Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meyakini penjagaan ketat di Gedung Mahkamah Agung (MA) bukan karena sering digeledah tim penyidik lembaga antirasuah. Diketahui, kini Gedung MA dijaga oleh TNi atau militer.
"Kami meyakini kebijakan tersebut tentu tidak ada kaitannya dengan kegiatan KPK (geledah) beberapa waktu yang lalu di Gedung MA," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (9/11/2022).
Ali memastikan penggeledahan yang dilakukan pihaknya beberapa waktu lalu di Gedung MA sesuai dengan aturan yang berlaku. Atas dasar itu, Ali meyakini pengamanan berlapis di Gedung MA bukan karena sempat digeledah tim penyidik.
"Tindakan KPK tersebut secara hukum dibenarkan sebagaimana ketentuan UU maupun hukum acara pidana yang berlaku," kata Ali.
Baca Juga
Advertisement
Ali menegaskan, dengan pengetatan penjagaan di MA tidak membuat pihaknya melemah dalam menangani kasus dugaan suap dalam penanganan perkara di MA. Ali menyatakan pihaknya siap mengembangkan kasus jika ada bukti permulaan yang cukup.
"Saat ini KPK terus kembangkan informasi dan data yang kami miliki pada proses penyidikan perkara dugaan suap pengurusan perkara di MA tersebut," kata Ali.
Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengakui kantornya kini dijaga ketat oleh personel TNI. Menurut dia, pengamanan berlapis demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Andi menyebut, pengamanan dari internal lembaganya dirasa belum cukup untuk menjaga Gedung MA. Maka dari itu diputuskan meminta bantuan TNI.
"Maka atas alasan itu diputuskan untuk meningkatkan pengamanan dengan mengambil personil TNI atau Militer dari pengadilan militer," kata Andi, Rabu (9/11/2022).
KPK Geledah MA
Sebelumnya, KPK menggeledah ruang kerja Hakim Agung Prim Haryadi dan Sri Murwahyuni serta ruang kerja Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Hasbi Hasan.
Adapun penggeledahan dilakukan terkait kasus dugaan suap yang menjerat hakim agung nonaktif Sudrajad Dimyati.
"Benar. Dalam rangka pengumpulan dan melengkapi alat bukti penyidikan," jelas Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri kepada wartawan, Selasa (1/11/2022).
Dia mengatakan proses penggeledahan masih berlangsung. Ali Fikri mengatakan KPK akan segera menjelaskan usai penggeledahan selesai.
"Sejauh ini masih berlangsung. Akan kami sampaikan perkembangannya setelah seluruh kegiatan selesai," ujarnya.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan 10 orang sebagai tersangka. Sebagai penerima suap, Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati, panitera pengganti MA Elly Tri Pangestu, PNS pada Kepaniteraan MA Desy Yustria, dan Muhajir Habibie serta dua PNS MA Nurmanto Akmal serta Albasri.
Sementara, yang diduga sebagai pemberi suap yakni dua orang pengacara bernama Yosep Parera dan Eko Suparno, serta dua pengurus koperasi Intidana, yakni Heryanto Tanaka, serta Ivan Dwi Kusuma Sujanto.
Advertisement
Dimyati Disangka Terima Suap
Dimyati disangka menerima suap terkait dengan kasasi pailit Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Dimyati diduga menerima Rp 800 juta untuk memutus koperasi tersebut telah bangkrut.
Kasus kepailitan Koperasi Simpan Pinjam Intidana ini sendiri telah diputus oleh Mahkamah Agung. Dimyati yang menjadi hakim ketua dalam perkara itu menyatakan koperasi yang beroperasi di Jawa Tengah tersebut pailit.
Padahal dalam tingkat pertama dan kedua, gugatan yang diajukan oleh Ivan dan Heryanto itu ditolak.
Penetapan tersangka ini merupakan hasil gelar perkara pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Jakarta dan Semarang pada Rabu, 21 September 2022 hingga Kamis, 22 September 2022.
Dalam OTT itu, KPK mengamankan delapan orang, yakni Desy Yustria, Muhajir Habibie, Edi Wibowo, Albasri, Elly Tri, Nurmanto Akmal (PNS MA), Yosep Parera, dan Eko Suparno. Dalam OTT itu, tim KPK juga mengamankan uang yang diduga suap senilai SGD 205.000 dan Rp 50 juta.
Uang SGD 205.000 diamankan saat tim KPK menangkap Desy Yustria dikediamannya. Sementara uang Rp 50 juta diamankan dari Albasri yang menyerahkan diri ke Gedung KPK.
Atas perbuatannya, Heryanto Tanaka, Ivan Dwi Kusuma Sujanto, Yosep, dan Eko Suparno yang diduga sebagai pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara Dimyati, Elly Tri Pangestu, Desy Yustria, Nurmanto Akmal, Albasri, dan Muhajir Habibie yang diduga penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.