Pertumbuhan Pasar Negara Berkembang Bakal Lebih Cepat, Ini Pendorongnya

Pasar negara berkembang akan catat pertumbuhan lebih cepat didorong sejumlah faktor.

oleh Agustina Melani diperbarui 06 Nov 2022, 11:10 WIB
Seorang wanita berjalan melewati layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo, Senin (10/2/2020). Pasar saham Asia turun pada Senin setelah China melaporkan kenaikan dalam kasus wabah virus corona. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Liputan6.com, Jakarta - Pasar negara berkembang dinilai akan mendapatkan sejumlah katalis positif pada akhir 2022 dan memasuki 2023 seiring pertumbuhan yang cepat.

Mengutip riset PT Ashmore Asset Management, ditulis Minggu (6/11/2022), pasar negara berkembang akan catat pertumbuhan lebih cepat didorong sejumlah faktor.

Pertama, negara berkembang mempunyai kemampuan untuk secara proaktif merespons situasi COVID-19 dan kembali pulih. Namun, apa yang belum pulih adalah diskon akibat COVID-19 di negara berkembang. Saham di Amerika Serikat (AS) diperdagangkan pada tingkat yang sebanding secara luas sebelum dan sesusudah pandemi COVID-19 sekitar 17 kali. Sebaliknya, indeks MSCI pasar berkembang diperdagangkan sekitar 12 kali sebelum COVID-19 dibandingkan sekitar 10 kali.

Kedua, perang antara Rusia dan Ukraina menunjukkan kecenderungan peningkatan multi-polaritas dan potensi risiko geopolitik secara global. “Investor didorong untuk melakukan diversifikasi portofolio dan untuk identifikasi negara-negara netral yang ditempatkan dengan baik untuk dapatkan keuntungan dari arbitrase ekonomi,” demikian mengutip  Ashmore.

Lebih lanjut disebutkan mengingat sifat heterogen negara berkembang dan rentang geografis, negara berkembang selalu terdiri dari “pemenang” dari setiap situasi geopolitik.

Ketiga, kendala komoditas karena kekurangan pasokan. JPMorgan memperkirakan persediaan komoditas global saat ini mencapai 64 hari dibandingkan 70 hari pada tahun lalu, dan 76 hari lima tahun lalu. Menurut Citibank, konsumsi nilai komoditas secara global telah meningkat dari USD 6,3 triliun pada 2019 menjadi USD 12,5 triliun, atau dari 6 persen menjadi 13 persen dari produk domestik bruto (PDB) dunia.

“Ini memicu hal positif dari kejutan perdagangan dan transfer kekayaan eksportir komoditas, banyak di antaranya berada di negara berkembang,”

Terakhir, kebijakan divergen. Suara bulat pengetatan dari bank sentral Amerika Serikat atau the Federal Reserve (the Fed) dan bank sentral Eropa (ECB) berarti berharap pertumbuhan ekonomi negara maju terus berlanjut mengurangi kecepatan.

“Potensi kebijakan positif pivot kemungkinan harus menungggu berkelanjutan bukti dinamika inflasi yang lebih stabil kecuali risiko keuangan memicu kepanikan kebijakan sebelumnya,”

 


Harga Komoditas Tinggi Untungkan Pasar Negara Berkembang

Layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Rabu (4/3/2020). IHSG kembali ditutup Melesat ke 5.650, IHSG menutup perdagangan menguat signifikan dalam dua hari ini setelah diterpa badai corona di hari pertama pengumuman positifnya wabah corona di Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebaliknya negara berkembang adalah mendekati akhir kebijakan moneter ketat. “Kami berharap kebijakan secara bertahap akan menjadi lebih ekspansi saat memasuki 2023 seiring manfaat dari pertumbuhan ekonomi domestik, laba, dan kinerja pasar saham,”

Saat bergerak menuju akhir 2022, dan memasuki 2023, prospek COVID-19 begrerak mundur, meningkatkan diversifikasi ke negara berkembang, kebijakan negara berkembang yang ekspansif dan harga komoditas tetap lebih tinggi lebih lama pertanda positif untuk negara berkembang.

Secara keseluruhan, kami mempertahankan overweight untuk saham. Sementara itu, kami mempertahankan sikap hati-hati untuk obligasi seiring kenaikan suku bunga belum menunjukkan tanda akan segera melambat,” tulis Ashmore.


Rilis Data Ekonomi Global Pekan Ini

Ilustrasi wall street (Photo by Robb Miller on Unsplash)

Adapun sejumlah rilis data ekonomi yang rilis pekan ini antara lain  bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Fed menaikkan suku bunga acuan 75 basis poin menjadi 3,75 persen-4 persen pada pertemuan November 2022.

Selain itu, Kanada melaporkan surplus neraca dagang menjadi USD 1,1 miliar pada September 2022. Namun, hal itu masih di bawah harapan pasar sebesar USD 1,3 miliar. Selanjutnya zona Eropa mencatat rekor inflasi tinggi menjadi 10,7 persen pada Oktober 2022 dari sebelumnya 9,9 persen pada September 2022.

Di sisi lain, bank sentral Inggris menaikkan suku bunga acuan 75 basis poin menjadi 3 persen pada pertemuan November 2022. Kenaikan suku bung aitu terbesar sejak 1989, dan meningkatkan biaya pinjaman ke level tertinggi sejak 2008.

Bank sentral Australia menaikkan bunga 25 basis poin menjadi 2,85 persen pada pertemuan November 2022, dan sesuai harapan pasar.

Sementara itu, Indonesia mencatat inflasi 5,71 persen pada Oktober 2022, dan turun dari posisi September 2022 sebesar 5,95 persen. Inflasi tersebut di atas target bank sentral di posisi 2-4 persen.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya