Fenomena Gerhana, Bagaimana Orang Batak Memaknai Peristiwa Langit?

Di tanah Batak, fenomena Gerhana Bulan disambut dengan bunyi-bunyian dan teriakan warga.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 08 Nov 2022, 00:00 WIB
Ilustrasi gerhana bulan total (Screenshot of Twitter/@NASAMoon)

Liputan6.com, Bandung - Tepat pada 8 November 2022, akan terjadi Gerhana Bulan Total di bumi Indonesia. Diperkirakan fenomena langit itu berlangsung dengan durasi total selama 1 jam 24 menit 58 detik dan durasi umbral (sebagian ditambah total) selama 3 jam 39 menit 50 detik.

Secara astronomis, Gerhana Bulan Total terjadi ketika seluruh bayangan umbra bumi jatuh menutupi bulan, sehingga matahari, bumi, dan bulan berada tepat di satu garis yang sama. Hal ini membuat Bulan masuk ke umbra Bumi.

Akibatnya, saat puncak gerhana terjadi, bulan akan terlihat berwarna merah.

Berdasarkan tradisi di setiap daerah di Indonesia, terutama pada masa-masa lampau, ada kecenderungan yang dilakukan oleh masyarakat saat terjadi gerhana. Di tanah Batak, fenomena Gerhana Bulan disambut dengan bunyi-bunyian dan teriakan warga.

Menurut Bungaran Antonius Simanjuntak dalam Pemikiran tentang Batak: Setelah 150 Tahun Agama Kristen di Sumatera Utara (2011), gerhana bulan dipercaya disebabkan oleh Angkalau atau pasukan matahari yang menyerang bulan. Hal itu dipercaya masyarakat Batak Toba yang masih tinggal di perdesaan.

Jika bulan tidak tampak di langit pada malam hari, mereka percaya bahwa Angkalau berhasil menyambar bulan. Supaya Angkalau segera mengembalikan bulan yang disambarnya dan berharap bulan tersebut kembali bercahaya seperti semula, mereka biasanya memukul kaleng dan meneriakkan "Paulak bulan i Angkalau" yang artinya "Kembalikan bulan itu Angkalau!".

Bebunyian dan teriakan itu dipercaya akan membuat Angkalau segera mengembalikan bulan.

“Demikianlah cerita-cerita itu dituturkan dari mulut ke mulut sejak anak kecil sampai tua dan diwariskan terus-menerus kepada generasi berikutnya sebagai salah satu warisan budaya. Pada kurun waktu tertentu sastra lisan ini memiliki peranan tidak kecil dalam kehidupan masyarakat Batak Toba,” ulas Bungaran.


Diyakini Membawa Sial

Ilustrasi gerhana bulan total. (Sumber foto: unsplash.com)

Pada masa lalu, fenomena gerhana bulan sering dianggap sebagai peristiwa mistis termasuk dengan masyarakat Batak Toba. Ketika gerhana bulan, terutama gerhana bulan penuh, diyakini akan membawa sial.

Hal itu didasari pemahaman mereka bahwa ketika gerhana bulan, bulan sedang ditawan roh jahat sehingga bumi menjadi gelap.

Untuk mengusir roh jahat itu, mereka akan memukul-mukul benda untuk menghasilkan bunyi-bunyian sambil berteriak bersama-sama. Bunyi-bunyian itu untuk mengusir roh jahat.

"Itulah sebabnya kalau mau gerhana bulan orang-orang kumpul di halaman rumah mereka. Begitu bulan lenyap mereka langsung memukul-mukul benda apapun yang bisa mengeluarkan bunyi. Mungkin seperti mengusir burung di sawah," kata budayawan Batak Soritua Naibaho dikutip dari Medanbisnisdaily.com, Senin (29/1/2018).

Namun, ada juga yang berpendapat saat itu bulan telah dimakan seekor naga jahat, karenanya ketika bulan menghilang orang-orang memukul-mukul tanah. Karena di tanah itulah naga itu berdiam.

Sori menjelaskan, sekarang ini baru dipahami bahwa gerhana bulan adalah salah satu fenomena alam di mana cahaya bulan tertutup oleh bumi sehingga untuk beberapa saat bumi menjadi gelap. Bulan seakan-akan hilang.


Filosofi Gerhana

Di desa berusia 400 tahun itu, Raja Willem dan Ratu Maxima disambut tarian Batak Tortor Panomunomuan. Kemudian diberi ulos sebagai bentuk penghormatan

Bagi suku Batak, gerhana bulan dan matahari disebabkan oleh pertempuran antara sang juara matahari, sang lau, dengan sang juara bulan, hala.

Selama gerhana berlangsung, orang Batak membantu dengan teriakan nyaring dan penembakan senjata. Juga pada saat gempa bumi, kata ‘suhul, suhul, suhul’ diteriakkan.

Kata ini berarti ‘cengkeraman gagang pedang’, dan digunakan untuk mengingatkan ular raksasa Naga Padoha tentang gagang pedang (suhul) yang dengannya ia disematkan di bawah bumi.

Edwin M Loeb menjelaskan, setiap hari tidak dibagi menjadi beberapa jam, tetapi waktu digambarkan relatif terhadap posisi matahari atau peristiwa-peristiwa yang terjadi pada interval kebiasaan dua puluh empat jam. Seperti pagi disebut ‘ketika ayam berkokok’.

Orang-orang Batak bisa mengetahui waktu hingga setengah jam dengan mengukur sudut bayangan lengan antara matahari dan cakrawala.

Leluhur Batak juga mempunyai hitungan 30 hari dalam satu bulan. Kisahnya, parhalaan (astronomi) Batak tentang jumlah hari per bulan tersebut adalah dari lamanya perputaran bulan dan matahari (berkejaran). Dalam turiturian atau folklor, ‘Porbadaan ni mataniari dohot bulan’ (Pertikaian matahari dengan bulan), antara lain dikisahkan: Ia umbahen na diboto halak pe ari na gonop tolu pulu ari, sian bulan ma i. Umbahen na diboto deba pe ari na so jadi porulaonhononhon, manang ari na denggan pe, na jadi siporulaonhononhon, sian bulan do, umbahen na diboto halak'.

Artinya, orang mengetahui satu bulan genap tiga puluh hari, adalah dari bulan. Juga mengapa diketahui kapan hari yang tidak baik atau hari yang baik untuk melakukan sesuatu kegiatan atau acara juga diketahui dari bulan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya