkurang ke otak," kata G. Keith Still, seorang profesor tamu di Universitas Suffolk Inggris, kepada NPR.
"Butuh waktu 30 detik sebelum Anda kehilangan kesadaran, dan enam menit Anda dapat mengalami asfiksia. Itu umumnya penyebab kematian dalam kerumunan. Biasanya, disebut mati lemas," ujar Still.
Jika ditinjau dari segi fisika, dalam suatu kerumunan, manusia dapat dianggap sebagai molekul. Jika molekul tersebut bergerak ke satu arah dengan laju tertentu, maka molekul itu akan mengisi sudut-sudut ruang.
Dalam kerumunan model tersebut, setiap orang (molekul) dapat bergerak bebas jika kerapatannya normal. Namun, saat kerapatannya meningkat, tiap molekul akan saling bersentuhan dan gerak menjadi terbatas.
Marufin Sudibyo, seorang komunikator sains, menjelaskan jika gerak tiap molekul terbatas, kerumunan sudah menyerupai perilaku fluida. Jika itu terjadi, arah dan laju gerak kerumunan dikendalikan perilaku kawanannya. Gerak bebas juga hilang.
Pada titik tersebut, tekanan antar-molekul meningkat dan desak-desakan yang berujung human crush terjadi.
Pada tekanan tersebut, paru-paru setiap orang di kerumunan tidak bisa lagi mengembang untuk menyedot udara. Walaupun ia memiliki fisik yang sehat.
Tanpa bisa menyedot udara, pasokan oksigen terhenti, karbondioksida tak bisa dikeluarkan. Orang-orang pingsan dan tewas.
Biasanya, orang-orang yang mati karena hal itu memiliki tanda-tanda gelap keunguan di beberapa bagian tubuhnya.
Advertisement
Seperti Apa Rasanya?
Para korban yang selamat dari kejadian tersebut menceritakan kisah mereka terdorong, terengah-engah, tidak bisa mengeluarkan diri, terjebak, hingga terjepit.
“Para korban yang selamat menjelaskan bahwa secara bertahap, mereka tertekan. Mereka tidak dapat bergerak, kepala mereka terkunci di antara lengan dan bahu dan panik,” menurut laporan setelah adanya penindasan manusia pada 1989 di stadion Hillsborough, Inggris yang menyebabkan kematian hampir 100 penggemar Liverpool.
Mereka juga diketahui sadar bahwa mereka dan orang-orang sekitarnya sedang sekarat. Tapi, mereka tak berdaya untuk menyelamatkan diri.
"Saya pikir saya sekarat," kata seorang wanita dalam postingan di Twitter.
"Seluruh tubuh saya terjebak di antara orang lain, sementara orang-orang tertawa dari teras dan merekam kami. Saya pikir saya akan benar-benar mati jika saya berteriak. Saya mengulurkan tangan saya ke (orang lain) yang berada di atas saya dan saya berhasil keluar."
Seorang wanita tak dikenal berusia 20-an menangis saat dia menggambarkan pemandangan itu kepada kantor berita Yonhap: "Itu tampak seperti kuburan orang-orang yang saling bertumpuk. Beberapa dari mereka perlahan-lahan kehilangan kesadaran dan yang lainnya tampaknya sudah meninggal."
Pandemi Memperburuk?
Setelah pandemi mereda, stadion-stadion kembali terisi penuh. Acara-acara yang sempat berhenti saat pandemi kembali hadir. Mall yang sempat kosong kembali sesak. Tempat-tempat strategis untuk berbagai perayaan kembali penuh.
Bahkan, orang-orang lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah karena selama pandemi mereka tidak bisa kemana-mana. Hal ini mengisyaratkan bahwa bahaya kembali muncul.
“Begitu jumlah kerumunan bertambah atau Anda menambahkan banyak orang ke kerumunan, akan selalu ada risiko,” kata Steve Allen dari Crowd Safety, sebuah konsultan di Inggris yang terlibat dalam acara-acara besar di seluruh dunia, kepada AP, 2021 lalu.
Hal ini menunjukkan, harus adanya mitigasi dan antisipasi di tempat-tempat yang rawan kerumunan.
Risiko kerumunan terus bertambah seiring meratanya penyebaran vaksin, dibukanya kembali tempat-tempat wisata, dan kembalinya berbagai perayaan seperti Halloween yang telah lama ditiadakan.
Apa yang terjadi di Itaewon juga Kanjuruhan baru-baru ini dapat menjadi pelajaran bagi setiap pihak di berbagai negara. Satu yang paling penting adalah untuk memastikan bahwa kepadatan kerumunan tidak melebihi pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah. Termasuk, setiap orang harus memiliki ruang yang cukup untuk bergerak.
Advertisement