Patrick Joshua, Sineas Muda Berbakat Indonesia dengan Sederet Prestasi

Minatnya pada perfilman tak lepas dari hobinya menonton film-film Holywood, kegiatan fotografi dan bermusik.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 06 Jan 2023, 12:12 WIB
Sineas Patrick Joshua. (Dok. Pribadi)

Liputan6.com, Jakarta - Harus diakui, kini film tak lagi sekadar hiburan di waktu senggang. Film telah bersalin rupa menjadi salah satu kebutuhan utama manusia, setidaknya melalui tiga bentuk.

Pertama, sebagai industri padat modal, salah satu bisnis dengan perputaran uang terbesar di dunia serta lahan kerja incaran para talenta berbakat di seluruh dunia.

Kedua, film memengaruhi, mengembangkan, membentuk peradaban dan agenda publik dalam jangka panjang dalam nuansa hiburan. Ketiga, sebagai sarana konservasi peradaban, di mana hampir semua bidang kehidupan sekarang didokumentasikan dalam bentuk film.

Tiga fakta itu membawa kita pada kata kunci penting ini, ‘The power of film/cinematography’.

Fakta-fakta itu juga yang memengaruhi dan mendasari pilihan sineas muda berbakat asal Indonesia, Patrick Joshua, untuk memutuskan terjun di bidang perfilman.

Keseriusan pemuda yang baru merayakan usia ke-25-nya itu tak tanggung-tanggung. Usai menamatkan pendidikan SMA di sekolah Penabur Internasional Kelapa Gading, Jakarta Utara pada 2016, langsung terbang ke Amerika Serikat untuk mewujudkan impiannya.

Bakatnya sejak kecil adalah bagian tak terpisahkan dari kariernya saat ini. Sejak berusia 9 tahun, dia sudah jago bermain cello dan electric bass.

Bahkan, pada 2012 dia pernah bermain di Gita Bahana Nusantara di Istana Kepresidenan di Jakarta. Juga ikut bermain cello saat Miss Universe 2012 asal Amerika Serikat, Olivia Francis Culpo, yang juga pemain cello, menyambangi Indonesia pada 2013. Saat memasuki SMP, Patrick menekuni hobi fotografi dan juga bisnis.

Minatnya pada perfilman tak lepas dari hobinya menonton film-film Hollywood, kegiatan fotografi dan bermusik. Bagi dia, film adalah platform yang bisa menghubungkan talentanya di bidang storytelling, kreatif seperti musik dan fotografi, serta juga bisnis.

Patrick mengungkapkan, film The Dark Knight (2008) besutan Christopher Nolan adalah film pertama yang meyakinkannya untuk belajar film. Cara pembuat film itu mengubah film superhero itu menjadi film yang digerakkan oleh karakter sangat mengesankannya.

Nolan, kata dia, mempunyai keahlian non-linear storytelling di mana film bisa di mulai di akhir dan ending-nya bisa ada di depan atau dan sebagainya.

Selain itu, pengalamannya suatu kali bermain cello pada musik video seorang penyanyi juga berperan. Itu memberinya kesempatan melihat langsung seluruh proses pembuatan film dari tata lampu, kamera, dan juga koordinasi dengan tim produksi dan departmen lain.


Mengapa Atlanta?

Sineas Patrick Joshua. (Dok. Pribadi)

Tak langsung kuliah film, Patrick menghabiskan sekitar dua tahun persiapan dengan mengikuti beberapa kelas Community College di Palm Beach, Florida. Lalu, memutuskan bergeser ke Atlanta, Georgia setelah mempertimbangkan masukan profesornya di Florida bahwa Atlanta adalah tempat yang sangat berkembang dan kota di mana film-film besar diproduksi.

Ya, di kota itu film-film kelas dunia diproduksi, misalnya Marvel Avengers, Forrest Gump, Stranger Things, The Walking Dead, Ford vs Ferrari, Fast & Furious, Baby Driver, dan masih banyak lagi yang sedang diproduksi saat ini.

“Ternyata, setelah tinggal di sini saya baru tahu kalau Atlanta itu adalah pusat dari pembuatan film-film Amerika yang terkenal. Bukan dikerjakan di Holywood. Film-film Marvell itu salah satunya, dibuat di sini. Dari 100 film bagus yang beredar pasti sebagiannya dibuat di Atlanta,” ujar Patrick.

Di Atlanta, Patrick masuk ke Savannah College of Arts and Design (SCAD), salah satu dari 15 besar sekolah film terbaik berdasarkan The Hollywood Reporter Magazine. SCAD juga dikenal memiliki koneksi sangat luas dengan para profesional di industri perfilman.

SCAD bahkan memiliki festival film yang biasa menghadirkan nama-nama besar seperti John Krasinski, Emily Blunt, Hugh Jackman, Miles Teller, John Boyega, Daniel Kaluuya, Adrien Brody, Maggie Gyllenhaal, Kenneth Branagh, Steven Yeun, Samuel L. Jackson, Tessa Thompson, Alan Silvestri, Robert Pattinson, Salma Hayek, dan masih banyak lagi yang masuk ‘A-List Industry People’.

Di kampus itu, prestasi Patrick juga moncer. Dia berhasil meraih dua penghargaan, yakni, SCAD's Academic Honors Scholarship dan SCAD's Achievement Honors Scholarship.


Perjalanan Karier

Sineas Patrick Joshua. (Dok. Pribadi)

Patrick tak langsung ke puncak dengan menjadi penulis, sutradara atau produser film. Dia awali dengan terlibat memproduksi film-film pendek sejak di bangku kuliah.

Kemudian, bekerja di beberapa perusahaan besar seperti Walt Disney hingga Paramount, sebelum berlabuh di Netflix. Patrick melakoninya mulai dari mengurus administrasi film, mengoperasikan kamera, menyiapkan peralatan, mengorganisasi kru hingga kemudian menjadi penulis skenario, sutradara dan produser.

Sampai sekarang, tak kurang dari 15 film pendek telah dihasilkan baik selama kuliah maupun setelahnya. Tujuh dari film tersebut berhasil menggondol 18 penghargaan di berbagai kategori, mulai dari nominasi pilihan hingga kategori juara.

Tiga di antaranya film pendeknya itu mendapat perhatian luas. Pertama, film ‘Night & Day’ yang diproduksi di Jakarta dan di Atlanta pada Januari 2021. Di film tersebut, Patrick terlibat sebagai penulis skenario, sutradara dan juga produser.

Film itu berhasil menjadi finalis Student Emmy Awards South East Chapter 2022 dan semi finalis Rhode Island Film Festival 2021.

Lalu, film ‘Invisible’ di mana Patrick berperan sebagai Director of Photography dan diluncurkan pada 2020. Hingga artikel ini dibuat, film itu telah ditonton lebih dari 47 ribu kali. Juga masuk kategori Official Selection pada DC Asian Pacific American Film Festival.

Ketiga, film ‘Homestead’ dengan posisi yang sama sebagai Director of Photography yang berhasil meraih The Winner of the Best Cinematography at Indie Shorts Mag Film Festival 2021 dan Official Selection pada Film Shortage.

Saat ini, Patrick sedang bekerja dengan Netflix untuk memproduksi sebuah film berbiaya besar dan melibatkan sejumlah bintang besar, di antaranya Nicole Kidmann. Dalam proyek itu, Patrick bekerja langsung di bawah pimpinan Holly Dellocono yang biasa menangani proyek film-film terkenal besutan sutradara terkenal Christopher Nolan.

Dengan posisi sebagai Office Production Assistant, Patrick memiliki akses langsung pada bagaimana ‘dapur’ pembuatan film-film besar dirancang, disiapkan dan dikerjakan sampai tuntas.

“Saya bersyukur sekali mendapatkan momen ini. Ini adalah proyek pertama di mana saya terlibat pada pembuatan film berbiaya sangat besar dan melibatkan para pemain bintang. Dan kabar baiknya lagi, saya bekerja langsung di bawah Holly, pimpinan proyek yang telah mengerjakan film-film yang terkenal di dunia besutan Christopher Nolan. Ini kesempatan luar biasa untuk belajar,” ucap pria muda ini.

Holly adalah seorang legenda dalam industri film di Amerika. Catatan prestasinya seabrek. Dia adalah orang yang sangat penting karena telah bekerja sama dengan sutradara film favoritnya, Christopher Nolan, di antaranya di proyek film Tenet (2020) dan film Oppenheimer yang akan rilis pada 2023 yang memiliki A-list cast (daftar permain kelas atas) seperti Cilian Murphy, Robert Downey Jr., Emily Blunt, Matt Damon, Florence Pugh, Gary Oldman, Rami Malek dan Kenneth Branagh.

Holly juga memiliki kredit luar biasa karena memimpin produksi sejumlah film ternama lainnya seperti The Batman (2022) yang dibintangi Robert Pattinson; The Conjuring (2021), Annabelle (2019), The Nun (2018), The Greatest Showman (2017), War for the Planet of the Apes (2017).


Titik Balik

Sineas Patrick Joshua. (Dok. Pribadi)

Patrick mengungkapkan, momen titik balik yang meyakinkannya bahwa dunia perfilman adalah pilihan karier terbaiknya ditemukannya di kampus SCAD. Di sana dia bertemu, lalu bersahabat dan akhirnya berkolaborasi dengan beberapa orang yang membuka jalur kepadanya untuk lebih dalam di dunia perfilman.

Patrick menyebutkan dua nama. Pertama, McKinley, seniornya di kampus yang ternyata keluarganya merupakan salah satu nama besar dalam perfilman Amerika. Kedua, Enzo yang memberinya kesempatan terlibat dalam pembuatan sebuah film di Hong Kong.

Anak pertama dari dua bersaudara itu sangat percaya pada kekuatan dari film, yang diyakininya sama dengan kekuatan dari mendongeng atau the power of the story telling.

Karena itu, bagi dia, industri film tak sekadar soal uang. Meski di Amerika film menghasilkan banyak uang, paradigma dan perlakuan terhadap film juga sangat berbeda.

“Di sini, para sineas benar-benar sangat serius mempersiapkan film mereka sampai detil-detilnya. Bagus di semua bagiannya, tidak sekadar cari duit,” kata dia.

Beranjak dari pengalaman itu, Patrick memikirkan apa ultimate goal-nya untuk Indonesia melalui dunia perfilman yang digelutinya.

Patrick mengakui, setelah tinggal di Amerika dan melihat Indonesia dari luar, baru menyadari betapa banyak hal yang luar biasa di Indonesia namun tidak diketahui di luar sana. Karena itu, dari sisi dunia perfilman yang ditekuninya, dia memiliki harapan luhur untuk jangka panjang.

“Saya selalu berpikir bagaimana ikut berperan membuat film-film Indonesia yang bisa ditonton secara global. Film The Raid adalah salah satunya yang sudah berhasil melakukannya, yang digarap dengan bagus sekali. Saya ingin juga ambil bagian untuk tujuan itu melalui pilihan saya menekuni bidang perfilman ini. Beberapa waktu lalu saya coba mulai dengan membuat film pendek Night & Day yang berlatar konteks Indonesia,” jelas dia.

Itu juga yang menjadi alasannya sengaja menargetkan keterlibatan langsung dalam pembuatan film-film besar pada perusahaan-perusahaan perfilman kelas dunia.

“Sekarang saya juga bekerja dengan orang-orang terbaik di industri ini, supaya ke depan bisa membawa film berskala atau bersaing dengan film-film Holywood dari Indonesia. Itu ultimate goal saya di bidang perfilman ini. Salah satu mimpi saya adalah untuk menjadi orang Indonesia pertama yang bisa memproduksi film yang bisa memenangkan piala Oscar dan bisa memberikan speech sebagai orang Indonesia,” ucap dia.

Patrick tak berbicara muluk-muluk, sebab potensi untuk itu sebenarnya terbuka luas. Dia menyitir pengalaman penyanyi seperti Rich Brian dan NIKI yang sukses di industri musik Amerika Serikat.

Mereka membuat sebuah kultur baru di mana kalangan Asian American merasa lebih diangkat statusnya melalui lagu dan video musik dengan memasukkan pengalaman keseharian di Jakarta, misalnya melalui lagu “High School in Jakarta” yang menjadi top chart di Amerika Serikat. Korea Selatan juga telah membuktikannya dimana melalui musik dan film kini menjadi ‘superpower; yang budayanya disukai sangat banyak orang di seluruh dunia, termasuk negara-negara barat.

Dari proyek film besar produksi Netflix yang dia ikut garap, Patrick mengaku belajar sangat banyak bagaimana tak hanya membuat film tetapi juga film yang bisa disukai dan memiliki impact pada kebudayaan. Netflix atau layanan streaming lainnya memberikan kesempatan bagi bagi film-film nasional untuk ditonton masyarakat luar.


Tantangan

Sineas Patrick Joshua. (Dok. Pribadi)

Meski memiliki passion yang kuat, Patrick mengakui tidaklah mudah terlibat dalam industri film. Dunia perfilman taklah seperti umumnya dipahami, identik dengan keglamoran karena gaya hidup orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Dengan status international student, kata dia, tidaklah mudah untuk masuk dalam industri film di Amerika. Bahkan, ungkap dia, dalam proyek film besar yang sedang digarap Netflix sekarang, cuma dia satu-satunya dari Asia dan satu-satunya international student yang dipercayakan ikut terlibat.

Hal menantang lainnya adalah adalah menemukan titik keseimbangan antara passion dan reality. Dunia perfilman adalah dunia yang cukup berat dengan jam kerja yang panjang, kadang hingga tengah malam. Unsur politik juga merupakan masalah tersendiri. Sebab, pembuatan film biasanya juga memuat pesan yang diselipkan dalam cerita.

“Hal-hal seperti inilah yang kadang banyak orang tidak tahu. Karena the power of storytelling sangatlah powerful. Terkadang tantangannya agak susah karena di AS sangatlah bebas dan kadang-kadang ada value yang kita tidak sepaham namun kita harus menjalaninya karena itu adalah bagian dari pekerjaan,” akunya.

Meski begitu, bekerja di dunia perfilman juga sangatlah menyenangkan. Sebab, bisa berkolarobasi dengan orang-orang yang sangat berbakat atau dengan para selebritas.

“Dan yang paling menyenangkan adalah nama kita muncul di kredit film dan saat melihat reaksi penonton saat menontom film yang kita buat. Atau, ketika film itu menjadi bahan diskusi setelah ditonton. Hal-hal itu yang membuat saya senang dan semangat untuk membuat film,” kata dia.

Penulis: Etis Nehe, penulis lepas


Profil Ringkas

Sineas Patrick Joshua. (Dok. Pribadi)

Nama lengkap: Patrick Joshua

Asal: Jakarta

Perusahaan Film: Netflix

Domisili: Atlanta, Georgia, Amerika Serikat

Website: www.patrickjoshua.com

Filmografi:

Mini Seri

•             SFPWM

Dokumenter Pendek:

•             Apple Music – Behind JID’s ‘The Forevere Story’ and Building His Family Legacy

Film Pendek

•             Night & Day

•             Homestead

•             Invisible

•             A Slice of Time

•             Super Tyler

•             Tyler’s Favorite

•             Lorikeet

•             Beyond Customs

•             Stardust

Film Fitur

•             Netflix – A Family Affair

•             Paramount Plus – The Microchip That Ruined Halloween

•             Apple Tv Plus – Ghosted

Tv Show

•             Hulu – Tell Me Lies S1

•             Pilot: The Green

Iklan

•             Bakels Indonesia – Company Profile

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya