Epidemiolog: PPKM Level 1 Masih Efektif, Asalkan Aturannya Tetap Dipatuhi

Kasus COVID-19 harian terus mengalami kenaikan, bahkan sudah melebihi enam ribu kasus per hari. Menurut Epidemiolog Dicky Budiman, PPKM Level 1 sendiri masih efektif bila aturannya tetap dipatuhi.

oleh Diviya Agatha diperbarui 09 Nov 2022, 18:00 WIB
Epidemiolog sekaligus peneliti keamanan dan ketahanan kesehatan global Dicky Budiman. Foto: Dok Pribadi.

Liputan6.com, Jakarta Anda mungkin salah satu orang yang masih memperhatikan laju kasus COVID-19 harian di Indonesia. Belakangan, kasus COVID-19 perlahan mengalami kenaikan dibarengi dengan angka kematian yang ikut tinggi.

Mulanya, kasus COVID-19 melebihi angka tiga ribu per hari. Namun data himpunan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI per 8 November 2022 menunjukkan adanya penambahan kasus COVID-19 sebanyak 6.601.

Bersamaan dengan kenaikan kasus COVID-19 tersebut, aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) masih berlaku dan baru saja diperpanjang. Saat ini, Indonesia berada pada PPKM Level 1.

Merespons hal ini, Epidemiolog Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia sekaligus Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global, Dicky Budiman mengungkapkan bahwa status PPKM Level 1 sebenarnya masih dapat efektif dalam mengendalikan kasus COVID-19. 

Namun, level PPKM dapat efektif bila setiap pihak dapat konsisten dalam mengimplementasikan aturan yang berlaku.

"Asal kriteria yang ditetapkan dalam aturan itu dipatuhi. Misalnya, bicara vaksinasi booster. Ada di situ kan, status vaksinasinya harus di-upgrade ke vaksinasi booster meskipun tidak spesifik," kata Dicky melalui keterangan pada Health Liputan6.com, Rabu (9/11/2022).

Menurut Dicky, adanya kelonggaran yang diberikan lewat PPKM Level 1 harusnya tidak menghilangkan kewajiban dari banyak pihak untuk tetap mematuhi aturan. Terutama soal kapasitas atau kondisi ruangan.

"Nah kemudian juga bahwa ada kelonggaran, bahkan banyaknya 100 persen di Level 1 itu, ini tidak menghilangkan kewajiban dari penyelenggara kegiatan yang sifatnya entertainment atau belajar mengajar untuk memperhatikan konteks kapasitas atau kondisi ruangan," kata Dicky.


Kondisi Bisa Kembali Rawan

Sejumlah pekerja berjalan melintas pelican cross di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (2/11/2021). Sektor non-esensial kini boleh mempekerjakan hingga 75 persen karyawannya dari kantor. Sebelumnya, angka ini dibatasi hingga 50 persen. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Menurut Dicky, hal-hal seperti itulah yang perlu untuk tetap diperhatikan. Apalagi PPKM dalam konteks saat ini pun dapat dijadikan alat untuk mengingatkan masyarakat bahwa kondisi belum sepenuhnya aman.

"Situasi ini masih sangat bisa kembali rawan ketika adanya pembatasan atau aturan-aturan dalam upaya meredam tidak ditaati. Esensinya dari PPKM ini adalah payung dari penguatan 3T dan 5M," ujar Dicky.

Di sisi lain, Dicky mengungkapkan bahwa modal imunitas dari masyarakat Indonesia saat ini sudah berada pada kategori baik dibandingkan satu atau dua tahun lalu.

"Bagaimanapun modal imunitas kita saat ini sudah jauh lebih baik dibanding satu dua tahun lalu dengan vaksinasi yang ada," kata Dicky.

"Tapi PR-nya saat ini vaksinasinya yang booster belum memenuhi harapan, masih dibawah 30 persen, dan ini berbahaya. Berbahaya sekali. Ini yang harus dikejar," sambungnya.


Indonesia Kecolongan dalam Surveilans dan Deteksi

Calon penumpang menunggu bus di halte Transjakarta kawasan Jalan Thamrin, Jakarta, Selasa (17/5/2022). Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengumumkan kebijakan pelonggaran penggunaan masker karena situasi pandemi COVID-19 di Indonesia sudah menunjukkan perbaikan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Dalam kesempatan yang sama, Dicky mengungkapkan bahwa meredam penambahan kasus COVID-19 harian sekadar lewat level PPKM dapat dikatakan sulit.

Hal tersebut lantaran Indonesia masih kerap kecolongan dari kasus-kasus infeksi karena lemahnya surveilans dan deteksi di masyarakat.

"Kalau bicara kasus saat ini kita banyak sekali. Perbandingan saja, Singapura dengan jumlah kasus yang lebih banyak, angka kematiannya hanya dibawah lima. Kita kasus infeksinya lebih sedikit dari Singapura, angka kematiannya lebih banyak," ujar Dicky.

"Artinya, Indonesia kecolongan banyak dari kasus-kasus infeksinya yang ada di masyarakat dari lemahnya surveilans dan deteksi. Tapi itu juga tidak usah kaget, karena kita sudah sering kecolongan," tambahnya.

Kasus COVID-19 harian di Singapura sendiri dapat terbilang tinggi bahkan melebihi Indonesia. Namun, angka kematian di sana masuk kategori rendah karena tidak kebanyakan tidak berada di bawah 5 setiap harinya.

Berbeda dengan Indonesia yang angka kematiannya berturut-turut melebihi 30 jiwa setiap harinya dalam sepekan belakangan.


Dampak Infeksi COVID-19 Jangka Panjang

ilustrasi COVID-19 Omicron subvarian XBB.

Lebih lanjut, Dicky mengungkapkan bahwa bila bicara tentang COVID-19 dan infeksi varian baru seperti XBB, maka tidak bisa sekadar infeksi kemudian sembuh. Melainkan ada dampak jangka panjang yang mungkin muncul.

"Masalahnya sekarang yang harus dipahami bahwa bicara COVID-19, infeksi oleh XBB, atau the next variant, itu bukan masalah orang terinfeksi kemudian pulih. Enggak, ini ada masalah jangka panjang," kata Dicky.

"Kalau kita pahami, orang bisa takut sekali dengan kualitas kesehatan satu generasi di masa depan karena adanya potensi long COVID-19, menurunkan kualitas kesehatan masyarakat setidaknya seperlima dari penyintas."

Tak berhenti di sana, ada pula beban untuk biaya pemulihan kesehatan. Sehingga menurut Dicky, hal yang selalu perlu diperkuat adalah mekanisme untuk deteksi. Serta, penguatan untuk kelompok yang berisiko.

"Bagaimana memastikan bahwa kelompok-kelompok yang rawan di masyarakat sudah bisa mendapatkan vaksinasi booster dosis ketiga atau keempat," pungkasnya. 

Infografis Kenali Gejalanya dan Jurus Redam Covid-19 Omicron XBB (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya