10 Puisi Sapardi Djoko Damono yang Sering Didengar

Puisi karya sastrawan terkenal yaitu Sapardi Djoko Damono yang maknanya begitu dalam sehingga membuat para pembaca maupun pendengarnya terbawa perasaan.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 10 Nov 2022, 11:00 WIB
Penyari Sapardi Djoko Damono. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Puisi merupakan karya sastra seseorang dalam menyampaikan pesan melalui diksi dan pola tertulis.

Bukan hanya itu, puisi juga berupa karya yang dikemas dalam bahasa imajinatif dan disusun dengan kata padat dan penuh makna. Sehingga para pembacanya terbawa arus dalam suasana puisi tersebut.

Seperti halnya puisi karya sastrawan terkenal yaitu Sapardi Djoko Damono yang maknanya begitu dalam sehingga membuat para pembaca maupun pendengarnya terbawa perasaan.

Ada begitu banyak puisi dari beliau, namun di sini kita ringkas menjadi 10 puisi yang sering kita dengar. Yuk kita simak bersama-sama.


Hujan Bulan Juni

tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu


Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


Hatiku Selembar Daun

Hatiku selembar daun

melayang jatuh di rumput;

Nanti dulu,

biarkan aku sejenak terbaring di sini;

ada yang masih ingin kupandang,

yang selama ini senantiasa luput;

Sesaat adalah abadi

sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.


Yang Fana Adalah Waktu

Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa

"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu.

Kita abadi.


Pada Suatu Hari Nanti

Pada suatu hari nanti,

Jasadku tak akan ada lagi,

Tapi dalam bait-bait sajak ini,

Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,

Suaraku tak terdengar lagi,

Tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,

Pada suatu hari nanti,

Impianku pun tak dikenal lagi,

Namun di sela-sela huruf sajak ini,

Kau tak akan letih-letihnya kucari.


Hanya

Hanya suara burung yang kau dengar

dan tak pernah kaulihat burung itu

tapi tahu burung itu ada di sana

Hanya desir angin yang kaurasa

dan tak pernah kaulihat angin itu

tapi percaya angin itu di sekitarmu

Hanya doaku yang bergetar malam ini

dan tak pernah kau lihat siapa aku

tapi yakin aku ada dalam dirimu


Sajak Kecil Tentang Cinta

Mencintai angin harus menjadi siut

Mencintai air harus menjadi ricik

Mencintai gunung harus menjadi terjal

Mencintai api harus menjadi jilat

Mencintai cakrawala harus menebas jarak

Mencintai-Mu harus menjelma aku


Menjenguk Wajah di Kolam

Jangan kau ulang lagi

menjenguk wajah yang merasa

sia-sia, yang putih

yang pasi itu.

Jangan sekali-kali membayangkan wajahmu sebagai rembulan.

Ingat, jangan sekali-kali. Jangan.

Baik, Tuan.


Akulah Si Telaga

akulah si telaga:

berlayarlah di atasnya;

berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil

yang menggerakkan bunga-bunga padma;

berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;

sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja perahumu biar aku yang menjaganya.


Dalam Diriku

Dalam diriku mengalir sungai panjang

Darah namanya;

Dalam diriku menggenang telaga darah

Sukma namanya;

Dalam diriku meriak gelombang sukma

Hidup namanya!

Dan karena hidup itu indah

Aku menangis sepuas-puasnya.

 

(Fathia Uqimul Haq)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya