Liputan6.com, Jakarta Seperti tahun-tahun sebelumnya, pemerintah tetap pada pendirian untuk terus menaikkan tarif cukai rokok demi menekan konsumsi. Kembali, pemerintah secara resmi mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok yang kini bahkan berlaku selama 2 tahun berturut-turut di 2023 hingga 2024.
Kenaikan tarif cukai rokok ini diumumkan langsunng Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati usai rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor, Kamis (3/11/2022).
Advertisement
Kenaikan tarif cukai hasil tembakau berlaku pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek pangan (SKP) akan berbeda sesuai dengan golongan.
“Rata-rata 10 persen, nanti akan ditunjukkan dengan SKM I dan II yang nanti rata-rata meningkat antara 11,5 hingga 11,75 (persen), SPM I dan SPM II naik di 12 hingga 11 persen, sedangkan SKP I, II, dan III naik 5 persen,” ujar Sri Mulyani.
Tak cukup sampai di sana, Presiden Jokowi juga meminta agar kenaikan tarif tidak hanya berlaku pada CHT, tetapi ikut menyasar rokok elektrik dan produk hasil pengolahan hasil tembakau lainnya (HPTL). Pada rokok elektrik, kenaikan tarif cukai akan terus berlangsung setiap tahun selama lima tahun ke depan.
“Diputuskan untuk meningkatkan cukai dari rokok elektronik yaitu rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk HTPL. Ini berlaku, setiap tahun naik 15 persen, selama 5 tahun ke depan,” lanjut Sri Mulyani.
Dalam penetapan cukai hasil tembakau, pemerintah menyusun instrumen cukai dengan mempertimbangkan sejumlah aspek mulai dari tenaga kerja pertanian hingga industri rokok.
Di samping itu, memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
Pertimbangan selanjutnya, mengenai konsumsi rokok yang menjadi konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras. Bahkan, konsumsi tersebut melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam.
“Yang kedua mengingat bahwa konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin yaitu mencapai 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan," kata dia.
"Ini adalah kedua tertinggi setelah beras, bahkan melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam, serta tahu, tempe yang merupakan makanan-makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat,” tambah Sri Mulyani.
Sejalan tujuan kenaikan tarif cukai guna mengendalikan baik konsumsi maupun produksi rokok, Menkeu berharap benar-benar dapat berpengaruh terhadap menurunnya keterjangkauan rokok di masyarakat.
“Pada tahun-tahun sebelumnya, di mana kita menaikkan cukai rokok yang menyebabkan harga rokok meningkat, sehingga affordability atau keterjangkauan terhadap rokok juga akan makin menurun. Dengan demikian diharapkan konsumsinya akan menurun,” ucapnya.
4 Alasan Dibalik Kenaikan Cukai
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara, mengungkapkan alasan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok kembali. Ternyata ada 4 penjabaran.
Anak buah Sri Mulyani itu menerangkan, alasannya menyangkut 4 hal utama yakni pertama, aspek konsumsi. Dimana konsumsi ini kaitannya dengan kesehatan, jika konsumsi naik maka bisa dikatakan kesehatan masyarakat bisa menurun.
"Setiap kali kita kebijakan cukai rokok ini selalu mem-balance 4 aspek. Aspek pertama, aspek konsumsi yang memiliki kaitannya dengan kesehatan. Kalau konsumsinya makin naik, ada hubungannya dengan kesehatan dan dunia internasional mengakui itu," kata Suahasil Nazara saat ditemui di kantor Kementerian Keuangan, Jumat (4/11/2022).
Kedua, aspek produksi, yaitu perusahaan rokok yang memproduksi hasil tembakau yang kaitannya dengan tenaga kerja. Pemerintah sangat mengapresiasi pengusaha rokok yang produksinya masih menggunakan tenaga manusia, sehingga mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri.
"Apalagi untuk segmen yang kerjanya pakai tangan,sehingga menyerap tenaga kerja kita," ujarnya.
Aspek ketiga adalah penerimaan negara. Aspek terakhir adalah kepatuhan hukum. Menurut dia, pemerintah selalu mencoba menyeimbangkan keempat aspek tersebut saat memutuskan untuk menaikkan tarif cukai rokok.
"4 ini selalu kita coba seimbangkan. Setiap kita bicara soal cukai rokok, ini basic filosofi kenaikan cukai rokok. 4 perseptif ini dari sisi ini jaga ketenagakerjaan, pendapatan negara, dan ada DBH nya juga dengan Pemda," ujarnya.
Disisi lain, Pemerintah juga memperhatikan barang kena cukai yang ilegal. Oleh karena itu, diperlukan ada mitigasi atas kebijakan kenaikan tarif cukai tersebut, agar tidak berpotensi rokok ilegal semakin marak.
"Tapi kita perhatikan terus barang kena cukai yang ilegal. Makanya perlu ada mitigasi atas kebijakan yang punya potensi tembakau yang ilegal. Hasil rokok ilegal ini dari produksi dari menggunakan pita cukai . Ada juga pita cukai yang salah kategori. Kandungan tidak sesuai dengan syarat. Jadi ini diamati degan detail," pungkasnya.
Suahasil juga mengatakan Pemerintah sengaja menetapkan kenaikan tarif cukai rokok sama untuk dua tahun berturut-turut yakni 2023 dan 2024 sebesar 10 persen, untuk menciptakan kepastian.
"Biar ada kepastian, untuk menciptakan kepastian (kenaikan tarif cukai rokok selama dua tahun)," tuturnya.
Harga Jual Rokok
Sementara itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto, menjelaskan untuk penentuan Harga Jual Eceran rokok nantinya usai tarif cukai naik akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan.
"Tentunya hasil ratas tersebut akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. Di dalam PMK tersebut tentunya akan ditetapkan Harga Jual Eceran minimun dan tarif cukainya. Bahwa kenaikan tarif 10 persen adalah tarif rata-rata tertimbang. Karena tentunya tarif SKT, SKM dan SPM berbeda," kata Nirwala kepada Liputan6.com.
Advertisement
Pelaku Industri Kecewa
Kenaikan cukai rokok rata-rata sebesar 10 perseni ini langsung menulai respons para pelaku di sektor pertembakaun. Tentunya pengusaha kecewa.
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi, mengatakan pelaku usaha di segmen rokok putih menyayangkan kenaikan cukai rokok sampai dua digit. Mereka berharap kenaikan cukai hanya dikisaran 7-8 persen saja. "Idealnya kenaikannya 7-8 persen," kata Benny kepada Liputan6.com.
Sebenarnya pelaku usaha di segmen rokok putih tidak mengharapkan kenaikan tarif cukai rokok 2023. Sebab, situasi ekonomi saat ini dinilai kurang kondusif.
"Kami sebenarnya berharap tidak ada kenaikan cukai karena situasi ekonomi yang kurang kondusif, kalaupun naik kami mengusulkan sekitar angka inflasi atau pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Dengan dinaikkannya tarif cukai rokok dikhawatirkan akan membuat rokok ilegal semakin marak di pasaran. Hal itu tentunya merugikan pengusaha rokok yang legal. Adapun rokok ilegal merupakan rokok tanpa cukai.
"Kami khawatir kenaikan cukai tinggi memicu maraknya rokok ilegal," imbuhnya.
Disisi lain, pelaku usaha menyebut dampak dari kenaikan tarif cukai ini kurang proporsional karena daya beli masyarakat saat ini melemah lantaran tergerus inflasi.
"Dampaknya cukup berat, karena daya beli masyarakat juga melemah tergerus inflasi. Kenaikan harga biasanya proporsional dengan kenaikan cukainya," ungkap Benny.
Kenaikan tarif cukai ini pun membuat pelaku industri rokok turut was-was. PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM), sebagai salah satu perusahaan rokok tanah air membeberkan sederet dampak dari kenaikan tarif cukai di tengah ekonomi yang bergejolak.
Sekretaris Perusahaan Wismilak Inti Makmur, Surjanto Yasaputera mengatakan, efeknya terutama mengarah ke konsumen karena pada dasarnya cukai adalah beban yang harus dibayar oleh konsumen. Namun, perusahaan menyadari kenaikan tarif cukai tidak bisa serta merta dibebankan seluruhnya kepada konsumen.
"Kenaikan harga jual tidak bisa sekaligus sesuai dengan kenaikan tarif cukainya, maka perusahaan mau tidak mau juga akan terkena imbasnya sementara waktu sebelum beban kenaikan cukainya bisa di-pass on ke konsumen, berupa pengurangan margin perusahaan,” kata Surjanto kepada Liputan6.com.
Di sisi lain, Surjanto mencermati kondisi daya beli masyarakat yang masih lemah menyusul kenaikan BBM dan inflasi belum lama ini. Sehingga jika ada kenaikan harga rokok seiring penyesuaian atas tarif cukai, maka akan tambah membebani konsumen.
Di sisi lain, Surjanto mewanti-wanti potensi maraknya rokok ilegal sebagai konsekuensi harga rokok legal yang kian melambung.
"Kenaikan tarif cukai yang cukup besar ini sudah terjadi dalam tiga tahu terakhir, termasuk rencana tahun depan, akan memicu maraknya rokok ilegal. Untuk itu Pemerintah perlu juga memperketat pengawasan dan mengambil tindakan terhadap peredaran rokok ilegal,” imbuh Surjanto.
Pukulan Telak Petani
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar, Mukhamad Misbakhun melihat naiknya cukai rokok sebesar 10 persen merupakan pukulan telak bagi petani tembakau.
Pasalnya, sudah 4 tahun berturut turut keadaan petani tembakau tidak baik-baik saja, bahkan terpuruk mengingat hasil panen tembakau rontok baik harga dan terlambatnya penyerapan.
"Dalam 3 tahun terakhir, kenaikan cukai cukup eksesif. Tahun 2020 cukai naik 23 persen, tahun 2021 naik 12,5 persen, dan tahun 2022 naik 12 persen," kata Misbakhun kepada Liputan6.com.
Bagi petani tembakau, salah satu kerontokan ekonomi mereka selama 5 tahun ini merupakan dampak dari kenaikan cukai rokok yang sangat tinggi.
Tingginya tarif CHT akan membuat perusahaan mengurangi produksi yang secara tidak langsung, mengurangi pembelian bahan baku. Padahal, 95 persen tembakau yang dihasilkan petani, untuk bahan baku rokok.
"Secara makro, kami juga melihat, kondisi saat ini sedang dalam situasi rentan, bahkan penuh ketidakpastian akibat resesi global. Kondisi ini, tentu berakibat pada tidak stabilnya daya beli termasuk terhadap produk tembakau. Kita juga belum benar-benar bisa keluar dari krisis akibat pandemi," bebernya.
"Bagi kami Anggota DPR, ini Adalah sebuah fait accompli pemerintah," ujar Misbakhun,
Dia meyebutkan bahwa Pemerintah tak melibatkan DPR untuk merumuskan kenaikan tarif cukai mendatang.
"Keputusan pemerintah mengumumkan kenaikan CHT sebesar 10 persen pada Kamis (03/11), kuat dugaan merupakan keputusan sepihak. Karena itu, Komisi XI dengan kewenangannya akan mengagendakan rapat kerja dengan Menteri Keuangan untuk meminta keterangan perihal kenaikan tarif CHT tersebut," ungkapnya.
Kendalikan Konsumsi Rokok
Berbeda dengan sikap kalangan industri, kenaikan tarif cukai rokok ini justru membuat YLKI senang. Ini karena kenaikan tarif cukai diyakini bisa mendorong pengurangan konsumsi.
Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno, mengatakan tujuan utama dari menaikkan cukai rokok memang demi pengendalian konsumsi. Hal ini sejalan dengan filosofi yang termaktub dalam UU Cukai, dimana barang yang dikenakan cukai peredaran perlu diawasi dan dibatasi.
"Dengan demikian kenaikan cukai rokok adalah langkah tepat untuk menyelamatkan masyarakat - terutama generasi penerus supaya terbebas dari zat adiktif. Dari sisi kesehatan publik, tentu ini hal yang sangat positif," katanya kepada Liputan6.com.
Selain itu, kenaikan cukai juga akan memberikan batasan akses pembelian rokok pada anak-anak dan remaja, dengan harga yang lebih mahal.
"Sebagai bahan pertimbangan bahwa prevalensi merokok pada anak-anak saat ini sudah mencapai 9,1 persen (Riskesdas 2018), jauh melewati target RPJMN 2020 yang hanya 5 persen saja," jelas Agus.
Sementara klaim yang selama ini muncul bahwa kenaikan cukai rokok akan melemahkan petani tembakau, adalah hal yang tidak relevan. "Pasalnya keberadan petani tembakau justru terancam oleh importasi daun tembakau yang sangat signifikan, oleh industri rokok besar. Ini yang seharusnya juga diatur dan dilarang oleh pemerintah," tukasnya.
Agus melanjutkan bahwa, petani tembakau selama ini dalam posisi yang lemah ketika berhadapan dengan industri melalui para gradernya.
"Petani tidak memiliki nilai tawar yang baik di saat musim panen tiba. Sedangkan satu satunya pasar tembakau adalah industri rokok," lanjutnya.
Kebijakan menaikan cukai rokok 2023/24 merupakan kebijakan yang tepat demi perlindungan kesehatan pada masyarakat konsumen, dan terkhusus pada anak-anak.
Di tambah lagi, dengan menaikan cukai rokok, pemerintah juga berkontribusi merontokkan upaya untuk mewujudkan generasi emas yang kini tengah diserukan.
"Bagaimana mau mewujudkan generasi emas jika mereka terserimpung oleh candu rokok akibat murahnya harga rokok, masifnya iklan dan promosi rokok plus peringatan kesehatan yang masih minimalis?," ujar Agus.
Senada, Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda mengatakan bahwa kenaikan cukai rokok tetap perlu dilakukan untuk pengendalian konsumsi.
Seperti diketahui, Pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok atau cukai rokok hingga 10 persen pada 2023 dan 2024.
"Maka selama konsumsi belum dikendalikan, kenaikan tarif cukai rokok harus dilakukan," katanya kepada Liputan6.com.
"Saya secara pribadi mendukung rencana kenaikan tarif cukai rokok ini. Meskipun memang akan berdampak negatif ke ekonomi, industri, dan pekerja," lanjut Nailul.
Namun Nailul mengakui, kenaikan tarif cukai rokok akan membuat konsumsi rokok menurun yang membuat ekonomi secara umum melemah.
"Industri Pengolahan Tembakau akan mengalami penurunan yang cukup tajam dan bisa berefek ke pekerja di industri rokok dan turunannya," ungkapnya.
Advertisement
Tak Cukup 10 Persen
Meski sudah dikerek 10 persen, namun kenaikan cukai rokok tersebut dinilai belum cukup. Ketua Komnas Pengendalian Tembakau Prof Hasbullah Thabrany menilai kenaikan CHT 10 persen belum tepat 100 persen.
“Tepat 100 persen belum, kalau Komnas Tembakau sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengusulkan naiknya 20 persen,” ujar Hasbullah saat dihubungi Health Liputan6.com.
Kenaikan cukai rokok 20 persen disebut tepat lantaran ada kaitannya dengan kenaikan upah yang diharapkan oleh para buruh.
