Liputan6.com, Jakarta - Obat tradisional dengan uji klinis atau fitofarmaka semakin mendapat kepercayaan masyarakat Indonesia dan dunia. Dexa Group pun meyakini Indonesia mampu mencapai tujuannya dalam kemandirian industri farmasi nasional dengan obat-obatan tersebut.
Berlokasi di perayaan Hari Kesehatan Nasional di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Jumat, 4 November 2022, Molecular Pharmacologist yang juga menjabat sebagai Direktur Riset dan Pengembangan Bisnis Dexa Group, Prof Raymond Tjandrawinata menilai Indonesia mampu untuk mandiri di bidang farmasi dengan memanfaatkan kekayaan di dalam negeri.
Baca Juga
Advertisement
Prof Raymond menjelaskan bahwa Indonesia kaya akan tumbuhan obat atau herbal yang mampu menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Namun, perlu uji klinis agar tumbuhan tersebut bisa dijadikan obat yang aman dikonsumsi oleh pasien.
"Fitofarmaka sendiri adalah obat-obatan dari bahan dasar alami atau herbal yang keamanan dan kemanfaatannya sudah dibuktikan dan diuji secara klinis. Tidak sebentar, uji klinis ini bisa sampai belasan bahkan puluhan kali hingga memakan waktu berbulan-bulan," kata Raymond dalam talkshow bertemakan 'Menuju Kejayaan Obat Modern Asli Indonesia'.
Sebelum uji klinis berlangsung, ada serangkaian yang harus dilakukan. Tahapannya dimulai dari standardisasi bahan baku dan produk jadi, sertifikasi CPOTB, uji pra-klinis, uji klinis, dan terakhir mutu produknya sebelum ditetapkan sebagai fitofarmaka.
Di Indonesia, belakangan ini fitofarmaka mendapat kepercayaan dari para dokter untuk menyembuhkan para pasiennya, mulai dari penyakit kronis seperti diabetes, TBC, stroke, hingga ketahanan imun untuk melawan virus di dalam tubuh.
"Untuk Indonesia bagus sekali, pasien sudah banyak percaya, sudah banyak diresepkan oleh para dokter, terutama fitofarmaka yang sudah masuk uji klinis, dan sudah masuk dalam daftar fitofarmaka yang dikeluarkan Kemenkes," ujar Raymond.
Tantangan di Dalam Negeri
Memanfaatkan potensi itu, Dexa Group turut memproduksi obat herbal secara modern dengan segala uji klinis menyertainya. Hal itu bertujuan memperoleh kepercayaan para dokter, terkait cara kerja, keampuhan serta minim efek samping kepada organ tubuh.
Uji klinislah yang membedakan antara fitofarmaka dengan berbagai jenis jamu yang sama-sama berbahan tanaman herbal. Bahkan, satu jenis obat bisa sampai 10 tahun uji klinisnya, dengan melibatkan puluhan ilmuwan.
Tantangannya, sambung dia, saat ini fitofarmaka saat ini belum masuk dalam e-catalog nasional. Dexa Group masih menunggu peluang dari Kemenkes, memberi ruang fitofarmaka asli buatan Indonesia, untuk masuk e-catalog sehingga bisa digunakan para dokter di berbagai fasilitas kesehatan.
"Sehingga Indonesia bisa mandiri dalam bahan baku obat-obatan, tidak lagi ketergantungan pada bahan impor," ujarnya.
Pada 31 Mei 2022, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meluncurkan formularium fitofarmakadi Jakarta Convention Center. Hal ini adalah wujud mendukung upaya kemandirian Indonesia dalam produk obat berbahan baku alam yang ampuh dan terbukti berkhasiat secara ilmiah.
Advertisement
Bukti Sejarah
Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono berharap Formularium Fitofarmaka ini dapat mengoptimalkan pemanfaatan fitofarmaka untuk pelayanan kesehatan. Pada akhirnya, hal itu dapat meningkatkan ketahanan kesehatan, khususnya kemandirian sediaan farmasi di Tanah Air.
"Diharapkan ke depannya obat-obat herbal menjadi salah satu kunci mempertahankan kemandirian kita dalam pengobatan secara nasional," kata Dante mengutip keterangan pers Kementerian Kesehatan.
Formularium Fitofarmaka merupakan pedoman bagi sarana pelayanan kesehatan dalam pemilihan fitofarmaka untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan melalui mekanisme penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Keputusan tentang hal ini tertuang dalam menerbitkan Kepmenkes No. HK.01.07/MENKES/1163/2022 pada 19 Mei 2022 tentang Formularium Fitofarmaka.
Dengan peluncuran formularium fitofarmaka, Dante berharap pemanfaatan obat fitofarmaka harus benar-benar dioptimalkan. Upaya yang bisa dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan bahan baku alam di Tanah Air. Hal ini mengingat fitofarmaka harus menggunakan bahan baku asli Indonesia, diproduksi di Indonesia, dan memenuhi standar yang ditetapkan.
Hati-Hati Kandungannya
Di sisi lain, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyebut setidaknya 64 produk atau 0,65 persen dari total 9.915 produk obat tradisional mengandung bahan kimia obat (BKO).
"Walaupun persentase obat tradisional mengandung BKO tergolong relatif kecil, namun bahaya terhadap kesehatannya sangat tinggi bagi masyarakat," ujar Kepala BPOM Penny K Lukito dalam webinar Bahaya Obat Tradisional Mengandung BKO pada Selasa, 5 April 2022, dikutip dari kanal Health Liputan6.com.
Ia menuturkan setidaknya ada lima BKO yang kerap muncul dalam obat tradisional yang beredar di Indonesia. Kelimanya adalah Sildenafil Sitrat dan turunannya dengan klaim obat tradisional untuk stamina pria, Parasetamol dengan klaim untuk pegal linu, dan Tadalafil dengan klaim untuk stamina pria, deksametason dengan klaim mengatasi pegal linu, dan Sibutramin hidroklorida dengan klaim sebagai obat pelangsing.
Penny mengakui bahwa jamu merupakan salah satu aset dan potensi yang dimiliki oleh Indonesia. "Nilai ekspor jamu pada tahun 2021 mencapai 41,5 juta meningkat 11 persen dibandingkan tahun 2019. Jadi, ada potensi jamu yang harus kita jaga dan kembangkan," katanya.
Namun, ia mengingatkan agar masyarakat ikut memberantas jamu yang mengandung BKO berbahaya untuk kesehatan jangka panjang. Caranya adalah dengan membeli jamu yang telah mendapatkan izin resmi dari BPOM.
Advertisement