Liputan6.com, Bandung - Bupati Bandung Dadang Supriatna meminta warganya agar tidak menyalahkan pihak pemerintah saat terjadi bencana. Dia mengatakan, warga kerap tidak mengikuti solusi pemerintah agar jauh dari bencana.
"Jangan sampai menyalahkan pemerintah daerah saat terjadi bencana alam yang tidak diharapkan," katanya saat menghadiri sosialisasi Undang-Undang No 1 tahun 2018 tentang Kepalangmerahan yang dilaksanakan Palang Merah Indonesia (PMI) di Hotel Grand Sunshine Soreang, disiarkan ulang dalam keterangan pers, Selasa (1/11/2022).
Advertisement
"Contoh di Pangalengan pada beberapa waktu lalu terjadi bencana longsor, kita sudah siapkan anggaran untuk pemindahan rumah atau relokasi rumah warga yang ada di lokasi rawan bencana itu. Bahkan kita sudah siapkan anggaran untuk membuat rumahnya, tapi warga menolak, akhirnya saya minta surat pernyataan dari warga. Jangan sampai disaat ada kejadian menyalahkan pemerintah," klaim dia.
Dadang berharap pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bandung bisa memberikan peringatan dini kepada masyarakat terkait kewaspadaan dini dari ancaman bencana. Misalnya, agar warga tidak membuat rumah di daerah rawan.
"Jangan sampai ada warga membuat rumah di tempat-tempat yang rawan bencana longsor," ungkapnya.
Dadang menyampaikan, terdapat 22 kecamatan yang dinilai rawan bencana dari total 31 kecamatan di Kabupaten Bandung. "Saya akan mengumpulkan para kepala desa, terutama di 22 kecamatan di Kabupaten Bandung yang selama ini rawan bencana. Tolong kepada para kepala desa untuk mengantisipasinya," katanya.
Was-was di Giriawas
Awal tahun ini, tepatnya 15 Januari 2022 lalu, tanah longsor menerjang sebuah rumah yang terletak di Kampung Giriawas, Desa Sukaluyu, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Satu orang meninggal dunia dan tujuh warga mengalami luka-luka. Dadang Supriatna diketahui meninjau lokasi dan meminta warga untuk direlokasi.
Terdapat sekitar 20 rumah yang dibangun di Kampung Giriawas RT 03/14, dihuni sekitar 25 kepala keluarga. Menurut Sukanda (81), warga mulai tinggal di sana sejak 1970-an. Kata dia, tanah itu awalnya milik negara. Pada tahun 2000-an mereka akhirnya mendapat sertifikat tanah.
Semula, kebanyakan rumah dibangun dari bilik atau anyaman bambu dipadu kayu. Seiring perekonomian warga yang disebutnya mulai membaik, rumah-rumah dibangun permanen berdinding semen.
"Sedikit-sedikit mulai tahun 2000-an bertambah (jumlah rumah)," katanya. Pantauan Liputan6.com saat itu, sejumlah rumah berada di antara lereng kebun warga dan bukit kebun teh.
Menurut keterangan ketua RT setempat, warga sendiri sadar jika daerahnya rawan longsor. Selama ini, mereka bukan tak memendam kekhawatiran, tapi tak punya pilihan lain. Terpaksa menetap di kampung meski was-was terancam longsor, kebanyakan dari mereka tak punya lahan atau rumah di luar daerah.
Belum lagi, mayoritas warga menyambung nasib sebagai buruh tani, penggarap lahan pertanian di sekitar lokasi. Mereka bergantung hidup di tanah tempat tinggalnya itu.
"Kami juga khawatir. Saat hujan besar kemarin saya sedang di luar. Kami ingin relokasi tapi memang relokasinya harus jelas, seperti di mana dan ganti ruginya juga," ungkap, Ketua RT, Dede Sukmana, saat itu.
Selain merasa terancam, warga Giriawas juga merasa terpencil. Mereka mengeluhkan sulitnya akses jalan dan air bersih. Hanya ada satu jalur utama yang bisa dilalui. Terjal, sempit, berbatu, serta sangat licin ketika turun hujan.
"Saya setujui direlokasi, tapi ya itu semuanya harus jelas dulu," kata Dede.
Advertisement