Liputan6.com, Jakarta Kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) menjadi pukulan keras bagi pelaku industri rokok. Sebagaimana diketahui, pemerintah menetapkan cukai rokok untuk 2023 naik 10 persen, dan rokok elektrik 15 persen.
Ketua Umum Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Aryo Andrianto, mempertanyakan pertimbangan pemerintah sehingga menjadi dasar menaikan CHT khususnya cukai rokok elektrik. Dia menuturkan, cukai tinggi dibebankan bagi produk dengan risiko tinggi.
Advertisement
Sementara rokok elektrik menurut Aryo tidak lebih berisiko dibandingkan dengan rokok konvensional. Namun, cukai yang ditetapkan untuk rokok elektrik justru lebih tinggi.
"Kita bisa lihat risikonya rokok elektrik Ini lebih kecil dibanding rokok konvensional, rokok konvensional dikasih kenaikan 10 persen sedangkan kita rokok elektrik dikasih 15 persen dan ditetapkan 5 tahun ada terus, ada terus, ada terus," ujar Aryo kepada merdeka.com, Jumat (4/11).
Dia pun berharap agar Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian bersama-sama membuat studi tentang rokok elektrik.
Dia menuturkan, pembebanan cukai terhadap rokok elektrik sangat baru, yakni 2018. Meski ia tak menampik industri rokok elektrik dimulai pada 2013. Namun di samping itu, Aryo menyampaikan bahwa keputusan pemerintah tetap mengecewakan bagi APVI.
"Industri yang bisa dibilang masih sangat bayi tapi sudah diborgol kiri kanan," ucapnya.
"Seharusnya ini industri yang menjadi solusi yang harusnya kita sama-sama pertimbangkan dan bisa menjadi solusi bersama," pungkasnya.
Kenaikan Tarif Cukai
Sementara itu, Presiden Jokowi juga meminta agar kenaikan tarif tidak hanya berlaku pada cukai rokok, tetapi juga rokok elektrik dan produk hasil pengolahan hasil tembakau lainnya (HPTL). Untuk rokok elektrik, kenaikan tarif cukai akan terus berlangsung setiap tahun selama lima tahun ke depan.
"Hari ini juga diputuskan untuk meningkatkan cukai dari rokok elektronik yaitu rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk HTPL. Ini berlaku, setiap tahun naik 15 persen, selama 5 tahun ke depan,” kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani usai mengikuti rapat bersama Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Kamis (3/11).
Dalam penetapan cukai rokok, Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah menyusun instrumen cukai dengan mempertimbangkan sejumlah aspek mulai dari tenaga kerja pertanian hingga industri rokok.
Di samping itu, pemerintah juga memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
Advertisement
Sri Mulyani Naikkan Cukai Rokok Elektrik 15 Persen per Tahun selama 5 Tahun
Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau tarif cukai rokok 10 persen untuk tahun 2023 dan 2024. Selain itu, Sri Mulyani juga menaikkan tarif cukai rokok elektrik setiap tahun sebesar 15 persen selama lima tahun ke depan.
Sri Mulyani Menjelaskan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga meminta agar kenaikan tarif tidak hanya berlaku pada cukai rokok, tetapi juga rokok elektrik dan produk hasil pengolahan hasil tembakau lainnya (HPTL).
Untuk rokok elektrik, kenaikan tarif cukai akan terus berlangsung setiap tahun selama lima tahun ke depan.
“Hari ini juga diputuskan untuk meningkatkan cukai dari rokok elektronik yaitu rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk HTPL. Ini berlaku, setiap tahun naik 15 persen, selama 5 tahun ke depan,” kata dia usai mengikuti rapat bersama Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (3/11/2022).
Sedangkan untuk tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok atau cukai rokok sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024.
Sri Mulyani mengatakan bahwa kenaikan tarif CHT pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek pangan (SKP) akan berbeda sesuai dengan golongannya.
“Rata-rata 10 persen, nanti akan ditunjukkan dengan SKM I dan II yang nanti rata-rata meningkat antara 11,5 hingga 11,75 (persen), SPM I dan SPM II naik di 12 hingga 11 persen, sedangkan SKP I, II, dan III naik 5 persen,” ujar Sri Mulyani.
Konsumsi Kedua Terbesar
Dalam penetapan CHT, Menkeu mengatakan, pemerintah menyusun instrumen cukai dengan mempertimbangkan sejumlah aspek mulai dari tenaga kerja pertanian hingga industri rokok. Di samping itu, pemerintah juga memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
Pertimbangan selanjutnya yaitu mengenai konsumsi rokok yang menjadi konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras. Bahkan, konsumsi tersebut melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam.
“Yang kedua mengingat bahwa konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin yaitu mencapai 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan," jelas Sri Mulyani.
Konsumsi rokok adalah kedua tertinggi setelah beras, bahkan melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam, serta tahu, tempe yang merupakan makanan-makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Advertisement