Liputan6.com, Jakarta - Inflasi yang tidak terkendali, krisis utang yang sedang berlangsung, dan masalah biaya hidup menjadi kekhawtiran terbesar untuk melakukan bisnis bagi negara-negara G20 dalam dua tahun ke depan.
Hal itu diungkapkan oleh survei terbaru Centre for the New Economy and Society di World Economic Forum.
Advertisement
Dilansir dari US News, Selasa (8/11/2022) survei yang dilakukan menjelang pertemuan COP27 di Mesir dan KTT G20 di Bali itu juga menunjukkan bahwa masalah lingkungan menjadi perhatian paling belakang untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun.
Hal itu dikarenakan dunia menghadapi masalah sosial-ekonomi yang lebih mendesak mulai dari dampak dari perang Rusia-Ukraina hingga krisis biaya hidup.
"Transisi ke nol bersih telah turun terlalu jauh dalam agenda jangka pendek banyak pemimpin bisnis," kata Peter Giger, kepala divisi risiko di Zurich Insurance.
"Namun dampak perubahan iklim ada yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang," tambah Giger.
Seperti diketahui, sejumlah negara telah mengalami lonjakan inflasi di tingkat yang tidak terlihat dalam beberapa dekade, mendorong sepertiga dari negara-negara G20 untuk mengidentifikasi kenaikan harga sebagai perhatian utama mereka, menurut survei itu.
Meskipun bank sentral di seluruh dunia telah memulai jalur pengetatan kebijakan moneter yang agresif, upaya mereka untuk menjinakkan inflasi berisiko membawa ekonomi global ke dalam resesi.
Sementara itu, meski ada peningkatan kasus pelanggaran data dan ancaman keamanan berbasis teknologi, serangan siber termasuk di antara risiko yang paling jarang dikutip dalam survei terbaru World Economic Forum.
Eks Menkeu AS : Suku Bunga The Fed Harus Naik Sampai 5 Persen Bila Mau Taklukkan Inflasi
Mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat Larry Summers menyebutkan bahwa ada risiko yang jauh lebih besar terhadap ekonomi jika Federal Reserve tidak melakukan banyak upaya untuk menurunkan inflasi.
"Bahkan jika ada penurunan ekonomi atau resesi, saya tidak berpikir ada alasan untuk berpikir bahwa The Fed memiliki prospek nyata untuk mendorong inflasi secara tahan lama di bawah (target inflasi mereka) 2 persen tanpa lebih banyak tindakan," kata Summers, dikutip dari CNN Business, Rabu (2/11/2022).
Kepada Wolf Blitzer dari CNN dalam segmen The Situation Room, Summers mengungkapkan bahwa prediksi terbaiknya adalah suku bunga mungkin harus naik menjadi 5,5 persen, jika Amerika mengharapkan prospek signifikan untuk memulihkan inflasi ke tingkat target yang ditetapkan The Fed.
Seperti diketahui, suku bunga pinjaman acuan bank sentral AS saat ini berada di antara 3 persen dan 3,75 persen.
Pernyataan Summers tentunya bertolak belakang dengan serangkaian pendapat ekonom lainnya bahwa The Fed perlu menghentikan kenaikan suku bunga yang agresif untuk mencegah resesi.
Sejumlah tokoh ekonomi, termasuk CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon hingga pendiri Amazon Jeff Bezos, mengatakan mereka khawatir resesi akan segera terjadi.
Pasar, sementara itu, telah jatuh secara signifikan tahun ini. Summers setuju bahwa kemungkinan besar akan ada resesi tahun depan, dan mendorong masyarakat AS untuk menyadari datangnya masa-masa yang lebih sulit di masa mendatang.
Summers menyarankan, mereka yang khawatir pada resesi harus memastikan untuk mengatur kapasitas pinjaman dan menghindari pengambilan risiko keuangan.
Advertisement
Pemerintah Optimistis Inflasi 2022 di Bawah 6 Persen
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis tingkat inflasi bulan Oktober 2022 sebesar 5,71 persen. Mengalami deflasi dari bulan sebelumnya 5,95 persen di bulan September.
"Seperti yang kita ekspektasi beberapa waktu yang lalu kan ya inflasi kita itu diumumkan 5,1 persen (mtm) terjadi deflasi," kata Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, saat ditemui di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (1/11).
Pemerintah meyakini sepanjang tahun 2022 tingkat inflasi Indonesia masih bisa terkendali di bawah 6 persen. Walaupun menjelang akhir tahun, berpotensi terjadi kenaikan inflasi karena ada momentum natal dan tahun baru.
"Desember ini ada nataru, tapi kita usahakan seperti yang sudah kita bilang kalau kembali normal level," kata dia.
Demi meredam kenaikan inflasi, Suahasil mengatakan semua pihak telah bekerja sama dengan membentuk tim pengendalian inflasi hingga ke tingkat daerah. Utamanya inflasi dari kelompok volatile food yang memberikan andil besar pada tingkat inflasi nasional.
"Volatile food ini perlu diperhatikan untuk produk pangannya. Ada beras, hortikultura agar bisa sampai ke pasar," kata Suahasil.
Hasil produksi pangan juga perlu dijaga ketersediaannya dengan jumlah permintaan. "Kalau produksi cukup dan konsumsinya cukup, harusnya harganya bisa cukup stabil," ungkapnya.