Harga Cabai Rawit dan Telur Ayam Turun, Tapi Beras Naik

Cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, dan daging ayam ras jadi komoditas utama penyumbang deflasi bulan lalu.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 01 Nov 2022, 13:40 WIB
Stok beras di gudang Bulog Banyuwangi mencukupi untuk tiga bulan ke depan (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya deflasi secara bulanan (month to month/mtm) pada Oktober 2022 sebesar 0,11 persen. Capaian itu turut disumbang oleh pelandaian sejumlah harga komoditas pangan, semisal cabai rawit, hingga telur dan daging ayam.

Itu berkebalikan dengan harga komoditas pangan utama lainnya, beras yang justru semakin meroket pada Oktober 2022 lalu.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto mengatakan, berdasarkan pemantauan Indeks Harga Konsumen (IHK), sebanyak 60 kota dari total 90 kota pada Oktober 2022 secara bulanan mengalami deflasi.

"Deflasi terbesar di seluruh Indonesia ini akibat oleh cabai merah yang memberi andil 1,19 persen, cabai rawit andilnya 0,20 persen, daging ayam ras 0,08 persen, dan minyak goreng 0,03 persen," terang Setianto, Selasa (1/11/2022).

Setianto menjabarkan, cabai merah, cabai rawit, telur ayam ras, dan daging ayam ras jadi komoditas utama penyumbang deflasi bulan lalu.

Sehingga, menyebabkan kelompok makanan, minuman dan tembakau menyumbang porsi deflasi terbesar, yakni 0,97 persen dengan andil 0,25 persen.

"Harga cabai merah, daging ayam ras dan cabai rawit mengalami deflasi dua bulan berturut-turut (sejak September 2022)," ujar Setianto.

Sebaliknya, ia mengungkapkan, harga beras di penggilingan pada Oktober 2022 terjadi peningkatan 1,86 persen secara month to month, dan secara year on year naik 10,73 persen.

"Untuk harga beras grosir pada bulan Oktober meningkat sebesar 1,62 persen secara month to month, dan 5,59 persen secara year on year," paparnya.

"Sementara untuk harga beras eceran terjadi peningkatan 1,13 persen secara month to month, dan 3,52 persen secara year on year," tandas Setianto.


BPS: Inflasi Oktober 2022 Capai 5,71 Persen

Pedagang beraktivitas di salah satu pasar tradisional di Jakarta, Rabu (26/10/2022). Bank Indonesia (BI) dalam Survei Pemantauan Harga (SPH) memperkirakan tingkat inflasi hingga minggu ketiga Oktober 2022 mencapai 0,05% secara bulanan (month-to-month/mtm). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat inflasi Oktober 2022 mencapai 5,71 persen secara tahunan atau year on year (YoY). Itu melemah dibanding laju inflasi per September 2022 lalu, yang tembus 5,95 persen.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto mengatakan, berdasarkan pantauannya dan tim di 90 kota, laju inflasi Oktober 2022 memang terlihat mulai melemah.

"Pada Oktober 2022, terjadi inflasi sebesar 5,71 persen. Kalau dibandingkan tahun lalu atau YoY, dimana terjadi kenaikan indeks harga konsumen (IHK) dari 106,66 pada Oktober 2021, menjadi 112,75 pada Oktober 2022," jelasnya, Selasa (1/11/2022).

Sektor transportasi jadi penyumbang terbesar, dimana inflasinya mencapai 16,03 persen dengan andil 1,92 persen.

Diikuti makanan, minuman dan tembakau dengan angka inflasi 6,76 persen dan andil 1,72 persen, lalu perawatan pribadi dan jasa lainnya dengan laju inflasi 5,41 persen, dan andil 0,34 persen.

Setianto mengatakan, inflasi sektoral tersebut tidak lepas dari kenaikan harga BBM yang terjadi sejak periode awal September 2022, meskipun beberapa produk seperti Pertamax turun harga di Oktober 2022.

"Penyumbang inflasi tertinggi secara YoY, beberapa komoditas seperti bensin, tarif angkutan dalam kota, beras, Solar, termasuk tarif angkutan antar kota, tarif kendaraan online dan rumah tangga, ini merupakan komoditas penyumbang inflasi tertinggi secara year on year," tuturnya.


Ekonomi Indonesia Tumbuh di Tengah Ancaman Inflasi, BI: Ini Mukjizat

Pedagang beraktivitas di salah satu pasar tradisional di Jakarta, Rabu (26/10/2022). Bank Indonesia (BI) dalam Survei Pemantauan Harga (SPH) memperkirakan tingkat inflasi hingga minggu ketiga Oktober 2022 mencapai 0,05% secara bulanan (month-to-month/mtm). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Bank Indonesia menyelenggarakan program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di Sulawesi Selatan sebagai upaya pengendalian inflasi pangan di daerah.

Sebab, tren kenaikan harga atau inflasi masih terus terjadi hingga saat ini. Untuk mengendalikan inflasi, tentunya diperlukan langkah antisipatif terkait komoditas yang berpotensi mengalami kenaikan harga.

Hal itu disampaikan Deputi Gubernur Bank Indonesia Doni Primanto Joewono dalam dalam “Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan Sulawesi Selatan,” Senin (24/10/2022).

“Pertemuan kita siang hari ini sangat penting, dan saya rasa semua yang hadir pada siang hari ini itu menunjukkan betapa kuat koordinasi,” ujar Doni.

Dalam paparannya, Doni mengatakan tingkat inflasi di bulan September 2022 mencapai 5,95 persen (yoy). Bahkan, lembaga dunia memprediksi inflasi di Indonesia bisa mencapai 6-7 persen.

Oleh karena itu, Bank Indonesia bersama seluruh Pemerintah Pusat, Daerah, serta stakeholders terkait secara intens melakukan sinergi dan kolaborasi pada pengendalian inflasi di tingkat daerah maupun nasional

 “Di dunia luar sana proyeksi inflasi kita itu sampai 6 sampai 7 persen hingga akhir tahun ini. Oleh karena itu kita harus sama-sama bisa menurunkan itu di bawah, karena dulu sebelum era 5 tahun kebelakang inflasi itu selalu 5 persen. Sekarang kan diprediksi kembali lagi ke 6 dan 7 persen. Ini yang yang kita harus sama-sama bahu-membahu untuk bisa menurunkan inflasi ini,” ujarnya. 


Tren Inflasi Indonesia

Aktivitas perdagangan di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (16/9/2022). Pemerintah memprediksi laju inflasi sebesar 1,38% pada September 2022. Adapun prediksi ini akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kementerian Keuangan mengatakan laju inflasi akan kembali normal pada November 2022. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Meskipun inflasi Indonesia saat ini terbilang cukup tinggi, Indonesia masih mampu tumbuh perekonomiannya. Terbukti pada kuartal II-2022 ekonomi tumbuh sebesar 5,44 persen, sedangkan di negara lain banyak yang tumbuh negatif bahkan menuju arah resesi.

“Ini suatu mukjizat, di negara lain ekonominya tidak tumbuh malah stagnasi, sementara di Indonesia itu tumbuh. Nah, ini yang yang yang suatu mukjizat buat kita, kan emang ekonomi Indonesia tuh didukung oleh konsumsi karena mobilitasnya udah bagus terus meningkat,” ujarnya.

Maka semua pihak harus menjaga momentum pertumbuhan ini dengan cara menjaga inflasi. Misalnya, upaya Bank Indonesia dalam menurunkan inflasi, yaitu menaikkan suku bunga bank 50 basis poin.

“Nah ini kita sebut sebagai front loaded, forward looking, dan pre-emptive untuk menurunkan ekspektasi yang 7 persen, karena itu kan ekspektasi. Jadi, kita berusaha untuk menurunkan ekspektasi itu ke bawah,” ujarnya.

Upaya lainnya, Bank Indonesia juga turut menjaga kestabilan nilai tukar. Karena jika tidak dijaga, maka nilai tukar itu mengakibatkan imported inflation. “Inilah yang salah satunya coba kita jaga, supaya bahan-bahan impor kita juga tidak tinggi,” ujar Doni.

Kemudian, beberapa hal yang Bank Indonesia lakukan adalah kerja sama dengan pemerintah daerah, antara lain optimalisasi penggunaan belanja yang tidak terduga, membantu menjaga pasokan kelancaran distribusi barang dan penguatan ketahanan pangan.

  

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya