Liputan6.com, Jakarta Tembakau sejak dahulu telah menjadi salah satu ciri khas dari identitas kebudayaan nusantara. Tak hanya komoditas semata, tembakau lekat dengan kehidupan masyarakat, mulai dari menjadi bagian ritual tertentu hingga sebagai alat diplomasi sejumlah pahlawan nasional yaitu Soekarno dan Agus Salim.
Budayawan dan pengkaji filsafat Irfan Afifi menyebut bahwa tembakau membentuk tradisi kedaulatan nasional. “Kretek yang merupakan campuran dari tembakau dengan cengkih itu khas Indonesia. Sejak dahulu, sudah ada catatannya. Bahkan, rokok sudah ada sejak zaman Sultan Agung. Ini artinya produksi tembakau memang sudah ada. Perjalanannya sampai kini yang salah satunya membentuk tradisi kedaulatan nasional,” ungkapnya dikutip Rabu (9/11/2022).
Advertisement
Tradisi kedaulatan disebutkan Irfan karena sejak dahulu tembakau dan produk turunannya seperti kretek merupakan hasil kebudayaan orisinal dari masyarakat Indonesia. Sebab, menurut Irfan, penanaman tembakau sejak dahulu memang merupakan manifestasi dari manusia-manusia Indonesia itu sendiri sehingga menciptakan relasi kebudayaan yang sakral.
Irfan mencontohkan di beberapa wilayah, misalnya di daerah Temanggung, hingga kini masih terdapat beberapa ritual kebudayaan yang merepresentasikan penanaman tembakau sebagai sarana mendidik manusia penanamnya. Nilai-nilai ini yang tercermin dari para petani tembakau dan masih menjadi tradisi hingga kini.
Identitas tersebut turut pula diejawantahkan oleh sejumlah pahlawan-pahlawan nasional sekaligus pendiri bangsa seperti Soekarno dan Agus Salim. Mereka kerap menjadikan kretek sebagai alat diplomasi yang menegaskan posisi Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Agus Salim bahkan pernah memamerkan kretek kepada Pangeran Philip menjelang penobatan mendiang Ratu Elizabeth sebagai pemegang tahta Britania Raya pada tahun 1953.
“Makanya tembakau juga menjadi bahan diplomasi yang menunjukan bahwa Indonesia memiliki produk yang berbeda dengan yang lain, ada kretek sendiri,” sambung Irfan.
Identitas Bangsa
Meski demikian, Irfan mengakui dalam perjalanannya hingga kini identitas sekaligus tradisi kedaulatan dari tembakau memang mulai terkikis. Komodifikasi tembakau makin menguat yang sangat disayangkan bahkan kedaulatan ekonomi dari tembakau tak dapat dilindungi akibat gencarnya intervensi-intervensi lembagaasing yang berupaya menghancurkan seluruh ekosistem atas nama nilai-nilai mulia.
Imbasnya, petani tembakau makin terhimpit dan tertekan yang justru menciptakan gaya penjajahan baru. Makin gencarnya kampanye-kampanye antitembakau yang didanai dan didorong oleh lembaga-lembaga internasional justru jadi rujukan bagi pemerintah yang tanpa disadari dapat mematikan petani-petani tembakau kecil.
“Tembakau sudah teruji merupakan tanaman yang berguna dan memiliki nilai ekonomi tinggi., Ekosistem tembakau adalah salah satu kontributor ekonomi yang harapannya bisa menjadi salah satu sektor paling berdaulat dibandingkan sektor-sektor lainnya. Sayangnya, perlindungan oleh negara justru maju mundur untuk dilakukan. Kita memiliki keunggulan di salah sektor tembakau, tapi malah mau dibunuh,” lanjutnya.
Menyikapi hal ini, Irfan menyarankan agar pemerintah dapat terus dapat mempertahankan kedaulatannya pada level politik agar dapat menentukan kebijakan ekonomi dan kebudayaannya secara mandiri. Kedaulatan untuk komoditas yang menjadi mata pencaharian 6 juta rakyat harus diutamakan. Sebab, tanpa kedaulatan, arah pertumbuhan negara dan masyarakat Indonesia akan selalu memiliki ketergantungan atas kepentingan-kepentingan yang bukan merupakan tujuan nasional.
Advertisement
Cukai Rokok Naik 10 Persen, BPKN: Konsumen Teriak, tapi Tetap Beli
Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Muhammad Mufti Mubarok menilai, kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 10 persen cenderung hanya memberikan shock effect sesaat bagi konsumennya.
Pasalnya, rokok bagi para penggunanya jadi kebutuhan primer yang sulit ditinggalkan. Meskipun pemerintah telah berkali-kali menaikkan cukai rokok plus memberikan himbauan bahaya penggunaannya, kebutuhan akan rokok jadi sesuatu yang cenderung tak bisa ditawar bagi perokok.
"Kami sebenarnya sudah lama (memantau) terkait cukai tembakau ini. Memang ini kan persoalan ketika dinaikan cukainya, konsumen sebenarnya teriak sebentar. Tapi tetap dibeli," kata Mufti kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (4/11/2022).
Mufti lantas membandingkan harga rokok di Singapura, yang nominalnya lebih besar empat kali lipat di Tanah Air. Pemerintah Negeri Singa pun telah meminimalisir pergerakan perokok di tempat umum, tapi konsumennya tetap membeli.
"Kita kan bebas di sini, banyak merek rokok-rokok alternatif. Bahkan ta' liat sekarang banyak orang-orang yang ngelinting dewe, juga sekarang kan rokok elektrik vape mewabah, itu juga dinaikan cukainya," ungkapnya.
"Sebenarnya kenaikan sih biasa, hampir tiap waktu ada. Tapi kan tidak signifikan pengaruh terhadap ekonomi ini," imbuh Mufti.
Kendati begitu, ia menganggap kenaikan cukai rokok bisa berbahaya terhadap arus kas konsumennya, yang cenderung sulit meninggalkan ketergantungannya meskipun harga melonjak.
"Kalau 10 persen memang agak signifikan sedikit terhadap yang mau membeli rokok. Daya konsumsi juga terbebani, karena kelas menengah bawah juga mikir ketika beli rokok. Kalau kelas atas tidak persoalan," ungkapnya.
Mufti lantas meminta agar cukai hasil tembakau tidak dinaikan dalam waktu dekat. Dia mengkhawatirkan kondisi perekonomian global yang hingga 2023 mendatang masih bakal diwarnai awan gelap.
"Artinya ketika resesi kan ada indikasi itu. Indikator makro ekonomi dan lain-lain juga cukup kuat. Kalau semua naik, masyarakat bagaimana? Itu kan soal happiness. Kesenangan orang tidak bisa dihentikan begitu aja," ujarnya.
Terbongkar, 4 Alasan Sri Mulyani Kerek Cukai 10 Persen di 2023 dan 2024
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara, mengungkapkan alasan Pemerintah menaikkan tarif cukai rokok 2023 dan 2024 sebesar 10 persen.
Anak buah Sri Mulyani itu menerangkan, alasannya menyangkut 4 hal utama yakni pertama, aspek konsumsi. Dimana konsumsi ini kaitannya dengan kesehatan, jika konsumsi naik maka bisa dikatakan kesehatan masyarakat bisa menurun.
"Setiap kali kita kebijakan cukai rokok ini selalu mem-balance 4 aspek. Aspek pertama, aspek konsumsi yang memiliki kaitannya dengan kesehatan. Kalau konsumsinya makin naik, ada hubungannya dengan kesehatan dan dunia internasional mengakui itu," kata Suahasil Nazara saat ditemui di kantor Kementerian Keuangan, Jumat (4/11/2022).
Kedua, aspek produksi, yaitu perusahaan rokok yang memproduksi hasil tembakau yang kaitannya dengan tenaga kerja. Pemerintah sangat mengapresiasi pengusaha rokok yang produksinya masih menggunakan tenaga manusia, sehingga mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri.
"Apalagi untuk segmen yang kerjanya pakai tangan,sehingga menyerap tenaga kerja kita," ujarnya.
Aspek ketiga adalah penerimaan negara. Aspek terakhir adalah kepatuhan hukum. Menurut dia, pemerintah selalu mencoba menyeimbangkan keempat aspek tersebut saat memutuskan untuk menaikkan tarif cukai rokok.
"4 ini selalu kita coba seimbangkan. Setiap kita bicara soal cukai rokok, ini basic filosofi kenaikan cukai rokok. 4 perseptif ini dari sisi ini jaga ketenagakerjaan, pendapatan negara, dan ada DBH nya juga dengan Pemda," ujarnya.
Disisi lain, Pemerintah juga memperhatikan barang kena cukai yang ilegal. Oleh karena itu, diperlukan ada mitigasi atas kebijakan kenaikan tarif cukai tersebut, agar tidak berpotensi rokok ilegal semakin marak.
"Tapi kita perhatikan terus barang kena cukai yang ilegal. Makanya perlu ada mitigasi atas kebijakan yang punya potensi tembakau yang ilegal. Hasil rokok ilegal ini dari produksi dari menggunakan pita cukai . Ada juga pita cukai yang salah kategori. Kandungan tidak sesuai dengan syarat. Jadi ini diamati degan detail," pungkasnya.
Advertisement