Tak Bisa Sembarangan, Ini Alasan Pentingnya Menghitung Weton dalam Pernikahan Masyarakat Jawa

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Jawa pun membuat sistem kalender baru yang disebut dengan kalender Jawa.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 02 Nov 2022, 02:00 WIB
Ilustrasi kalender Jawa (dok. Pexels.com/tigerlily713)

Liputan6.com, Yogyakarta - Tak hanya perihal kepercayaan atau agama, banyak hubungan asmara yang kandas lantaran penghitungan weton Jawa yang dianggap tidak cocok. Pada era modern seperti saat ini, alasan kandasnya hubungan karena weton mungkin akan terdengar konyol.

Namun, bagi masyarakat Jawa yang masih memegang teguh adat dan tradisi Kejawen, hal ini merupakan sesuatu yang sakral. Mengutip dari 'Tradisi Perhitungan Weton dalam Pernikahan Masyarakat Jawa di Kabupaten Tegal: Studi Perbandingan Hukum Adat dan Hukum Islam' oleh Meliana Ayu Safitri dan Adriana Mustafa, penggunaan sistem kalender Jawa dalam sejarah peradabannya dimulai pada masa primitif Jawa yang menggunakan sistem kalender yang bernama 'Pranata Mangsa' atau ketentuan musim.

Kalender tersebut dikaitkan dengan kegiatan usaha pertanian bercocok tanam dan penangkapan ikan. Kalender ini berbasis peredaran matahari dan siklusnya yang berusia 365-366 hari dan dibagi dalam beberapa versi.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Jawa pun membuat sistem kalender baru yang disebut dengan kalender Jawa. Pada 1633 Masehi yang bertepatan dengan tahun 1043 H atau tahun 1555 Soko, Sri Sultan Muhammad yang terkenal dengan Sultan Agung Anyokrokusumo yang bertahta di Mataram, mengadakan perubahan dalam sistem kalender di Jawa.

Perubahan tersebut menyangkut sistemnya yang tidak lagi berdasarkan pada peredaran matahari, melainkan didasarkan pada peredaran bulan. Peredaran bulan tersebut disenyawakan dengan sistem perhitungan tahun hijriyah.

Alhasil, nama-nama bulan pun ditetapkan dengan urutan yang disebut Suro, Sapar, Mulud, Bakdomulud, Jumadil Awal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dulkaidah (selo), dan Besar. Kalender ini terbilang istimewa karena memadukan budaya Islam, Hindu-Buddha Jawa, serta budaya barat.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Siklus Hari dalam Kalender Jawa

Dalam sistem kalender Jawa, siklus hari yang dipakai ada dua, yakni siklus mingguan dan siklus pecan pancawara.

Siklus mingguan terdiri dari tujuh hari, seperti yang dikenal sekarang. Sementara siklus pecan pancawara terdiri dari lima hari pasaran.

Meski tidak ada literatur pasti yang memberikan informasi tentang sejarah ramalan weton, tetapi ramalan sifat ataupun karakter menurut weton dibukukan dalam Primbon. Faktanya, Primbon juga memiliki berbagai versi menurut beberapa para tokoh Jawa21.

Dalam masyarakat tradisional, pola kehidupan diatur oleh kaidah-kaidah dari nenek moyang yang dianggap terus berlaku. Tradisi yang berlaku dalam masyarakat dianggap dapat memperkuat keseimbangan hubungan sosial yang akan menimbulkan rasa aman dan tentram.

Itulah sebabnya, tradisi weton dihargai sebagai nilai yang tinggi. Tradisi weton juga dianggap sebagai sesuatu yang suci dan harus dihormati.

Penghitungan Weton dalam Pernikahan

Bagi masyarakat Jawa, tradisi penghitungan weton menjelang dilaksanakannya pernikahan merupakan sesuatu yang sulit dihapuskan. Pasalnya, tradisi tersebut sudah ada pada sejak zaman dahulu dan merupakan warisan turun-temurun.

Salah satu kegunaan weton adalah untuk menghitung dan mencari hari yang baik dilangsungkannya pernikahan. Jumlah weton dapat diketahui dari hari kelahiran beserta pasarannya.

Dalam metode penghitungan Jawa, terdapat suatu gambaran yang sangat mendasari yaitu cocok yang artinya sesuai, sebagaimana anatara kunci dan gemboknya. Dalam menentukan hal tersebut harus diketahui neptu hari dan pasarannya terlebih dahulu, seperti Legi, Pahing, Pon, Wage, serta Kliwon.

Dalam menentukan suatu acara pernikahan, kebanyakan masyarakat Jawa mendasar pada hari yang berjumlah tujuh dan pasarannya yang berjumlah lima. Adapun nilai untuk masing-masing hari, yakni Senin (4), Selasa (3), Rabu (7), Kamis (8), Jumat (6), Sabtu (9), dan Minggu (5).

Sementara itu, nilai untuk pasarannya yakni Pahing (9), Kliwon (8), Wage (4), Pon (7), dan Legi (5). Adapun, hari dan pasaran juga berpengaruh terhadap perilaku dan sifat pribadi seseorang.

Orang yang memiliki pasaran Pahing biasanya akan memiliki watak yang berpikir cerdas, tidak mudah terpengaruh, tidak suka bergaul, dan suka pamrih terhadap orang lain. Pemilik pasaran Pon umumnya memiliki watak yang cerdas, tidak boros, cerewet, dan berbahaya jika marah.

Orang-orang dengan pasaran Legi biasanya adalah orang yang sopan, santun, keras kepala, disukai banyak orang, dan suka memberi. Sementara watak yang mudah tersinggung perasaannya, pintar mencari rejeki, cerdas, dan suka menolong biasanya dimiliki oleh orang-orang dengan pasaran Kliwon.

Adapun orang dengan pasaran Wage, biasanya memiliki watak yang cenderung tidak mudah terpengaruh, keras hati, dan tidak banyak bicara. Penghitungan weton bagi calon mempelai ini akan berpengaruh pada keserasian dalam membangun rumah tangga.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya