Liputan6.com, Jakarta Kenaikan cukai rokok seharusnya menjadi kabar baik bagi petani. Seharusnya, kenaikan harga rokok yang lebih mahal membuat petani tembakau mendapatkan lebih banyak.
“Ada (pengaruhnya), seharusnya petani dapat duit lebih banyak dong. Kalau harga rokok lebih mahal, petani tembakau bisa lebih banyak dong dapat duitnya,” ujar Ketua Komnas Pengendalian Tembakau Prof Hasbullah Thabrany kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Jumat (4/11/2022).
Advertisement
Dasar pemikiran Hasbullah ini berkaca pada petani lain seperti misalnya petani cabai, bawang, dan hasil bumi lainnya. Petani-petani ini akan cenderung senang ketika musim panen bertepatan dengan ketika harga jual sayur sedang tinggi. Namun, hal itu tidak berlaku bagi petani tembakau kalau ada kenaikan harga rokok.
“Kebanyakannya diplintir ini informasi, ‘digoreng’, ‘nanti harga rokok mahal orang enggak beli rokok lho, tembakau enggak laku loh’ ya yang begitu-begitu lah. Justru seharusnya petani bahagia dan mendukung kenaikan cukai rokok.”
Menurut, hal yang terjadi pada petani tembakau di Indonesia bukanlah kesalahpahaman melainkan sengaja dibuat salah paham.
“Bukan kesalahpahaman, ada yang membuat para petani tembakau salah paham untuk kepentingan para cukong. Bisa jadi tengkulaknya, bisa jadi industri rokoknya.”
Kenaikan CHT 10 Persen
Pemerintah baru saja mengumumkan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT). Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani kenaikan CHT di Indonesia rata-rata 10 persen.
“Rata-rata 10 persen, nanti akan ditunjukkan dengan sigaret kretek mesin (SKM) I dan II yang nanti rata-rata meningkat antara 11,5 hingga 11,75 (persen), sigaret putih mesin (SPM) I dan SPM II naik di 11 hingga 12 persen, sedangkan sigaret kretek tangan SKT I, II, dan III naik 5 persen,” ujar Sri Mulyani pada Kamis (3/11/2022) mengutip Bisnis Liputan6.com.
Kenaikan 10 persen ini masih dinilai kurang oleh Hasbullah. Kebijakan ini pun disebut belum 100 persen tepat bila merujuk usulan WHO.
“Tepat 100 persen belum, kalau Komnas Tembakau sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengusulkan naiknya 20 persen,” ujar Hasbullah.
Kenaikan cukai rokok 20 persen disebut tepat lantaran ada kaitannya dengan kenaikan upah yang diharapkan oleh para buruh.
“Kan ini akan ada kenaikan upah, buruh pada minta kenaikan upah. Keseimbangannya, supaya orang tidak menghabiskan duit tambahannya buat rokok ya harusnya harga rokok dinaikkan lebih tinggi lagi. Harusnya bisa sampai 20 persen naik cukai rokok.”
Advertisement
Lebih Baik Ketimbang Tidak Naik Sama Sekali
Meski begitu, lanjut Hasbullah, jika kenyataanya pemerintah memutuskan kenaikannya 10 persen, maka ini sudah lebih baik ketimbang tidak sama sekali.
“Ya ini lebih baik daripada tidak naik.”
Ia pun mengutarakan alasan di balik pernyataannya soal 10 persen masih kurang. Menurutnya, kenaikan cukai rokok 10 persen tidak akan mampu menurunkan jumlah perokok.
“Tidak akan, 10 persen tidak akan menurunkan jumlah perokok. Hanya mungkin buat perokok anak-anak yang baru coba-coba merokok bisa jadi ya agak mikir juga kalau dikasih uang belanjanya kurang. Yang kita tuju sekarang ini jangan sampai anak-anak sekolah ini semakin mudah ngeluarin duitnya buat beli rokok.”
Menurunkan angka perokok anak memang menjadi tantangan, lanjutnya, saat ini 20 persen anak-anak yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah merokok. Cukai rokok yang lebih tinggi bisa mencegah peningkatan jumlah perokok anak.
“Anak kalau badannya enggak sehat gimana bisa sekolah, jadi pintar, dan produktif.”
Sebaiknya Mencontoh Australia, Rp250 Ribu/Bungkus
Kenaikan cukai rokok dinilai sebagai cara yang paling efektif dalam mengendalikan konsumsi rokok. Sejauh ini, Hasbullah tidak menemukan cara lain yang lebih efektif.
“Kalau yang lebih efektif, enggak ada, tapi yang bisa membantu bersama-sama menambah efektivitas cukai rokok itu banyak. Sosialisasi, penyadaran, iklan-iklan hidup sehat.”
“Harusnya pemerintah juga menggunakan pendapatan dari cukai rokok yang naik 10 persen ini dipakai untuk menyehatkan dan menyadarkan masyarakat bahwa rokok berbahaya.”
Di sisi lain, ada beberapa negara yang bisa dicontoh dalam hal pengendalian rokok, kata Hasbullah. Beberapa di antaranya adalah Singapura dan Australia.
“Negara dekat kita, Singapura mahal sekali harga rokoknya sehingga anak-anak sekolah enggak sanggup beli rokok. Tetangga kita di selatan, Australia, enggak boleh pajang rokok di toko jadi anak-anak enggak ada yang lihat dan tergoda pengen beli rokok. Harga rokok pun mahal sekali, di Australia Rp250 ribu satu bungkus.”
Ini merupakan langkah yang baik untuk membuat anak-anak sehat, katanya. Sayangnya, di Indonesia hal ini belum diterapkan. Padahal, kebijakan serupa akan tepat pula diterapkan di Indonesia karena bahaya rokok di negara manapun sama saja.
“Indonesia ini kan pemerintahnya masih belum kuat, masih terlalu banyak dikendalikan sama pengusaha-pengusaha yang melihatnya duit aja, soal rakyat sakit-sakitan di masa depan jadi urusan nanti. Banyak yang masih berpikir seperti itu, itu tantangan kita,” katanya.
Advertisement