Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah mengumumkan mengakhiri masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada 30 Desember 2022. Dengan pencabutan ini maka berbagai pembatasan untuk mencegah menularan virus Covid-19 telah ditiadakan.
Indonesia memang bertarung keras di tengah pandemi Covid-19 ini. Jokowi menginginkan adanya keseimbangan antara penanggulangan virus dengan pertumbuhan ekonomi. Ia tak ingin langkah pencegahan penularan covid-19 membuat pertumbuhan ekonomi terkapar dan juga sebaliknya.
Advertisement
Dalam Rapat Koordinasi Nasional Transisi Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) Tahun 2023, Presiden Joko Widodo menceritakan kisruh yang terjadi saat di awal pandemi Covid-19 yang terjadi pada 2020, di mana banyak tekanan untuk segera memutuskan apakah Indonesia perlu ikut lockdown atau tidak.
Saat rapat kabinet, 80 persen suara meminta lockdown karena semua negara melakukannya. Dia menyebut tekanan yang sama juga muncul dari pihak DPR dan partai politik.
“Coba saat itu kita putuskan lockdown, hitungan saya dalam 2-3 minggu rakyat sudah enggak bisa mencari nafkah, semuanya ditutup, negara tidak bisa memberikan bantuan pada rakyat. Apa yang terjadi? Rakyat pasti rusuh,” ungkapnya seperti dikutip dari Belasting.id, Kamis (26/1/2023).
Oleh karena itu, Jokowi memutuskan untuk tidak melakukan lockdown di 2020. Dia mengklaim walau banyak tekanan, tidak ikut lockdown adalah langkah yang tepat di masa awal pandemi Covid-19.
Jokowi menuturkan dalam keadaan banyak tekanan seperti itu perlu tetap jernih. Menurutnya, jika terlalu tergesa-gesa saat ada tekanan, hal itu bisa berujung pada pengambilan keputusan yang salah.
“Saya semedi 3 hari untuk memutuskan apa ini, apakah kita harus lockdown atau tidak. Karena betul-betul sangat tidak memiliki pengalaman semuanya mengenai ini,” kata Kepala Negara.
Presiden juga menyampaikan tantangan lainnya saat pandemi adalah tekanan dari sisi ekonomi. Dia menyebut pendapatan negara anjlok 16 persen sedangkan belanja negara naik 12 persen.
Pasalnya, meski tidak lockdown, kegiatan ekonomi masyarakat sempat terhenti. Itu menyebabkan penerimaan negara turun, namun belanja untuk berbagai kebutuhan justru naik. Jokowi kembali menilai tekanan seperti itu harus direspon dengan cepat dan tepat.
“Tekanan-tekanan seperti itu pada saat mengalami krisis dan kita tidak jernih, kita tergesa-gesa, kita bisa salah dan bisa keliru,” ujar Jokowi.
Jokowi Bersyukur Pandemi Covid-19 Bikin Semua Orang Mau Kerja Keras
Presiden Joko Widodo (Jokowi) coba mengambil hikmah dari pandemi Covid-19 yang telah memberikan banyak pelajaran bagi masyarakat Indonesia. RI 1 menilai, wabah tersebut seolah memaksa seluruh pihak bekerja keras menghadapi suatu tantangan yang benar-benar baru.
"Sebuah tantangan yang sangat berat, sebuah persoalan yang sangat-sangat berat yang kita hadapi saat itu. Tidak ada standarnya, tidak ada pakemnya, karena memang kita semuanya belum memiliki pengalaman dalam menangani pandemi ini," kata Jokowi dalam Rakornas Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional di Jakarta, Kamis (26/1/2023).
Padahal, ia mengatakan, pemerintah mendapat tekanan dari berbagai sisi. Mulai dari tuntutan pembatasan sosial, hingga negara dipaksa untuk memproduksi alat pelindung diri (APD).
Namun, Jokowi bersyukur bahwa manajemen makro dan mikro yang dilakukan timnya betul-betul sangat efektif.
"Saya melihat semuanya kita bekerja, karena tertekan oleh persoalan, tertekan oleh masalah, semuanya bekerja. Itu yang tidak saya lihat sebelum-sebelumnya," ujar Jokowi.
"Jadi ini sebagai pengalaman, ternyata kalau kita pengen semua ini bekerja, memang harus ditekan dulu. Ditekan oleh persoalan, ditekan oleh problem, ditekan oleh tantangan," ucapnya.
Contoh lainnya, Presiden menceritakan proses penentuan lockdown atau tidak guna membatasi penyebaran pandemi Covid-19. Menurutnya, bila pemerintah kala itu ambil keputusan salah, maka dampaknya akan sangat besar untuk perekonomian hingga hari ini.
"Saya semedi tiga hari untuk memutuskan apakah kita harus lockdown atau tidak. Karena betul-betul sangat tidak memiliki pengalaman semuanya mengenai ini. Pada saat yang sama, diteken juga dari sisi ekonomi. Bayangkan, pendapatan/penerimaan negara anjlok 16 persen. Padahal belanja harus naik 12 persen, gimana coba?" paparnya.
Advertisement
Manajemen Gas dan Rem
Selain itu, kata Jokowi, melakukan manajemen gas dan rem juga bukan sesuatu yang mudah. Begitu hitungan salah sedikit, ekonomi akan jatuh. Tetap begitu gasnya terlalu kencang, angka penyebaran pandeminya juga bisa naik.
"Kita menjaga keseimbangan antara kesehatan dan ekonomi yang semuanya menekan manajemen negara. Tidak mudah," sebut Jokowi.
"Tetapi, yang paling sangat mendukung adalah partisipasi masyarakat yang begitu sangat besar dalam menangani pandemi dan ekonomi kita. Ini lah yang harus kita apresiasi, kita hargai, karena semua memberi dukungan, dunia usaha, masyarakat di bawah, semuanya bergerak," tuturnya.