“Kan ini akan ada kenaikan upah, buruh pada minta kenaikan upah. Keseimbangannya, supaya orang tidak menghabiskan duit tambahannya buat rokok ya harusnya harga rokok dinaikkan lebih tinggi lagi. Harusnya bisa sampai 20 persen naik cukai rokok.”
Meski begitu, jika kenyataanya pemerintah memutuskan kenaikan cukai rokok 10 persen, maka ini sudah lebih baik ketimbang tidak sama sekali, tambahnya.
Hasbullah menambahkan, kenaikan cukai rokok 10 persen tidak akan mampu menurunkan jumlah perokok.
“Tidak akan, 10 persen tidak akan menurunkan jumlah perokok. Hanya mungkin buat perokok anak-anak yang baru coba-coba merokok bisa jadi ya agak mikir juga kalau dikasih uang belanjanya kurang. Yang kita tuju sekarang ini jangan sampai anak-anak sekolah ini semakin mudah ngeluarin duitnya buat beli rokok.”
Menurunkan angka perokok anak memang menjadi tantangan, lanjutnya, saat ini 20 persen anak-anak yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah merokok. Cukai rokok yang lebih tinggi diharapkan bisa mencegah peningkatan jumlah perokok anak.
Hal ini pun diamini oleh Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Muhammad Mufti Mubarok. Dia menyebut kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 10 persen cenderung hanya memberikan shock effect sesaat bagi konsumennya.
Pasalnya, rokok bagi para penggunanya jadi kebutuhan primer yang sulit ditinggalkan. Meskipun pemerintah telah berkali-kali menaikkan cukai rokok plus memberikan himbauan bahaya penggunaannya, kebutuhan akan rokok jadi sesuatu yang cenderung tak bisa ditawar bagi perokok.
"Kami sebenarnya sudah lama (memantau) terkait cukai tembakau ini. Memang ini kan persoalan ketika dinaikan cukainya, konsumen sebenarnya teriak sebentar. Tapi tetap dibeli," kata Mufti kepada Liputan6.com di Jakarta.
Mufti lantas membandingkan harga rokok di Singapura, yang nominalnya lebih besar empat kali lipat di Tanah Air. Pemerintah Negeri Singa pun telah meminimalisir pergerakan perokok di tempat umum, tapi konsumennya tetap membeli.
"Kita kan bebas di sini, banyak merek rokok-rokok alternatif. Bahkan ta' liat sekarang banyak orang-orang yang ngelinting dewe, juga sekarang kan rokok elektrik vape mewabah, itu juga dinaikan cukainya," ungkapnya.
"Sebenarnya kenaikan sih biasa, hampir tiap waktu ada. Tapi kan tidak signifikan pengaruh terhadap ekonomi ini," imbuh Mufti.
Meski demikian, ia menganggap kenaikan cukai rokok bisa berbahaya terhadap arus kas konsumennya, yang cenderung sulit meninggalkan ketergantungannya meskipun harga melonjak.
"Kalau 10 persen memang agak signifikan sedikit terhadap yang mau membeli rokok. Daya konsumsi juga terbebani, karena kelas menengah bawah juga mikir ketika beli rokok. Kalau kelas atas tidak persoalan," ungkapnya.
Mufti lantas meminta agar cukai hasil tembakau tidak dinaikan dalam waktu dekat. Dia mengkhawatirkan kondisi perekonomian global yang hingga 2023 mendatang masih bakal diwarnai awan gelap.
"Artinya ketika resesi kan ada indikasi itu. Indikator makro ekonomi dan lain-lain juga cukup kuat. Kalau semua naik, masyarakat bagaimana? Itu kan soal happiness. Kesenangan orang tidak bisa dihentikan begitu aja," ujarnya.
Rokok Penyumbang Terbesar Kedua Kemiskinan
Hingga saat ini, jumlah perokok dewasa di Indonesia diketahui masih sangat tinggi. Setidaknya berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, tercatat 62,9 persen perokok dengan kategori usia dewasa.
Tak berhenti di sana, perokok pada anak usia 10-18 tahun pun meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2013, hanya ada 7,2 persen anak yang merokok. Namun pada 2018, persentasenya meningkat jadi 9,1 persen.
Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany menyabut, jumlah perokok aktif mengalami penambahan 8,8 juta orang dalam satu dekade. Hal ini berkebalikan dengan negara lain yang justru mengalami pengurangan jumlah perokok.
Dia menjelaskan, jumlah penduduk Indonesia yang konsumsi rokok terus bertambah. Padahal seharusnya dengan berbagai kebijakan yang ada harus turun.
Dalam bukti ilmiah rokok merupakan perusak dan pecandu bagi kesehatan yang tidak terbantahkan di seluruh dunia. "Indonesia luar biasanya sudah mencandu rokok tidak lagi merasa yang aneh dan tidak bagus karena sudah dianggap rutin," kata dia.
Di Indonesia, prevalensi merupakan tertinggi di dunia yakni dengan perokok laki-laki dewasa sebanyak 70,5 persen.
"Negara-negara maju tidak ada yang tinggi. Di Myanmar 70,2 persen dan Tuvalu 68 persen. ini menjadi tantangan besar untuk kita," jelasnya.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), rokok menjadi penyumbang terbesar kedua kemiskinan di Indonesia setelah beras. Lebih menyedihkannya lagi, perokok anak naik dari 7,2 persen pada tahun 2013 menjadi 9,1 persen pada tahun 2018.
"Kita lihat survei 2019 anak anak dengan usia 13 hingga 25 tahun hampir 40 persen pernah merokok usia SMP dan yang masih aktif merokok hingga saat ini 18,8 persen. ini sangat menyedihkan dan mereka yang akan menjadi pemimpin di tahun 2045 yang harusnya bisa bersaing tetapi kalau kecanduan merokok akan semakin berat," terang Hasbullah.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), dr Femmy Eka Kartika Putri menilai, selama ini konsumsi rokok sebenarnya telah dianggap sebagai hambatan besar dalam mewujudkan cita-cita dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Adanya keputusan untuk kenaikan tarif cukai rokok akhirnya disambut baik.
"Konsumsi rokok menjadi salah satu hambatan terbesar dalam mewujudkan cita-cita meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia khususnya pada pemuda," ujarnya melalui siaran pers yang dipublikasikan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI).
Cukai terbukti di berbagai negara sebagai instrumen fiskal paling efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok. Bahkan, pengendalian konsumsi rokok dengan cara ini menjadi sebuah pilar penting.
Sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk mengurangi konsumsi rokok, berbagai pihak termasuk Kementerian Keuangan sendiri telah melakukan penyesuaian tarif cukai rokok setiap tahunnya.
"Jadi saya sampaikan kembali, pengendalian konsumsi merupakan salah satu pilar paling penting. Terutama dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia," ujar Analis Kebijakan Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febri Pangestu, MPP.
Pendapat selaras disampaikan oleh Koordinator Penanggulangan Kejadian Luar Biasa/Wabah dan Kedaruratan Kesehatan, Kemenko PMK, Rama Prima Syahti Fauzi.
Kenaikan harga rokok bisa menggeser pola konsumsi masyarakat. Dengan begitu, budget untuk membeli rokok secara langsung maupun tidak langsung bisa beralih ke hal lain.
"Harga rokok diharapkan naik agar dapat menggeser pola konsumsi di 2023 agar belanja masyarakat tidak di industri rokok. Melainkan ke peternak telur, petani-petani hortikultura, sayuran, buah-buahan, dan sebagainya," ujar Rama.
Selain itu, menurut Rama, cara ini di sisi lain dapat membantu mempercepat penurunan stunting di Indonesia yang masih tinggi.
Advertisement