Ngayau, Tradisi Penggal Kepala Suku Dayak Kalimantan

Kayau (ngayau) merupakan tradisi potong kepala atau memenggal kepala musuh yang dilakukan Suku Dayak di Kalimantan

oleh Switzy Sabandar diperbarui 06 Nov 2022, 03:00 WIB
Mandau dan perisai menjadi pemandangan dan perlengkapan harian suku Dayak ketika menempuh perjalanan. (foto: Liputan6.com / FB / edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Pontianak - Budaya di Indonesia memiliki aneka ragam bentuk, mulai dari sekadar untuk hiburan hingga yang paling ekstrem sekalipun. Salah satu budaya ekstrem di Indonesia adalah ngayau.

Kayau (ngayau) merupakan tradisi potong kepala atau memenggal kepala musuh yang dilakukan Suku Dayak di Kalimantan. Mengutip dari 'Ritual Perang dalam Kebudayaan Suku Dayak' oleh Muhammad Luthfan Hanifi, ngayau dalam tradisi Suku Dayak tak dilakukan sembarangan, melainkan ada empat alasan yang menjadi motif di baliknya.

Ngayau didasari oleh motif untuk mempertahankan atau melindungi lahan pertanian, mendapatkan kekuatan magis sebagai daya rohaniah, balas dendam, hingga penambah daya tahan berdirinya bangunan. Masyarakat suku Dayak percaya bahwa tumbal kepala manusia dapat menjadikan bangunan lebih kokoh.

Motif lain tradisi penggal kepala Dayak adalah sebagai upaya atau mekanisme mempertahankan diri. Dalam hal ini, pertahanan diri yang dimaksud adalah pertahanan diri dalam peperangan terbuka.

Dalam peperangan saling membunuh, seseorang akan dibunuh jika tak membunuh lebih dahulu. Ngayau juga dimaksudkan sebagai mas kawin, yakni dengan membawa kepala korban, calon pengantin pria dianggap memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menjaga keamanan keluarganya kelak.

Dalam artikel tersebut tertulis, meski ngayau dilakukan atas latar belakang yang jelas, tetapi beberapa motif selain mempertahankan diri atau perang sudah ditinggalkan oleh sebagian besar Suku Dayak. Hal tersebut didasari oleh perjanjian Tumbang Anoi pada 1894 yang dilakukan Suku Dayak di seluruh Borneo untuk mengehentikan praktik ngayau.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Kesepakatan Menghentikan

Kesepakatan tersebut dilakukan karena pada masa itu Suku Dayak melakukan ngayau bahkan pada sesama Suku Dayak. Usai perjanjian Tumbang Anoi, praktik ngayau pun mulai ditinggalkan.

Meski demikian, beberapa konflik antar-etnis yang terjadi di Kalimantan memicu Suku Dayak untuk kembali mempraktikkan ngayau. Bisa dikatakan bahwa ngayau kini merupakan tradisi yang hanya dilakukan pada saat perang sebagai bentuk pertahanan diri.

Terdapat aturan-aturan adat yang harus dipatuhi dalam ngayau. Beberapa aturan tersebut meliputi mengayau tidak boleh dilakukan pada anak di bawah umur dan wanita yang baru melahirkan.

Selain itu, terdapat pantangan memasuki kampung yang terdapat tempayan berisi sirok somah, yakni sesajen permintaan maaf sembari menunduk. Sirok somah merupakan istilah sesajen dalam bahasa Dayak Jangkang.

Sesajen tersebut berisi tuak, daging ayam atau babi, kue ketan yang dimasak dalam bambu muda (lemang atau sobangkang), dan disajikan rapi di atas sebuah kerancak (semacam altar). Keberadaan sesajen sirok somah merupakan simbol bahwa kampung tersebut sedang berkabung atau ada wanita yang baru melahirkan.

Pantangan lain pada ngayau yakni dilarang menjarah dan memperkosa. Meski terdengar ekstrem, sebenarnya bagi Suku Dayak, ngayau memiliki makna tersendiri di baliknya.

Disebutkan, Suku Dayak memiliki tata krama pertempuran di mana ngayau harus dilakukan secara cepat agar musuh tidak terlalu lama menahan rasa sakit akibat luka parah. Selain itu, beberapa Suku Dayak juga memiliki kepercayaan bahwa dengan memakan hati korban, roh korban tidak akan mengganggu.

(Resla Aknaita Chak)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya