Liputan6.com, Jakarta GAPKI mengirimkan Surat Terbuka kepada Komisi Uni Eropa, Parlemen Uni Eropa, dan Dewan Uni Eropa. Surat tersebut menegaskan bahayanya Peraturan Deforestasi Uni Eropa, terutama bagi petani kecil Indonesia.
Pada tanggal 9 November, Komisi, Parlemen, dan Dewan Uni Eropa akan melakukan negosiasi Trilogi terbaru mereka, tentang Peraturan Deforestasi. Industri dan petani kecil Indonesia mengirimkan pesan yang kuat dan bersatu kepada para pemimpin Uni Eropa.
Advertisement
"Peraturan Deforestasi Uni Eropa akan berdampak negatif pada sektor kelapa sawit Indonesia dan 4 juta petani kecil yang memproduksi minyak sawit. Petani kecil Indonesia akan diblokir dari pasar Eropa, merusak pertumbuhan ekonomi Indonesia dan membunuh pekerjaan," dikutip dari keterangan tertulis GAPKI, Sabtu (5/11/2022).
Menurut GAPKI, pendekatan Uni Eropa terhadap minyak sawit secara langsung bertentangan dengan aspirasi G20 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan P.B.B. 2030.
"Sudah waktunya untuk mengakhiri sandiwaranya melawan minyak sawit. Entah UE tidak memahami ancaman eksistensial yang akan ditimbulkan oleh Peraturan ini bagi jutaan petani kecil di Indonesia, atau tidak peduli. Keadilan sosial diabaikan, dan kebijakan pembangunan ditinggalkan. UE akan kehilangan semua otoritas moral di negara berkembang jika menerapkan kebijakan ini," jelas GAPKI.
Berikut sejumlah fakta yang diungkapkan GAPKI:
1. Proposal UE tentang keterlacakan, petani kecil, dan profil risiko, jelas melampaui apa yang diperlukan dan masuk akal untuk menjamin keberlanjutan
2. Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) berada di jalur yang tepat untuk menjadi skema keberlanjutan terbesar di dunia untuk komoditas apa pun
3. Deforestasi telah turun lebih dari tiga perempat selama dua dekade terakhir dan mencapai titik terendah sepanjang masa
4. Keberlanjutan minyak sawit Indonesia diakui oleh banyak mitra dagang termasuk Peraturan Uji Tuntas Inggris
5. Indonesia telah menandatangani komitmen kerja sama baru dengan negara mitra seperti Norwegia
Produknya Masih Dicap Bermasalah, Industri Sawit Diminta Gencar Promosi
BV Mehta mengaku tak memakai minyak sawit di rumahnya. Direktur Eksekutif The Solvent Extractor’s Association of India itu baru mengonsumsinya saat makan di restoran, menyantap sajian di hotel atau di menu katering. Sebab, di tiga bidang itu lah ekstrak tanaman Elaeis guineensis tersebut mayoritas digunakan.
Dia mengakui, minyak sawit kurang populer untuk konsumsi rumah tangga di negerinya. Dianggap kalah kelas di banding minyak nabati lain seperti olive oil, misalnya. “Belum dianggap produk premium,” kata dia dalam konferensi pers di ajang Indonesian Palm Oil Conference (IPOC), 4 November 2022.
Minyak sawit, kata dia, masih dianggap produk murah yang ditujukan buat orang-orang yang tak berpunya. Untuk itu perlu diberikan pemahaman untuk mengubah citra negatifnya,” tambah BV Mehta.
Dan, meskipun keberlanjutan bukan fokus utama untuk negaranya. Konsumen pada akhirnya juga akan mempertanyakan soal itu, dipicu informasi yang mereka terima.
Jose Angel Olivero, Sales Director Lipidos Santiaga SA (LIPSA) berpendapat serupa. Selain Indonesia, produk minyak kelapa sawit jarang ditemukan di rak-rak supermarket di seluruh dunia. Bahkan di Kolombia sekalipun, yang menjadi penghasil CPO nomor wahid di Amerika Latin.
“Ada yang salah dengan industri sawit, kenapa mereka tidak bisa memasarkan produknya?,” kata dia. Apalagi di pasar Eropa. Situasinya lebih pelik.
Advertisement
Merespons Narasi dengan Promosi
Pada 2019, Pemerintah RI mengajukan gugatan melawan Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kebijakan-kebijakannya yang dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia.
Hal itu terkait rencana penghentian pemakaian minyak sawit sebagai bahan bakar hayati di Uni Eropa pada 2030 dalam dokumen Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II (RED II). Efeknya dianggap negatif untuk perdagangan sawit di Eropa dan menurunkan citra produk itu di pasar global. Hingga kini, belum ada putusan soal gugatan itu.
Menurut Olivero, wajar kemudian ada dugaan bahwa apa yang dilakukan Uni Eropa adalah bentuk proteksionisme. Dan bukan hal luar biasa jika memang UE melakukannya. “Jangan terkejut jika Eropa mempertahankan produk-produknya seperti Anda melindungi kelapa sawit,” kata dia.
Di pasar biofuel maupun makanan, adalah hal biasa ketika seseorang memilih produk dari negaranya. Misalnya, orang Spanyol berpendapat wine terbaik adalah yang mereka buat. Klaim serupa tapi tak sama berlaku di kalangan warga Prancis dan Italia.
Hingga kini ada banyak sorotan yang diarahkan ke produk sawit Indonesia. Terkait isu kesehatan, di Eropa Selatan menyebar persepsi negatif bahwa palmitic acid atau asam palmitat yang dikandungnya terkait kanker, soal saturasi, kontaminasi 3MCPD/GE, dan Mosh/Moah (mineral oil saturated hydrocarbons) yang bisa menggangu kesehatan.
Sementara di Eropa Utara, keberlanjutan jadi pokok masalah. Isu deforestasi dan ketenagakerjaan mengemuka di sana. Kata Olivero, menghentikan deforestasi adalah cara terbaik untuk menjawab isu deforestasi. Hal lain yang harus dilakukan adalah promosi, meski itu bakal membutuhkan biaya yang tak kecil.
“Saatnya untuk promosi. Jangan anggap ini pengeluaran tapi investasi. Sektor kelapa sawit sendiri bernilai US$ 90 hingga 100 miliar,” tambah dia.