Liputan6.com, Madura - Tradisi carok di Madura dianggap sebagai sesuatu yang miris karena identik dengan kekerasan. Tradisi ini berbentuk perkelahian dengan menggunakan celurit, yakni senjata tajam yang melengkung dengan bagian ujung yang sangat tajam.
Meski tak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya, stereotip ini disebut membuat masyarakat Madura memiliki citra diri yang keras, kaku, ekspresif, temperamental, pendendam, dan suka melakukan tindak kekerasan. Mengutip dari 'Sikap Masyarakat Madura terhadap Tradisi Carok: Studi Fenomenologi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Madura' oleh Rokhyanto dan Marsuki, budaya Madura sebenarnya sarat akan nilai- nilai positif, hanya saja nilai-nilai positif itu tertutupi dengan sikap dan perilaku negatif dari sebagian orang Madura.
Perilaku carok tidak muncul begitu saja, melainkan ada penyebab yang sangat esensial. Pemicu utama dari budaya carok adalah ketika harga diri dan martabat seseorang terlukai, tercemar, dan terinjak-injak.
Carok terjadi karena persoalan-persoalan yang menyangkut ketersinggungan harga diri seseorang. Kasus carok pernah menelan tujuh jiwa di Kabupaten Pamekasan pada Juni 2007.
Baca Juga
Advertisement
Saat itu, darah kering masih menghiasi jalan utama Desa Bujur Tengah, Kecamatan Batu Marmar, Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Peristiwa carok merupakan suatu pembunuhan yang sangat keji dan sadis yang mengatasnamakan pertahanan harga diri yang tercabik.
Kekejaman, kekejian, dan kesadisan dapat dilihat dari kondisi korban carok. Tubuh para korban penuh luka bacokan, bahkan terkadang terpotong-potong sampai beberapa bagian.
Jika awalnya tragedi carok dipicu oleh sesuatu yang esensial dan prinsipil, lambat laun persoalan bergeser pada masalah martabat dan harga diri. Pergeseran pada persoalan-persoalan tersebut bisa dipicu oleh beberapa hal, seperti melanggar kesopanan, persoalan anak-anak, hingga penghinaan dan persoalan- persoalan kecil yang mampu membakar emosi.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Terang-Terangan
Pada awal kemunculannya, carok banyak dilakukan dengan cara ngonggai. Ngonggai yaitu menantang lawan secara terang-terangan dengan mendatangi rumahnya.
Sejak dekade 1970-an, terdapat pergeseran bahwa carok kadangkala dilakukan dengan cara nyelep. Nyelep diartikan sebagai bentuk menyerang lawan dari samping atau dari belakang saat dalam keadaan lengah.
Dengan adanya kebiasaan melakukan carok dengan cara nyelep, maka etika yang bermakna kejantanan bergeser menjadi brutalisme dan egois. Konon, di wilayah Madura pedalaman, tradisi carok dilakukan hingga turun-temurun.
Keluarga yang menjadi korban carok akan meyimpan baju yang bersangkutan (meninggal) ke tetangganya yang kelak akan diperlihatkan pada anaknya setelah dewasa. Hal tersebut untuk menunjukkan bahwa ayahnya mati karena carok yang akhirnya menimbulkan rasa dendam pada sang anak.
Ada banyak teori tentang konflik kekerasan orang Madura yang disebut dengan carok ini. Secara umum, pendapat-pendapat tersebut sama-sama menyatakan bahwa carok adalah konflik kekerasan orang Madura yang timbul dan disebabkan karena persoalan harga diri.
Dalam perkembangannya, budaya carok lambat laun mulai terkikis dari masyarakat tradisional Madura. Hal itu disebabkan oleh gesekan dengan budaya yang datang dari luar Madura, salah satunya masuknya akses pendidikan.
Dengan demikian, budaya carok sebagai warisan lama pun mulai tersingkirkan. Hal ini pula yang terus digaungkan D. Zawawi Imron, seorang penyair dan budayawan Madura yang menepis sekaligus menghapus pandangan tentang stigma orang Madura.
(Resla Aknaita Chak)
Advertisement