Polisi Korea Selatan Mengaku Gagal Cegah Tragedi Itaewon

Polisi Korea Selatan mengakui kegagalan mereka atas tragedi Itaewon.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 31 Okt 2022, 21:36 WIB
Staf medis merawat seseorang di atas tandu di distrik kehidupan malam populer Itaewon di Seoul, Korea Selatan, Minggu (30/10/2022) . Orang-orang dalam kerumunan di gang sempit itu dikabarkan sempat saling dorong. Selain berdesakan, banyak pula yang terinjak-injak hingga jumlah korban tewas dalam pesta Halloween di Itaewon melonjak. (Photo by JUNG YEON-JE / AFP)

Liputan6.com, Seoul - Polisi Korea Selatan mengakui kegagalan dalam mencegah tragedi Itaewon. Berdasarkan laporan Yonhap, Senin sore (31/10/2022), ada 154 korban meninggal di peristiwa Itaewon. Mayoritas korban adalah anak muda. 

Kepolisian mengaku sudah memprediksi bahwa akan ada banyak warga yang datang ke Itaewon, tetapi tidak memprediksi bahwa tragedi berdesak-desakan akan terjadi. 

"Telah diprediksi bahwa kerumunan besar masyarakat akan berkumpul di sana, tetapi kami tidak mengira korban berskala besar akan terjadi karena berkumpulnya masyarakat," ujar Hong Ki Hyun, Kepala Biro Manajemen Ketertiban Publik dari Badan Kepolisian Nasional Korea Selatan.

Hong juga mengakui dan menyesalkan bahwa polisi di TKP salah perhitungan terkait antisipasi lonjakan kerumunan. 

"Saya diberitahu bahwa aparat kepolisian di TKP tidak mendeteksi adanya lonjakan mendadak kerumunan," ucap Hong.

Hong berkata ada 137 polisi yang diterjunkan ketika tragedi itu terjadi. Angka 137 orang itu disebut lebih tinggi dari jumlah aparat yang diterjunkan sebelum COVID-19 pada 2017-2019. Para polisi yang dikirim itu bertugas mencegah hal-ha ilegal serta mengurus lalu lintas.

Hong mengakui bahwa tidak ada kebijakan terpisah terkait pengendalian kerumunan di gang sempit lokasi bencana terjadi. Selain itu, polisi mengaku tak punya petunjuk untuk mengurus acara tanpa organizer yang jelas seperti di Itaewon. 

Ke depannya, polisi akan mengambil langkah-langkah terkait bagaimana pemerintah bisa mengintervensi di acara yang tak punya organizer jelas seperti festival Halloween di Itaewon.


Masa Berkabung Nasional

Seorang pria membungkuk di tengah-tengah lokasi tragedi Halloween Itaewon di Seoul, Korea Selatan, Senin (31/10/2022). Tragedi Halloween Itaewon menewaskan lebih dari 150 orang dan menjadi bencana terburuk Korea Selatan dalam beberapa tahun. (AP Photo/Lee Jin-man)

Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol mengumumkan masa berkabung nasional pada Minggu (30 Oktober) setelah pesta Halloween menewaskan sedikitnya 153 orang di kawasan hiburan malam yang padat di Seoul.

Dilansir Channel News Asia, Senin (31/10/2022), Yoon menyatakan belasungkawa kepada para korban, kebanyakan remaja dan orang-orang berusia 20-an, dan keinginannya untuk pemulihan yang cepat bagi banyak orang yang terluka dalam salah satu bencana terburuk di Korea Selatan dan aksi desak-desakan terburuk di dunia dalam beberapa dekade.

"Ini benar-benar tragis," katanya dalam sebuah pernyataan. 

"Tragedi dan bencana yang seharusnya tidak terjadi terjadi di jantung Kota Seoul tadi malam."

Kerumunan besar yang merayakan di Distrik Itaewon yang populer melonjak ke sebuah gang pada Sabtu malam, kata pejabat darurat, menambahkan jumlah korban tewas bisa meningkat.

Choi Sung-beom, kepala Stasiun Pemadam Kebakaran Yongsan, mengatakan lebih dari 150 kematian telah dikonfirmasi, termasuk 22 orang asing. Dia mengatakan kepada pengarahan di tempat kejadian bahwa 82 orang terluka, 19 di antaranya serius.

Keluarga dan teman-teman dari korban pun putus asa mencari kabar dari orang-orang terkasih di pusat-pusat komunitas yang telah menjadi fasilitas darurat bagi orang hilang.


Investigasi

Lokasi pesta Halloween di Itaewon, Seoul, Korea Selatan. (Yonhap)

Sebanyak 154 orang, termasuk 26 orang asing, tewas dan 149 lainnya terluka dalam kerumunan massa dalam perayaan Halloween di lingkungan Itaewon, Seoul. 

Dilansir World KBS, Senin (31/10), kementerian pendidikan mengumumkan bahwa lima siswa sekolah menengah dan satu siswa sekolah menengah dari Seoul termasuk di antara korban jiwa, bersama dengan tiga guru - masing-masing dari Seoul, Provinsi Gyeonggi dan Ulsan. 

Dari mereka yang terluka, sekitar 30 dilaporkan dalam kondisi kritis, sehingga berpotensi meningkatkan angka kematian.

Kim Sung-ho, wakil menteri dalam negeri untuk manajemen bencana dan keselamatan, mengatakan pemerintah akan menawarkan hingga 15 juta won (Rp 163, 9 juta) untuk biaya pemakaman dan dukungan lainnya.

Biaya pengobatan bagi mereka yang terluka akan ditanggung melalui asuransi kesehatan nasional, dan mereka yang dalam kondisi kritis juga akan dibantu oleh pejabat pemerintah.

Sementara itu, polisi dan ahli forensik memulai pemeriksaan bersama di lokasi kejadian pada Senin sore.

Penyelidik, yang sedang dalam proses menganalisis rekaman kamera pengintai dari daerah tersebut dan konten media sosial terkait, berencana untuk menentukan apa yang menyebabkan kerusuhan dan apa yang membuat orang sulit keluar.

Polisi juga akan memeriksa apakah pemerintah kota Seoul dan Distrik Yongsan telah memenuhi kewajiban mereka untuk mengambil tindakan pencegahan keamanan yang diperlukan sebelum pertemuan massal orang-orang yang diharapkan untuk perayaan Halloween.


Kehabisan Oksigen

Petugas penyelamat dan petugas pemadam kebakaran berusaha membantu orang-orang yang terluka di dekat lokasi kerumunan massa di Seoul, Korea Selatan, Minggu (30/10/2022). Pihak berwenang mengatakan mereka sedang menyelidiki penyebab pasti insiden perayaan Halloween Itaewon tersebut. (AP Photo/Ahn Young-joon)

Penyebab utama sebagian besar kematian karena insiden kerumunan adalah orang yang mati karena kehabisan nafas.

"Saat seseorang berusaha untuk bangun, lengan dan kakinya terpelintir. Pasokan darah mulai berkurang ke otak," kata G. Keith Still, seorang profesor tamu di Universitas Suffolk Inggris, kepada NPR. 

"Butuh waktu 30 detik sebelum Anda kehilangan kesadaran, dan enam menit Anda dapat mengalami asfiksia. Itu umumnya penyebab kematian dalam kerumunan. Biasanya, disebut mati lemas," ujar Still. 

Jika ditinjau dari segi fisika, dalam suatu kerumunan, manusia dapat dianggap sebagai molekul. Jika molekul tersebut bergerak ke satu arah dengan laju tertentu, maka molekul itu akan mengisi sudut-sudut ruang. 

Dalam kerumunan model tersebut, setiap orang (molekul) dapat bergerak bebas jika kerapatannya normal. Namun, saat kerapatannya meningkat, tiap molekul akan saling bersentuhan dan gerak menjadi terbatas. 

Marufin Sudibyo, seorang komunikator sains, menjelaskan jika gerak tiap molekul terbatas, kerumunan sudah menyerupai perilaku fluida. Jika itu terjadi, arah dan laju gerak kerumunan dikendalikan perilaku kawanannya. Gerak bebas juga hilang. 

Pada titik tersebut, tekanan antar-molekul meningkat dan desak-desakan yang berujung human crush terjadi. 

Pada tekanan tersebut, paru-paru setiap orang di kerumunan tidak bisa lagi mengembang untuk menyedot udara. Walaupun ia memiliki fisik yang sehat. 

Tanpa bisa menyedot udara, pasokan oksigen terhenti, karbondioksida tak bisa dikeluarkan. Orang-orang pingsan dan tewas. 

Biasanya, orang-orang yang mati karena hal itu memiliki tanda-tanda gelap keunguan di beberapa bagian tubuhnya.  

Infografis Kenali Gejalanya dan Jurus Redam Covid-19 Omicron XBB (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya