Sosok Ayah Gus Dur KH Wahid Hasyim, Pahlawan Nasional Penggagas Sila 'Ketuhanan yang Maha Esa'

Sila pertama Pancasila, 'Ketuhanan Yang Maha Esa' tak lepas dari peran KH Wahid Hasyim, pahlawan nasional yang juga ayah Presiden ke-4 RI, KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Nov 2022, 12:30 WIB
KH Wahid Hasyim, pahlawan nasional yang juga ayah presiden ke-4 RI, KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: Wikimedia commons)

Liputan6.com, