Oversharing Bisa Berujung pada Trauma Dumping, Apa Itu?

Penjelasan oversharing bisa berujung pada trauma dumping yang ternyata yang cukup fatal.

oleh Anissa Rizky Alfiyyah diperbarui 10 Nov 2022, 06:00 WIB
Ilustrasi sahabat, teman, curhat, kepercayaan. (Photo by Melissa Askew on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Berbagi apa yang kita rasakan dengan orang lain dapat membantu kita melewati masa-masa sulit. Namun, tahukah kamu bahwa terlalu banyak melampiaskan perasaan/ oversharing dapat berubah menjadi trauma dumping?

Mengutip Health Cleveland Clinic, psikolog Kia Rai Prewitt PhD menjelaskan, trauma dumping merujuk pada kondisi saat seseorang terlalu banyak membagikan emosi-emosi dan pikiran-pikiran yang sulit dengan orang lain.

Trauma dumping bukan merupakan istilah klinis yang dipakai oleh penyedia layanan kesehatan mental. Mereka yang mederita trauma dumping kerap membagikan hal-hal traumatis atau situasi penuh tekanan dengan orang lain, di saat yang tidak tepat.  

"Beberapa orang mungkin merasa perlu berbagi tentang pengalaman traumatis kepada teman, anggota keluarga, rekan kerja, atau kenalan, tetapi mereka mungkin tidak sepenuhnya memahami tingkat keparahan atau intensitas dari apa yang akan mereka bagikan," kata Brittany Becker, LMHC, Direktur di The Dorm, kepada Verywell, Kamis (10/11/2022). 

Terlebih, jika orang yang oversharing tidak dapat mengidentifikasi apa yang mereka ceritakan sebagai pengalaman traumatis. 

Ketika seseorang mengalami peristiwa traumatis atau trauma yang sedang berlangsung, Becker mengatakan bahwa mereka mungkin mengkotak-kotakan atau membuat jarak dari peristiwa tersebut untuk melindungi diri mereka. 

“Kadang membingungkan mendengarkan mereka. Karena, mereka mungkin berbicara tentang traumanya sebagai cara untuk melampiaskan apa yang mereka rasakan,” kata Becker, menambahkan.

Psikoterapis LSCW Gina Moffa mengatakan, ada batas tipis antara melampiaskan perasaan dan trauma dumping. Menurutnya, trauma dumping tujuannya adalah untuk meminta simpati dan feedback

Orang yang oversharing juga terkadang tidak memiliki kemampuan untuk mempertanggungjawabkan pengalaman yang ia bagi, mengutip VeryWellMind.

Menurut Moffa, mereka juga mengekspresikan emosi yang terpendam dan biasanya hanya terjadi sekali saja.

"Mereka tidak meminta simpati, melainkan hanya kebutuhan untuk 'mengeluarkan perasaan ini dari dada mereka,'" kata Moffa.


Tentang Trauma Dumping

Ilustrasi menghibur, curhat. (Photo by Rosie Sun on Unsplash)

Walaupun kita sering bercerita dengan teman-teman kita, tetapi, trauma dumping berbeda.

 "Ini adalah ketika seseorang secara tak terduga melepaskan pikiran, perasaan, energi, dan pengalaman traumatis mereka kepada orang lain,” kata hipnoterapis klinis dan pelatih jiwa bersertifikat Marie Fraser kepada Stylist.

Lalu, mengapa kita melakukan trauma dumping? Kita semua pernah melewati hari yang buruk dan tidak sabar untuk membaginya demi menjernihkan pikiran. 

Namun, dalam hal trauma dumping, si pelaku sering kali tidak menyadari tingkat keparahan atau intensitas dari apa yang telah mereka ceritakan dan dampak emosional bagi pendengarnya.

"Trauma dumping tanpa peringatan atau izin dapat memiliki efek toksik dan merugikan pada hubungan," ujar Fraser, menjelaskan. 

"Berbagi informasi yang sangat pribadi bisa sangat tidak nyaman bagi pendengar dan membuat mereka tidak yakin bagaimana menanggapinya. Hal ini juga bisa memicu trauma mereka sendiri, tanpa memberikan ruang bagi mereka untuk menavigasinya,” kata Fraser, menambahkan. 

Empati adalah salah satu aspek terpenting dari hubungan apa pun, dan membantu orang-orang terdekat kita menghadapi perjuangan adalah bagian dari saling memberi dan menerima dari hubungan yang sehat. Namun, trauma dumping dapat membuat hal tersebut tidak seimbang. 

"Sering kali, para pembuang trauma akan membanjiri pendengar dengan banyak masalah, terjebak pada pola pikir korban yang sama tanpa terbuka terhadap solusi atau bantuan," kata Fraser.

"Hal ini bisa menjadi pengalaman yang sangat negatif dan melelahkan bagi pendengar dan bisa berdampak sangat tidak menyenangkan bagi mereka, terutama seorang empatetik. Sebagai penerima trauma, hal ini bisa membuat pendengar merasa lelah, cemas, dan tidak berdaya,” tambah Fraser.


Jalan Pintas Berbagi Pengalaman

Peduli pada orang lain/Copyright pexels.com/Alena Darmel

Memang, menulis tentang perasaan Anda di media sosial terkadang terasa lebih mudah daripada membicarakannya secara langsung. 

"Jauh lebih aman untuk berbagi perasaan Anda di sebuah platform, di balik layar. Dengan semakin banyaknya orang di media sosial, menjadikannya tempat yang lebih aman untuk berbagi cerita dan informasi pribadi dengan lebih mudah," kata Moffa. 

Ditambah lagi, Becker mengatakan bahwa kemampuan media sosial untuk menjangkau banyak orang membuat kemungkinan besar Anda akan mendapatkan tanggapan yang memvalidasi Anda. Adapun pendapat yang berbeda yang dapat membingkau ulang pemikiran Anda, dan reaksi-reaksi lain. 

“Selain itu, trauma bersama dari pandemi secara global, aturan untuk terus berada di rumah dan di depan gadget, dapat membuka lebih banyak platform untuk berbicara. Hal tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan menjangkau platform yang lebih besar untuk berbagi,” tutur Moffa menambahkan. 

Meskipun berbagi pengalaman traumatis dapat membantu, jika Anda terus menerus melakukan trauma dumping untuk mendapatkan perhatian atau simpati, Moffa mengatakan bahwa orang mungkin menjadi benci terhadap hal itu. 

“Kita harus berhati-hati agar apa yang kita bagikan tetap aman. Kita juga harus mencari orang yang memiliki simpati dan perhatian yang sama,” kata Moffa.

Melakukan hal itu dapat mendorong orang menjauh dan mendorong mereka untuk menjauhkan diri karena mereka mungkin merasa tidak nyaman, tidak tahu bagaimana caranya menanggapi, bahkan benci dan frustasi akan hal itu. 

Moffa mengatakan bahwa mereka yang melakukan trauma dump biasanya adalah orang-orang yang merasa sendirian dan ingin merasa didengar dan divalidasi.


Brain Dumping dan Boundaries

Ilustrasi menghibur, curhat. (Photo by Külli Kittus on Unsplash)

Fraser mengakui bahwa menetapkan batasan dengan teman, terutama ketika mereka sedang mengalami masa sulit, bisa jadi sulit. 

Tidak seorang pun ingin meninggalkan orang yang mereka cintai saat dukungan mereka sangat dibutuhkan. Namun, dia menyarankan bahwa sangat penting untuk jujur pada diri sendiri tentang kemampuan dan kebutuhan Anda sendiri ketika mendukung orang lain.

Fraser menjelaskan bahwa terkadang, hal terbaik yang bisa Anda lakukan adalah mendorong orang tersebut untuk mencari bantuan dari sumber lain. 

"Ingat, teman Anda bukan terapis. Mereka tidak memiliki pelatihan atau bandwidth mental untuk menanggung trauma dalam jumlah besar di samping emosi mereka sendiri, jadi membantu mereka menemukan terapis atau dukungan kesehatan mental adalah cara untuk menunjukkan bahwa Anda peduli pada mereka tanpa menanggung semua beban mereka sendirian,” ujar Fraser.

Kita perlu melindungi diri kita dari trauma dumping. Penting untuk mengenali perilaku kita dan kapan kita cenderung melampaui batas diri kita. 

Fraser menyarankan tindakan seperti membuat jurnal atau brain dumping dengan mengeluarkan apa yang Anda rasakan ke atas kertas. Hal tersebut dapat mengespresikan segala emosi yang Anda rasakan. 

"Anda tidak harus membacanya kembali dan tidak harus masuk akal, tetapi dengan mengeluarkan emosi Anda ke atas kertas, Anda akan merasa lega,” ungkap Fraser.

INFOGRAFIS JOURNAL_Fakta Permasalahan Kesehatan Mental Remaja di Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya