Liputan6.com, Jakarta Negara hukum yang berlandaskan Pancasila memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehensif, dan dinamis melalui upaya pembangunan hukum.
Salah satu proses pembangunan hukum yang sedang dilaksanakan oleh Pemerintah, khususnya di bidang hukum pidana, adalah dengan melakukan revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Advertisement
Ini diungkapkan Koordinator Informasi dan Komunikasi Hukum dan HAM, Kementerian Kominfo, Filmon Warouw dalam kegiatan Forum Literasi Hukum dan HAM Digital (Firtual) bekerja sama dengan Universitas Negeri Semarang dengan tema “Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP),” Kamis (3/11/2022).
“Acara ini diharapkan dapat menjadi sarana sosialisasi pembahasan terkait penyesuaian RUU KUHP kepada elemen-elemen publik. Sebagai penutup, semoga acara ini membawa manfaat yang besar dan positif bagi kita, masyarakat, dan negara,” jelas Filmon.
Dia mewakili Direktur Informasi Komunikasi Politik, Hukum dan Keamanan, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Bambang Gunawan.
Dia menegaskan jika upaya pemerintah untuk merevisi dan menyusun sistem rekodifikasi hukum pidana nasional bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda sehingga sesuai dengan dinamika masyarakat.
Kementerian Komunikasi dan Informatika bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia telah menyelenggarakan acara Kick Off Dialog Publik RUU KUHP.
Langkah ini untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat serta membuka ruang dialog guna menghimpun masukan terhadap draft RUU KUHP sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo pada Rapat Terbatas terkait RUU KUHP.
Kemkominfo bekerja sama dengan tim RUU KUHP pun giat melaksanakan public hearing Sosialisasi RUU KUHP sebagai pemenuhan persyaratan Pasal 96 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Hal tersebut guna menjalankan amanat Mahkamah Konstitusi (MK) terkait partisipasi publik yang bermakna atau meaningfull participation.
"KUHP karena usianya sudah 100 tahun lebih, maka ini juga momentum untuk kita melakukan pembaharuan hukum pidana kita, yang akan menjadi legacy kita bersama," jelas Guru Besar Universitas Negeri Semarang, R. Benny Riyanto.
Dia berharap, tahun ini, pada masa sidang terakhir DPR, RUU KUHP bisa disahkan menjadi undang-undang.
Sosialisasi kemudian dilanjutkan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo yang menyatakan ada lima misi RUU KUHP yaitu pertama, rekodifikasi terbuka dan terbatas.
“Sekitar 75-80% KUHP yang sekarang digunakan tetap dipertahankan akan tetapi ditambahkan pada bab terakhir yaitu bab 34, tindak-tindak pidana khusus tapi yang diambil hanya core crimes saja, terbuka karena masih membuka untuk tindak pidana lain tapi terbatas dengan serangkaian prasyarat KUHP yang termasuk tindak pidana khusus yaitu terorisme, pelanggaran HAM berat, narkotika, korupsi, dan money laundering,” katanya.
Prof. Tuti menyatakan misi kedua yaitu demokratisasi. Ketiga, aktualisasi yaitu ketentuan yang mewadahi kondisi yang sedang terjadi saat ini.
Keempat, modernisasi yang mengacu pada perkembangan dalam dunia internasional khususnya ketentuan yang sudah dirumuskan dalam Treaty Bodies. Hal terakhir yaitu harmonisasi agar KUHP tidak menyalip dan saling melengkapi satu sama lain.
Selain itu, Prof. Tuti juga menjelaskan tentang pedoman pemidanaan yaitu, pertama, pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan derajat manusia, kedua, hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan, dan ketiga, jika terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan.
14 isu krusial dalam RUU KUHP
Sementara, Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Ali Masyhar pada sesi selanjutnya menjelaskan ada 14 isu krusial dalam RUU KUHP.
Hukum diposisikan tertinggal dengan fakta sosial pada ranah hukum tertulis, namun KUHP mengedepankan hukum living law, maka tidak ada hukum yang tertinggal dengan fakta sosial karena hukum pre-existence atau hidup bersama dengan masyarakat.
"Hukum jangan terlalu tertinggalan, harus selalu bersama masyarakat," tegasnya.Selain itu ada 6 alasan untuk perubahan KUHP yaitu alasan politik, sosiologis, filosofis, praktis, adaptif, dan sistematis.
Dr. Ali menegaskan, secara filosofis KUHP WvS ini bukan dilahirkan dari bangsa Indonesia sehingga tidak selaras dengan jiwa Pancasila maka dari itu KUHP harus diubah sesuai filosofi Indonesia yaitu Pancasila.
Sosialisasi ini diharapkan dapat menjadi sarana sosialisasi pembahasan terkait penyesuaian RUU KUHP kepada elemen-elemen publik.
Selain pemaparan materi, acara juga diikuti oleh sesi tanya jawab oleh para peserta dan social media challenge dengan tema testimoni mengenai RUU KUHP.
Acara yang diikuti oleh sekitar 110 orang peserta luring dan 380 orang peserta daring ini diselenggarakan secara hybrid di Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah dan melalui aplikasi Zoom, serta dapat disaksikan ulang kanal YouTube Ditjen IKP Kominfo.
Advertisement