Persekusi Minoritas Muslim di India dan Katholik di Nigeria, Ulil Abshar Abdalla: Pendekatan HAM Penting tapi Tak Memadai

Isu minoritas menjadi salah satu pembahasan di Forum Agama G20 atau Forum R20. Mereka membicarakan tentang aksi persekusi yang terjadi di berbagai belahan dunia, misalnya terhadap minoritas Katolik oleh mayoritas Muslim di Nigeria atau terhadap minoritas Muslim oleh mayoritas Hindu di India

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Nov 2022, 22:30 WIB
Isu persekusi terhadap minoritas muslim di India dan Katholik di Nigeria dibahas dalam sesi pleno R20 atau Forum Agama G20, di Yogyakarta, Sabtu (5/11/2022). (Foto; LTN PBNU/Liputan6.com)

Liputan6.com, Yogyakarta - Isu minoritas menjadi salah satu pembahasan di Forum Agama G20 atau Forum R20. Mereka membicarakan tentang aksi persekusi yang terjadi di berbagai belahan dunia, misalnya terhadap minoritas Katolik oleh mayoritas Muslim di Nigeria atau terhadap minoritas Muslim oleh mayoritas Hindu di India.

Di antara pembahasnya adalah Uskup Matthew Hassan Kukah dari Sokoto, Nigeria. Ia mengungkap bagaimana minoritas Katholik Sokoto yang mendapat persekusi dari mayoritas Islam di sana. Ia terang-terangan berbicara ketimpangan, pilih kasih, hingga pembunuhan yang dialami kelompoknya.

Di Yogyakarta dalam sesi pleno, Uskup Kukah kembali berbicara perihal perlunya menimbang istilah minoritas tidak dipandang dari sisi kuantitas saja. Minoritas perlu dilihat dari perspektif lain, yaitu penderitaan atas segala bentuk diskriminasi dan persekusi yang dialaminya.

Hal itulah yang perlu diperhatikan oleh para tokoh pemimpin agama dunia, para akademisi, juga pengambil kebijakan. Itu ia sampaikan saat Sesi Pleno Forum R20 di Hotel Hyatt Regency, Yogyakarta, Sabtu (5/11/2022).

Menanggapi hal itu, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla menyampaikan bahwa ia memang mempersoalkan istilah minoritas karena selama ini lebih didasarkan pada angka.

"Yang jarang dibicarakan ketika kita membicarakan soal minoritas ini adalah mengenai soal penderitaan yang mereka alami," katanya usai sesi pleno Forum R20 berakhir, dikutip dari keterangan tertulis LTN PBNU.

Mereka hanya dipandang secara numerik, tetapi jarang dilihat dalam kebijakan yang diambil oleh para tokoh-tokoh dunia, yaitu penderitaan yang dialami minoritas semua agama. Tidak hanya Kristen, Hindu, ataupun Budha, tetapi juga minoritas Muslim.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Pendekatan HAM Tak Cukup, Butuh Bahasa Agama

"Kemarin di dalam diskusi sesi kemarin, saya mengangkat soal masalah minoritas ini yang sering dipersekusi semua agama," ujarnya.

Di India, Muslim yang dipersekusi dan salah satu kelompok yang diundang dalam pertemuan Forum R20 sekarang adalah dari kelompok yang dikenal sebagai kelompok Hindu nasionalis di India yang selama ini melakukan persekusi kepada umat Islam.

"Setiap mayoritas melakukan persekusi meskipun persekusi bukan satu-satunya gambaran. Ada juga mayoritas umat melakukan hal-hal yang baik. Mereka melindungi juga, tetapi ada juga elemen-elemen mayoritas yang melakukan persekusi," katanya.

"Nah ini yang harus diatasi dengan jujur. Itu salah satu tema sentral dalam konferensi sekarang, jujur mengakui bahwa ada kesalahan yang kita lakukan," imbuhnya.

Cendekiawan yang akrab disapa Gus Ulil ini menegaskan bahwa isu minoritas memang salah satu problem di dalam hubungan antaragama. Membicarakan kedudukan minoritas bukan hanya minoritas di dalam Islam tetapi juga minoritas di agama-agama lain.

Semua agama punya problem minoritas ini harus dibicarakan dengan jujur dan tidak selalu menggunakan pendekatan yang sekuler, yaitu pendekatan HAM. Pendekatan HAM ini penting, tapi tidak cukup.

"Jadi pendekatan HAM ini pendekatan yang tapi penting tapi tidak memadai karena bahasa agama juga diperlukan untuk mengatasi masalah minoritas ini, bagaimana berdasarkan pemahaman masing-masing kita terhadap tradisi kita masing-masing kita coba membangun suatu sebut saja teologi minoritas," terangnya.

 


Utamakan Koneksi bukan Koreksi

Selain membicarakan minoritas, Sesi Pleno Forum R20 di Yogyakarta juga merumuskan nilai-nilai bersama yang mempertemukan semua agama. Rabbi Yakov Nagen menekankan agar mengutamakan koneksi ketimbang koreksi. Artinya penekanan hubungan antarumat agama lebih didahulukan daripada koreksi terhadap agama lain.

Menanggapi hal itu, Gus Ulil menyampaikan bahwa dengan adanya rumusan seperti ini, akan mudah melakukan kerja sama dan koneksi hubungan antar berbagai kelompok agama.

"(Tentang) bagaimana strategi untuk membuat keputusan-keputusan atau kesepakatan bersama dalam pertemuan ini bisa diterima oleh pemimpin-pemimpin G20. Karena, tujuan dari konferensi ini adalah membuat agama dan nilai-nilai dan tradisi agama itu dipertimbangkan di dalam keputusan-keputusan kebijakan-kebijakan yang diambil para pemimpin dunia yang nanti akan datang di Bali dalam pertemuan G20," terang Gus Ulil.

Salah satu rumusan yang diusulkan adalah membuat deklarasi bersama tentang nilai-nilai yang sama di antara semua agama. Salah satu nilai yang mendapatkan tekanan dalam Forum R20 adalah nilai tentang martabat manusia.

"Semua agama menekankan pentingnya manusia sebagai nilai dasar karena itu manusia perlu menjadi fokus dalam pembangunan. Pembangunan bukan hanya berpusat kepada kesejahteraan material, tetapi juga kesejahteraan manusia," terang Pengampu Ngaji Ihya Ulumiddin daring itu.

Forum Agama G20 atau R20 digelar PBNU bersama Liga Muslim Dunia atau Muslim World League (MWL) di Nusa Dua, Bali, pada 2-3 November 2022. Ia menjadi engagement group G20. Ada 338 partisipan yang hadir pada perhelatan R20, yang berasal dari 32 negara. Sebanyak 124 berasal dari luar negeri. Forum tersebut menghadirkan 45 pembicara dari lima benua.

Peserta R20 selanjutnya diajak berkunjung ke Yogyakarta dan Jawa Tengah. Selama 4-6 November 2022 mereka mengunjungi antara lain Keraton Yogyakarta, Candi Prambanan, Vihara Mendut, Candi Borobudur, Universitas Islam Indonesia (UII), dan Pesantren Pandanaran.

Seperti diketahui, forum R20 akan diselenggarakan secara kontinu menyesuaikan dengan urutan presidensi G20, yakni di India pada 2023, di Brazil pada 2024, dan di Afrika Selatan pada 2025.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya