Liputan6.com, Jakarta - Sepak bola adalah olahraga tim. Sebelas pemain tampil kolektif dalam usaha meraih kemenangan.
Apapun format kompetisi yang dipakai, rentetan hasil positif bermuara kepada satu hal: trofi. Di saat bersamaan, prestasi itu jadi rujukan untuk menentukan siapa yang merebut penghargaan individu.
Advertisement
Yang terpilih biasanya datang dari tim pemenang. Wajar, sebab kontribusi merekalah yang membantu tim mengangkat gelar.
Seperti kerap diceritakan Bola Ganjil, anomali kerap terjadi di lapangan hijau. Sejumlah nama membawa pulang penghargaan pemain terbaik meski tim yang diperkuat mencatat kinerja buruk, bahkan sampai terdegradasi.
Jim Duffy merupakan palang pintu terakhir Greenock Morton. Namun, kehadirannya di lini belakang tidak cukup untuk membantu tim bertahan di level teratas pada musim 1984/1985.
Greenock Morton bahkan sampai kebobolan 100 kali dalam 36 pertandingan di Liga Skotlandia pada musim itu. Dengan hanya mendulang 12 angka dan produktivitas gol minus 71, mereka pun terperosok di dasar klasemen.
Hebatnya, Duffy terpilih sebagai pemain terbaik pada musim itu. Sebab, banyak yang menilai gawang Greenock Morton bakal kebobolan lebih banyak jika Duffy tidak berada di tim.
Penyihir dari Brasil
Osvaldo Giroldo Junior alias Juninho Paulista tiba sebagai pemuda berbakat asal Brasil di Middlesbrough pada 1995. Magisnya saat menguasai bola membantu klub lolos ke final Piala FA dan Piala Liga Inggris 1996/1997, meski tim menderita kekalahan di dua ajang tersebut.
Penampilannya di Liga Inggris juga cemerlang, meski Middlesbrough menempati tiga posisi terbawah klasemen sehingga harus turun kasta. Juninho pun terpilih sebagai Premier League Player of the Season.
Advertisement
Kiper Legendaris
Andreas Kopke juga meraih penghargaan Pemain Terbaik Jerman Tahun Ini pada 1993 kala mengawal Nurnberg. Di saat bersamaan Nurnberg tergusur dari Bundesliga.
Meski begitu, titel bagi Kopke sebenarnya tidak mengherankan. Dia dianggap sebagai salah satu kiper terbaik Jerman sepanjang masa.