Buntut Krisis Iklim, Kehidupan di Sepanjang Sungai Nil Berada di Titik Nadir

Aliran Sungai Nil yang merupakan sungai terpanjang kedua di dunia telah mengalami penurunan signifikan dalam 50 tahun terakhir.

oleh Gabriella Ajeng Larasati diperbarui 09 Nov 2022, 17:05 WIB
Ilustrasi Sungai Nil yang berada di Afrika. (Dok. Unsplash.com/Sharon Moy)

Liputan6.com, Jakarta - Pemanasan global menjadi sebuah isu yang patut dikhawatirkan bagi banyak negara di dunia. Pasalnya, dampak pemanasan global ini mengancam kelangsungan Sungai Nil, sungai terpanjang kedua di dunia.

Dilansir dari France 24, Selasa, 8 November 2022, dalam 50 tahun terakhir aliran Sungai Nil menurun dari 3.000 meter kubik per detik menjadi 2.830 meter kubik per detik. Menurut PBB, kurangnya curah air hujan dan meningkatnya kekeringan yang diperkirakan terjadi di Afrika Timur, dapat memengaruhi penurunan aliran sungai sebesar 70 persen pada 2100.

Sungai Nil yang mengalir di sepanjang Uganda hingga Mesir, menjadi sumber penghidupan yang penting bagi jutaan masyarakat yang tinggal di Afrika. Sungai ini memiliki panjang lebih dari 6.600 kilometer.

PBB telah memperkirakan hilangnya 75 persen air yang tersedia per penduduk lokal. Selain itu, erosi tanah, gagal panen, dan kekurangan listrik akan berdampak pada jutaan orang di Afrika yang bergantung hidup pada Sungai Nil.

Selanjutnya, dampak krisis iklim ini terlihat jelas di bagian selatan Sungai Nil, Danau Victoria. Danau Victoria yang terletak di antara Uganda, Kenya, dan Tanzania, merupakan pemasok air terbesar ke Sungai Nil, kecuali untuk curah hujan. 

Menurut penelitian pada 2020, seluruh air yang berada di Sungai Nil dapat menghilang dalam 500 tahun ke depan. Tentunya, hal tersebut berdampak pada sungai yang meliputi 10 persen benua Afrika dan sumber penghidupan bagi 500 juta orang yang tinggal di sekitarnya. 


Kurangnya Cadangan Air

Oasis terletak tepat di bawah Sungai Nil (diberi label dalam gambar NASA ini). (Kredit gambar: NASA)

"Mereka yang memiliki cadangan air yang sedikit hari ini, akan memiliki cadangan air yang lebih sedikit lagi karena persaingan untuk mendapatkan air akan semakin ketat," ujar Habib Ayeb, ahli geologi dan profesor emeritus di Universitas Paris-8-Saint-Denis. 

Ayeb menambahkan, kurangnya akses air di antara orang-orang yang tinggal di sepanjang Sungai Nil, khususnya di Mesir dan Ethiopia, sudah menjadi suatu masalah politik bukan lagi masalah perubahan iklim. Kedua negara tersebut lebih memprioritaskan kepada bisnis pertanian skala besar dibandingkan penduduk lokal.

Selain itu, adanya persaingan untuk mendapatkan air yang dikhususkan bagi pelaku agribisnis yang menanam produk untuk ekspor. Kebijakan yang bertujuan untuk mengekspor air dalam bentuk pangan, seperti tomat dan timun, tidak memperhitungkan populasi lokal yang membutuhkan air.

"Perubahan iklim mengancam dan memperburuk situasi bagi jutaan orang. Tingkat air yang rendah karena pemanasan global berdampak pada yang paling membutuhkan," tambah Ayeb.


Air Laut Masuk ke Delta Nil

Ilustrasi Sungai Nil. (dok. Unsplash.com/Vincent FOURNEAU)

Sementara itu, di ujung utara sungai terdampak efek lain dari perubahan iklim, khususnya di Delta Nil. Delta Nil merupakan lahan sedimentasi di mana sungai bertemu dengan Laut Mediterania.

Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Delta Nil termasuk salah satu dari tiga lokasi di dunia yang paling rentan terhadap pemanasan global. Aliran sungai yang mulai melemah berjuang untuk mendorong naiknya permukaan air laut.

Setiap tahun sejak 1960, Laut Tengah telah mengikis antara 35 dan 75 meter daratan di Delta Nil. Jika permukaan laut naik satu meter, sekitar 24 persen wilayah di sekitar Mesir Utara akan tenggelam dan menggusur tempat tinggal sembilan juta orang.

Ayeb mengungkapkan bahwa semakin sedikitnya air yang berada di lembah Nil, Delta Nil akan semakin banyak digeser oleh air dari Mediterania. Hal ini nantikan akan mengakibatkan pada resiko terjadinya erosi tanah, banjir, dan perubahan komposisi sungai.

"Lapisan air tanah di bawah delta sungai semakin berubah dengan adanya air asin dari Mediterania karena semakin sedikit air tawar yang tersedia," tambah Ayeb.


Lapisan Air Tanah Berubah

Ilustrasi Mesir. (Freepik)

 

Garam dari Mediterania sebenarnya sudah mencemari berhektare-hektare tanah dan melemahkan unsur tanah yang berakibat pada matinya tumbuhan. Para petani melaporkan adanya penurunan kualitas sayuran.

UNEP (United Nations Environment Programme) memperkirakan jika temperatur suhu terus meningkat, Mediterania akan mengikis Delta Nil sebesar 100 meter per tahunnya. Seiring berjalannya waktu, Mediterania dapat mengikis 100.000 hektare lahan pertanian yang berada kurang dari 10 meter di bawah permukaan laut.

Hal tersebut dapat memengaruhi Mesir karena di bagian utara negara tersebut menyumbang 30 hingga 40 persen produksi pertanian nasional. Untuk menanggulanginya, beberapa warga mencoba untuk memulihkan keseimbangan air tawar di ladang.

Beberapa warga mencoba untuk memompa air dari hilir Sungai Nil dan membangun bendungan. Namun, tindakan tersebut justru dapat memperburuk permasalahan secara keseluruhan.

Di sisi lain, Mesir kini menjadi tuan rumah penyelenggaraan KTT COP27 yang juga dihadiri Indonesia. COP27 membahas langkah-langkah negara di dunia dalam menghadapi krisis iklim yang semakin memburuk. Dengan masalah Sungai Nil di depan mata, bagaimana Mesir mengatasinya?

Infografis: Bumi Makin Panas, Apa Solusinya? (Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya