Liputan6.com, Denpasar - Harga sawit sangat dipengaruhi dinamika global. Perang Rusia-Ukraina, yang mencekik suplai minyak nabati dunia, bikin harga komoditas dari tanaman Elaeis guineensis itu melonjak tajam. Permintaan pasar yang tinggi kemudian memicu krisis minyak goreng yang membuat masyarakat resah.
Untuk menanggapi situasi tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan sementara pelarangan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang berdampak pada pengusaha dan petani sawit. Larangan kemudian diberlakukan untuk semua produk, termasuk RPO atau red palm oil, RBD (refined, bleached, deodorized) palm olein, pome, dan used cooking oil.
Advertisement
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono mengatakan, meski aturan tersebut kemudian dicabut, dampaknya menetap lama.
“Kebijakan pelarangan ekspor hanya berlangsung sebulan, tapi untuk memulihkan situasi tak semudah yang diharapkan. Saya berharap ekspor sawit Indonesia akan berlangsung mulus di masa depan, tanpa gangguan apa pun,” kata Joko Supriyono saat membuka Indonesia Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2022 di Nusa Dua, Bali, 3 November 2022.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari gonjang ganjing minyak goreng dan kebijakan yang mengikutinya.
“Larangan ekspor justru menguntungkan pesaing kita yakni Malaysia. Kita berharap, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan matang. Jangan sampai industri kita mengalami kemunduran. Yang sangat bergembira pesaing karena sawit kita menghilang dari pasar,” kata dia dalam konferensi pers IPOC 2022.
Hariyadi juga meminta GAPKI untuk berani bersuara, untuk menyampaikan kondisi sebenarnya pada pihak regulator.
“Namanya komoditas, pasti mengikuti pasar, seperti harga minyak dunia. Kalau intervensi demi menjaga stabilitas, tentunya bukan dengan cara melarang. Akhirnya seperti melawan pasar, dampaknya pun negatif,” tambah dia.
Chairperson IPOC 2022, Mona Surya menambahkan, tanpa berniat menyalahkan pihak tertentu, kebijakan larangan ekspor berpengaruh pada pengusaha hingga petani. “Petani yang paling kasihan. Mereka tidak bisa memelihara tanaman,” kata dia.
Padahal, sawit adalah bisnis jangka panjang. “Jika petani tidak memupuk, dampaknya pada produktivitas di kemudian hari. Dampaknya bisa terasa tahun depan atau dua tahun mendatang,” kata Mona.
Strategi Minyak Merah
Saat membuka IPOC 2022, Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto mengungkapkan strategi untuk mengatasi kenaikan harga minyak goreng yang dipicu oleh kenaikan biaya produksi.
Yakni, dengan mengganti sebagian minyak goreng dengan minyak goreng merah. Indonesia memiliki prevalensi stunting yang tinggi dengan 7,4 juta anak di bawah 5 tahun atau 30 persen mengalami stunting.
“Minyak goreng merah dapat menjadi solusi pemenuhan kebutuhan minyak goreng dalam negeri sebagai jenis minyak nabati baru berbasis pengolahan alami yang lebih bergizi sekaligus mengembangkan usaha kelapa sawit rakyat skala menengah,” kata Menko Airlangga.
Minyak makan merah atau disebut juga sebagai refined palm oil merupakan produk dari minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO) yang setelah proses penyulingan tidak melanjutkan proses-proses selanjutnya. Minyak ini memiliki warna terang mencolok dan aroma yang kuat.
Warna mencolok dari minyak makan merah berasal dari kelapa sawit yang memang berwarna merah tua. Sebab selama proses produksi, minyak makan merah tidak melalui proses penyulingan atau bleaching seperti minyak goreng sawit biasa.
Dia menambahkan, Indonesia juga membutuhkan bisnis untuk merangkul triple bottom line yakni sosial, lingkungan, dan keuangan, termasuk melalui sektor perkebunan khususnya kelapa sawit.
Advertisement