Mengenal Stoikisme, Filsafat Hidup yang Bisa Bantu Kamu Kelola Emosi Negatif

Ini 5 cara melawan emosi negatif di dalam hidup menurut filosofi stoikisme, apa saja?

oleh Hani Safanja diperbarui 04 Nov 2022, 15:00 WIB
Ilustrasi Pemikiran Filsafat (morhamedufmg/Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Gempuran hiruk pikuk di tengah cepatnya pergerakan dunia membuat orang-orang berlomba-lomba menjadi siapa yang paling cepat sukses, paling cepat mapan, dan paling cepat bahagia.

Keresahan akan rasa takut tertinggal dan terbelakang membuat seorang individu lemah akan penguasaan dirinya sendiri dan cenderung berfokus pada apa yang orang lain lakukan untuk mencapai kesuksesan.

Akhirnya, mereka akan kewalahan dan tidak memiliki ketahanan mental karena berusaha untuk mengendalikan hal yang berada di luar kendali mereka. Hal tersebut tentu memicu berbagai macam emosi, salah satunya amarah dan kekesalan yang membuat pikiran menjadi kalut.

Rasa marah yang timbul karena merasa tidak memiliki kontrol atas hal-hal di luar diri sendiri dan tidak tahu solusi terbaik untuk melawannya, membuat seseorang akan kewalahan secara emosional.

Lebih lanjut, kekesalan ini akan berakhir pada perilaku menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa seperti orang lain yang tampaknya memiliki hidup yang lebih baik.

Apabila kamu merasa pernah mengalami situasi di atas, jangan khawatir karena kamu dapat melawannya dengan menerapkan prinsip filsafat stoikisme atau stoik.

Mengutip Holstee, Jumat (4/11/2022), stoikisme merupakan filosofi hidup yang memaksimalkan emosi positif, mengurangi emosi negatif dan membantu individu untuk mengasah kebajikan karakter mereka.


Sejarah Singkat Stoikisme

Ilustrasi Pemikiran Filsafat (Raimund Feher/Pixabay)

Mengutip dari What Is Stoicism, pendiri stoikisme, Zeno dari Citium, mulai mengajardi Agora Athena yang dikenal sebagai Stoa Poikile. Mengambil nama dari lokasi tersebut, mereka dikenal sebagai Stoa. Adapun stoikisme berkembang setelah penaklukan Alexander The Great sekitar 300 SM.

Stoikisme kemudian berkembang hingga ke Roma, di mana ajaran stoikisme sempat ditolak di masa kepemimpinan Vespasianus dan Domitianus. Tetapi, lambat laun aliran stoikisme diterima dan bahkan kaisar-kaisar selanjutnya mulai menerapkan ajaran stoikisme, salah satunya Marcus Aurelius.

Dari tahun 161 - 180 M, Marcus Aurelius menjabat sebagai kaisar Romawi. Kumpulan tulisan pribadinya, yang dikenal sebagai “Meditasi”, dianggap sebagai salah satu karya terpenting oleh kaum Stoa kuno.

Hingga kini, filosofi stoik terus berkembang karena memiliki nilai dan sifat praktis yang relevan dengan seputar masalah kehidupan manusia. Tak jarang, nilai stoikisme menjadi sandaran untuk mengatasi tekanan hidup, hingga sebagai konsep praktik menjaga kesehatan mental.


Penerapan Stoikisme di Kehidupan

Mohammad Hatta menggunakan bahasa yang ringan serta penyertaan penjelasan dari kata yang sukar dipahami, sehingga mudah dimengerti oleh siswa maupun mahasiswa yang ingin mempelajari filsafat.

Sebagai aliran filsafat yang relevan dengan kehidupan, stoikisme juga dapat melawan rasa emosi atau amarah yang seringkali menjadi konflik batin bagi setiap manusia. Untuk menerapkannya, kami menghimpun 5 praktik yang bisa diterapkan menurut Daily Stoic, antara lain:

1. Kenali Akibat dari Rasa Marah

Menurut Seneca, politisi di era Kaisar Nero yang menganut filosofi stoik, sebelum rasa marah meningkat dan menimbulkan konflik yang lebih jauh, pastikan untuk melihat dengan jelas apa hal yang akan dirugikan bila kita merasa marah dan menjadi gegabah.

Stoikisme membagi kehidupan pada dua pandangan, yakni internal dan eksternal. Internal berarti mengenai hal-hal yang bisa kita kendalikan dan terkait dengan diri sendiri, termasuk cara merespons dan memikirkan sesuatu. Adapun eksternal adalah mengenai hal-hal di luar kendali, seperti respons, perilaku, dan pendapat orang lain.

Membedakan kedua hal mengenai apa yang bisa dikendalikan dan tidak adalah salah satu prinsip terpenting stoikisme. Untuk itu, amarah menjadi pandangan internal sebagai pilihan kita untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik atau lebih buruk.


2. Terima bahwa Tidak Setiap Orang Memiliki Pribadi yang Baik

Ilustrasi hidup bebas. (Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay)

Alih-alih berekspektasi tinggi kepada orang lain, lebih baik katakan kepada diri sendiri, “apapun yang terjadi di hari ini  dan siapa pun orang yang akan saya temui, itu bukan kendali saya dan saya sudah mencoba menjadi orang baik”.  

Kita perlu mengingat hal ini ketika kita menghadapi saat-saat yang tak terhindarkan, di mana kita menemukan diri kita berada dalam konflik atau berselisih dengan salah satu orang.

Dibutuhkan keterampilan yang hebat untuk mengidentifikasi reaksi emosional pada orang lain. Pun, dibutuhkan kepercayaan diri yang tinggi untuk menghindari pertengkaran dengan seseorang yang bertindak karena ego.

Dengan menghindari perdebatan dan konflik yang tidak berguna, satu beban hidup akan hilang dan kita akan menjalani hari yang jauh lebih sedikit dari stres.


3. Mengendalikan Ego Diri Sendiri

Selain melepas lelah, dengan liburan kamu juga bisa mendapatkan inspirasi hidup (Sumber foto: pixabay.com)

Berkaitan dengan tahap sebelumnya, ego adalah keinginan tidak sehat akan kepentingan dan kebenaran atas diri sendiri. Ego mendorong seseorang untuk diakui dan divalidasi kebenarannya. Perasaan ini tentu tidak baik karena ego mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu hanya demi diakui benar.

Ego sering kali menjadi penyebab datangnya rasa marah dan melakukan sesuatu yang buruk. Untuk melawan rasa ego, adalah tidak perlu mengharapkan pengakuan. Pengakuan berasal dari orang lain, dan orang lain merupakan sisi eksternal yang tidak bisa kita kontrol.


4. Ubah Persepsi Terhadap Suatu Masalah

Kata Kata Bijak Lucu (sumber: Pixabay)

Mengubah persepsi adalah hal yang penting, karena masalah dapat dilihat dari sisi lain. Misalnya, ketika seseorang mengalami masalah, mungkin hal tersebut merupakan peristiwa yang akan mengajarkan seseorang untuk lebih bijak dan lebih siap untuk menghadapi masalah yang akan terjadi di masa depan.

Gambaran ini seperti kalimat “ambil aja hikmahnya”, karena menerima masalah dan mempelajari kesalahan jauh lebih baik daripada mengeluh dan mengarahkan pikiran kepada emosi negatif yang memperburuk situasi.  

Layaknya penjelasan sebelumnya, stoikisme merupakan filosofi hidup yang memaksimalkan emosi positif, mengurangi emosi negatif, dan membantu individu untuk mengasah kebajikan.


5. Latihan Bersyukur

Kata Mutiara Kehidupan (Sumber: Pixabay)

“Pada akhirnya, bukan hal-hal lain yang membuat kita kesal, melainkan penilaian dan pendapat kita mengenai hal itu” – Epictus

Jadi, sebaliknya lebih baik untuk melihat dan menghargai hal sepele di dalam hidup yang ternyata membawa kebaikan bagi diri sendiri.

Cobalah setiap kali kamu merasa marah, pilihlah rasa bersyukur. Hal ini dikarenakan rasa marah dan syukur tidak dapat diproses oleh otak manusia secara bersamaan.

Carilah hal-hal baik, meskipun itu hal yang kecil dan tidak penting. Ini lebih baik daripada merasa marah untuk hal yang besar.

Siapa paling berbahagia di Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya