Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan bank memiliki modal inti minimum Rp 3 triliun hingga akhir tahun ini. OJK mengakui ada sejumlah bank yang belum bisa mengejar modal inti tersebut.
Sayangnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae mengatakan, pihaknya belum dapat menyampaikan beberapa bank yang belum memenuhi ketentuan modal inti Rp 3 triliun. Namun, ia memastikan bank yang tak sanggup penuhi aturan tersebut akan mendapat tindakan tegas dari OJK.
Advertisement
"Kami belum bisa sampaikan angka berapa karena saat ini pengawas maupun saya sendiri banyak melakukan komunikasi insentif dengan pemilik bank untuk memastikan modal inti Rp 3 triliun dapat dipenuhi pada akhir tahun. Mudah-mudahan akhir November peta itu menjadi jelas, berapa bank yang masih tersisa tidak bisa penuhi ketentuan Rp 3 triliun,” kata dia dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK Bulan Oktober, Kamis (3/11/2022).
Dian mengatakan, saat ini OJK tengah mendiskusikan beberapa hal yang mungkin dilakukan kepada bank yang tak mampu penuhi aturan modal inti. Dia menyebutkan, setidaknya ada tiga langkah yang akan dilakukan OJK, termasuk melakukan penggabungan paksa bank hingga mencapai modal inti RP 3 triliun.
“Pertama kita akan lakukan merger paksa untuk memastikan ketentuan yang sudah ditetapkan OJK dapat dipenuhi. Kemudian hal lain yang diertimbangkan adalah downdgading dari bank umum jadi BPR. Ketiga, atau terburuk meminta likuidasi sukarela oleh bank yang tidak mampu penuhi modal inti Rp 3 triliun,” ujar Dian.
Ekonomi Dunia Memburuk, OJK Ketatkan Aturan
Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Mirza Adityaswara menilai, stabilitas sektor jasa keuangan Tanah Air cenderung masih terjaga. Meskipun, ia tetap mewaspadai dampak dari pemburukan ekonomi dunia.
Ekonomi dunia yang memburuk ditandai dengan adanya pengetatan kebijakan moneter global yang agresif, tekanan inflasi, serta fenomena strong dolar AS. Itu berpotensi menaikan cost of fund dan mempengaruhi ketersediaan likuiditas, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pertumbuhan konsumsi dan investasi.
"Pergerakan suku bunga dan pelemahan nilai tukar potensi meningkatkan risiko pasar yang berpengaruh pada portofolio lembaga jasa keuangan. Selain itu, risiko kredit juga berpotensi meningkat seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi," ujarnya dalam sesi Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner OJK, Kamis (3/11/2022).
Dalam upaya mencegah kerugian tersebut, pihak otoritas mengambil langkah-langkah proaktif untuk memastikan terjaganya stabilitas sektor jasa keuangan, dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Salah satunya mempertimbangkan untuk melakukan normalisasi beberapa kebijakan relaksasi secara bertahap. Khususnya yang bersifat administratif yang dikeluarkan pada masa pandemi Covid-19.
"Seperti, pencabutan relaksasi batas waktu penyampaian pelaporan lembaga jasa keuangan. Hal ini mencermati perkembangan pandemi dan aktivitas ekonomi, dimana lembaga jasa keuangan dinilai telah dapat beradaptasi dengan kondisi new normal," terang Mirza.
Advertisement
Fungsi Intermediasi
Kedua, Mirza melanjutkan, OJK pun mendukung upaya pemulihan ekonomi dalam rangka mengatasi scarring effect yang ditimbulkan akibat pandemi, serta menjaga kinerja fungsi intermediasi.
"Dalam waktu dekat, OJK menyiapkan respon kebijakan yang bersifat targeted dan sektoral," imbuh dia.
Namun demikian, ia menambahkan, OJK akan terus melakukan penyelarasan kebijakan dengan mempertimbangkan dinamika perekonomian global dan domestik, yang diperkirakan masih akan terus berubah, terutama di 2023.
"Dibutuhkan dukungan kolaborasi kebijakan, baik fiskal dan moneter untuk mengatasi scarring effect pada sektor-sektor tertentu agar tidak berlangsung berkepanjangan," kata Mirza.
Ketua OJK Blak-blakan soal Solidnya Lembaga Keuangan di Indonesia
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengungkap perbedaan Indonesia dengan negara lain. Khususnya dalam aspek kerja sama antar lembaga di dalam negeri.
Hal ini menurutnya menjadi corak tersendiri bagi Indonesia. Bahkan, Mahendra Siregar menyebut kolaborasi antar lembaga atau industri jasa keuangan jadi satu hal yang tak terpikirkan di negara lain.
"Sinergi antara perusahaan keuangan maupun yang bukan, dalam konteks yang lain sebenarnya bersaing ketat dalam industri yang memang kompetitif justru bersinergi dan berkolaboroasi bersama, itu wide unthinkable untuk di negara lain," katanya dalam Puncak Bulan Inklusi Keuangan 2022 di Central Park, Jakarta, Sabtu (29/10/2022).
"Untuk di negara kita, ya rupanya biasa, dan ini kan yang kesekian kalinya, apalagi kemudian sinergi kolaborasinnya bersama-sama regulator, makin tidak terbayangkan lagi di tempat lain. Dan tiga-tiganya hadir," imbuh Mahendra.
Salah satu yang menjadi contoh adalah gelaran Financial Expo 2022 yang digelar bersama Bank Indonesia, OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Ketiga lembaga ini bisa bergandengan untuk mengejar peningkatan ekonomi nasional.
"Logo di depan ini kan OJK, BI, LPS ya wajar saja kita melihaatnya. Ini juga yang menyebabkan mungkin ya dan kita tentu berdoa ke depan sinergi seperti ini juga bisa membantu kita menavigasi dari perkembangan situasi perekonomian globala yang makin sulit," paparnya.
Advertisement
Menyentuh Langsung Masyarakat
Lebih lanjut, Mahendra mengungkap kalau di negara lain kolaborasi serupa jarang terjadi. Maka, berdampak pada ekonomi negara tersebut yang tergoncang.
"kita lihat di beberapa negara kontradiksi statement antara satu regulator dengan yang lain, policy maker dengan regulator, ataupun bank sentral, menyebabkan kegoncangan banyak dalam perekonomiannya," ungkapnya.
Jauh berbeda dengan itu, Indonesia malah melakukan kolaborasi yang bisa menyentuh langsung masyatakar. Sehingga berdampak pada kegiatan ekonomi masyarakat.
"Di kita malah melakukan kegiatan yang masuk ke masyarakat grassroot dan justru mengundang seluruh pihak bersinergi yang seperti itu. Ini kita memang biasa ya, tapi ini di tempat lain adalah luxury," paparnya.
Baca Juga