Liputan6.com, Jakarta Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI per 6 November 2022 malam, total kasus gagal ginjal akut di Indonesia mencapai 324 anak. Data tersebut tersebar di 28 provinsi yang melaporkan.
Juru Bicara Kemenkes RI, dr Mohammad Syahril mengungkapkan bahwa dari 324 pasien gagal ginjal akut yang ada, 27 anak diantaranya masih menjalani perawatan di rumah sakit.
Advertisement
Pasien terbanyak yang dirawat di rumah sakit ada di provinsi DKI Jakarta dengan total pasien mencapai 10 anak. Sisanya berada pada provinsi Jawa Barat (2), Aceh (2), Jawa Timur (1), Banten (4), Sumatera Barat (3), Bali (1), Sumatera Utara (1), Nusa Tenggara Timur (1), Kepulauan Riau (1), dan Kalimantan Utara (1).
"Jumlah kasus 324, yang dirawat 27 di rumah sakit di seluruh Indonesia. Meninggal 195 dan yang sudah sembuh 102," ujar Syahril dalam konferensi pers Update Perkembangan Gangguan Ginjal Akut Pada Anak (AKI) di Indonesia, Senin (7/11/2022).
Syahril menjelaskan, terdapat tiga stadium pada kasus gagal ginjal akut. Angka kematian tertinggi sendiri disebabkan oleh pasien yang memang sudah berada pada stadium 3 dimana mereka sebagian besar membutuhkan hemodialisis.
Dari data Kemenkes, setidaknya terdapat 58 persen pasien yang berada pada stadium 3 dan terdapat 59 persen pasien yang meninggal.
"Memang bisa stadium 3 itu kita obati jika belum jadi stadium yang sangat berat. Kalau stadium 1 dan 2 insya Allah bisa diselamatkan," kata Syahril.
Sebelumnya, Syahril mengungkapkan bahwa pihak Kemenkes RI sangat bersyukur karena tidak ada lagi penambahan kasus pada 6 November 2022 dari kasus baru maupun kasus lama yang baru dilaporkan.
Penyebabnya Sudah Dikonfirmasi
Lebih lanjut Syahril mengungkapkan bahwa penyebab gagal ginjal aku sudah dicari dari kajian yang dilakukan antara pihak Kemenkes, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), rumah sakit, ahli epidemiologi, apoteker, dan ahli toksikologi.
Hal tersebut dilakukan dengan menyingkirkan kemungkinan lain yang menyebabkan gagal ginjal akut. Mulai dari infeksi bakteri, virus, atau jamur. Serta, hal lain seperti dehidrasi, pendarahan, dan kemungkinan penyakit penyerta.
"Setelah melalui serangkaian penelitian itu dan menyingkirkan kemungkinan penyebab yang lain, maka kita dengan hasil penelitian pemeriksaan darah pada pasien. Kemudian urine, maka didapatkan suatu zat yang menjadikan sebab terjadinya keracunan atau intoksikasi pada ginjal anak," ujar Syahril.
"Kemudian kita lanjutkan dengan pemeriksaan biopsi ginjal dan di sana kita temukan juga kelainan ginjal yang diakibatkan karena gangguan atau intoksikasi zat dietlien glikol maupun etilen glikol," tambahnya.
Sehingga dugaan terkuat dan terbanyak yang mengarah pada penyebab gagal ginjal akut adalah masalah intoksikasi obat. Begitupun bila berkaca pada kasus gagal ginjal yang terjadi pada anak-anak di Gambia.
Advertisement
Kasus Kian Menurun Sejak Keluar Larangan Obat Sirup
Alhasil untuk menindaklanjuti temuan itu, pihak Kemenkes RI secara resmi mengeluarkan larangan penggunaan obat sirup di masyarakat pada 18 Oktober 2022. Di tanggal yang sama, penggunaan fomepizole di RSCM Jakarta pun sudah mulai diberikan pada pasien.
Beberapa hari setelahnya, pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI pun ikut mengeluarkan larangan.
"Sejak tanggal 18 itu, kita lihat pasien sudah mulai turun terus dan alhamdulillah pada bulan November awal, pasien sudah hanya 1 atau pada hari ini sudah tidak ada pasien lagi yang bertambah maupun meninggal," kata Syahril.
"Dugaan ini menjadi kuat bahwa inilah (intoksikasi obat) yang menjadi penyebab terbanyak, penyebab tersering dari kasus gagal ginjal yang kita teliti."
Menurunnya kasus gagal ginjal akut sendiri diduga kuat karena sudah digunakannya obat antidotum yang didatangkan dari Singapura, Australia, maupun Jepang.
"Kedua hal inilah yang menjadi kebanggan kita semua bahwa reaksi cepat kita alhamdulillah semoga seterusnya tidak ada pasien gagal ginjal akut yang bertambah maupun yang meninggal," ujar Syahril.
Pakar Farmasi Sarankan Adanya Regulasi Baru
Dalam kesempatan berbeda, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Dr Zullies Ikawati mengungkapkan bahwa perlu adanya regulasi baru yang mewajibkan para industri farmasi memastikan kembali kualitas bahan baku untuk obat, dan tidak hanya mengacu pada apa yang diperoleh dari supplier.
"Maksudnya perlu dibuat regulasi baru yang mewajibkan industri farmasi untuk memastikan lagi kualitas bahan bakunya, tidak hanya mengacu pada Certificate of Analysis (CoA) produk yang diperoleh dari supplier," ujar Zullies pada Health Liputan6.com.
Bahkan menurut Zullies, perlu adanya tambahan regulasi juga terkait dengan cemaran EG dan DEG dalam suatu produk obat. Hal ini akan berguna untuk lebih menegaskan soal batasan yang diperbolehkan dan tidak.
"Juga ada tambahan regulasi terkait mengukur cemaran EG dan DEG jika perlu pada produk jadi atau final product," kata Zullies.
Selama ini, adanya kandungan EG dan DEG dalam suatu produk obat memang diperbolehkan. Hanya saja batasnya 0,1 mg/ml dari setiap produk. Sehingga bila melebihi kadar tersebut, maka kandungan ini akan menjadi cemaran yang membahayakan bagi konsumen.
Advertisement