Liputan6.com, Amsterdam - Para aktivis dari Greenpeace dan Extinction Rebellion menerobos bandara di Belanda untuk menghalangi lepas landas jet pribadi. Mereka melakukan aksi dengan cara naik sepeda.
Dilansir situs Belanda, NOS, Minggu (6/11/2022), ada lebih dari 200 aktivis yang terlibat di aksi tersebut. Para pasukan keamanan di Bandara Schipol lantas melakukan aksi kejar-kejaran.
Pada video yang viral di Twitter, para aktivis lingkungan sengaja berkeliaran di area lepas landas, sehingga pesawat kesulitan berangkat. Ada juga aktivis yang sengaja duduk di dekat roda pesawat, bahkan merantai diri ke pesawat.
Baca Juga
Advertisement
Para aktivis Greenpeace dan Extinction Rebellion itu memanjat pagar dengan tangga. Greenpeace berkata ini merupakan bentuk dari aksi damai.
Berdasarkan rilis resmi Greenpeace, ada lebih dari 500 aktivis yang terlibat. Para pengunjuk rasa disebut khawatir dengan krisis iklim dan masyarakat lokal juga terdampak oleh suara berisik dari Bandara Schiphol tersebut.
"Kami sangat bangga pada semua orang yang terlibat di aksi damai hari ini di melawan Bandara Schiphol yang memiliki polusi besar dan penerbangan mewah yang tak perlu," tulis Dewi Zloch dari Greenpeace Belanda.
Dewi juga meminta agar ada pembatasan terhadap penerbangan pesawat pribadi yang dampaknya bisa merusak lingkungan. Ia juga mendukung penggunaan kereta api.
"Para elit orang kaya makin sering menggunakan jet pribadi, itu merupakan cara paling berpolusi untuk terbang. Ini hal biasa di industri aviasi yang tidak paham bahwa hal tersebut membawa risiko pada masyarakat karena memperparah krisis iklim. Ini harus berhenti. Kami ingin lebih sedikit penerbangan, lebih banyak kereta api, dan pencekalan terhadap penerbangan jarak pendek yang tidak diperlukan dan jet pribadi," kata Dewi.
Janji Terus Beraksi
Setelah berlalu-lalang dengan sepeda dan merantaikan diri, aparat keamanan berhasil menangkap para aktivis tersebut. Media Belanda NOS menyebut tindakan para aktivis diserahkan ke ranah hukum.
Namun, aktivis lingkungan berjanji akan terus beraksi apabila tidak ada perubahan. Aksi mereka di Bandara Schiphol disebut sebagai sebuah "pernyataan penting".
"'Jet set' orang-orang kaya bertanggung jawab atas sebagian besar penerbangan dan emisi karbon yang tinggi. Dan tidak ada yang dilakukan untuk menyetop mereka. Ini waktunya agar aviasi mulai mematuhi perjanjian iklim Paris. Selama Schiphol terus mengotori, kami akan terus mengambil aksi," ujar Tessel Hofstede dari Extinction Rebellion.
Bandara Schiphol adalah bandara terbesar kedua di Uni Eropa.
Greenpeace mencatat bahwa perjalanan dengan jet pribadi semakin marak di Eropa. Padahal, jet pribadi menghasilkan 10 kali emisi rumah kaca dari penerbangan biasa. Apabila dibandingkan dengan kereta, emisi jet pribadi lebih tinggi hingga 50 kali lipat.
"Berdasarkan PBB, kita perlu mengurangi emisi rumah kaca dengan cepat. Apa yang dilakukan Schiphol sungguh tidak konsisten dengan hal tersebut. Tak ada cara lain, angka penerbangan harus turun. Jika pemerintah dan Schiphol tidak mau tanggung jawab, kami harus mengambil aksi sendiri untuk menghentikan polusi ini," ujar Dewi Zlockh dan Tessel Hofstede.
Advertisement
Waspada Merek-Merek Greenwashing, Klaim Ramah Lingkungan Sebatas Janji Manis
Sebelumnya dilaporkan, klaim ramah lingkungan telah riuh digemakan sederet merek, dari UMKM sampai perusahaan global, seiring narasi krisis iklim yang gencar disuarakan dan menarik atensi publik. Bersamaan dengan itu, tuduhan greenwashing juga makin kencang berhembus.
Melansir Tech Target, Selasa, 1 November 2022, greenwashing adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tindakan palsu, menyesatkan, atau tidak benar maupun serangkaian klaim dampak positif yang dimiliki perusahaan, produk, atau layanan terhadap lingkungan.
Sebagai pelanggan, tentu penting memahami mana perusahaan yang benar-benar berdampak pada ibu Bumi atau mereka yang ternyata sekadar greenwashing. Sebagai langkah awal, menurut Head of Communication PT Unilever Indonesia, Tbk., Kristy Nelwan, konsumen harus punya rasa ingin tahu.
"Jadi harus cari tahu terus. Ini benar enggak campaign-nya, apa dampaknya, jelas enggak tujuannya, karena kalau (kampanye ramah lingkungannya) benar dan (pelanggan) mau mencari, informasinya ada dan enggak sulit didapatkan," ia mengatakan ketika ditemui usai jumpa pers peluncuran kampanye "Every U Does Good" inisiasi Unilever Indonesia di bilangan Jakarta Pusat, Selasa, 1 November 2022.
Kristy menyambung, "Kemudian, apakah benar ada program yang berkelanjutan. Walau (dari) semua program itu ada yang berhasil banget, ada yang harus di-improve. Yang harus kita hargai adalah upayanya, tapi benar ada, enggak greenwashing."
Ia mengatakan, membedakan dengan "kasat mata" memang tidak akan bisa. "Dimulai dari pertanyaan kritis, 'Apakah ini greenwashing atau benar berdampak pada lingkungan?' lalu mau mencari tahu," tuturnya.
Every U Does Good
Kristy mengatakan, pelanggan juga bisa melihat apakah upaya ramah lingkungan sebuah merek ada dalam inovasi produk, kemasan, serta program berdampak. "Kalau ada, berarti itu legit," ucapnya.
Ia berpendapat tidak ada periode tertentu dalam menilai apakah sebuah kampanye ramah lingkungan benar berdampak atau sekadar greenwashing. "Memulai lebih baik daripada tidak sama sekali. Ada yang baru pun harus dihargai, karena bukan berarti itu enggak akan jalan," katanya, menambahkan bahwa bukan berarti konsumen meninggalkan pemikiran kritis mereka.
Memboyong semangat program berdampak, termasuk pada lingkungan, pihaknya kembali menggelar kampanye bertajuk "Every U Does Good" tahun ini. Di tahun ke-2, mereka ingin mengajak individu maupun perusahaan untuk bisa memberikan kebaikan bagi sekitar melalui berbagai cara yang sederhana, mulai dari memilih merek yang memiliki tujuan, hingga jadi heroes.
Kristy menuturkan, "Tahun ini kami kembali mengajak generasi muda jadi heroes masa kini dengan bergabung dalam 'Every U Does Good Heroes' untuk berkontribusi nyata pada lingkungan dan masyarakat."
Advertisement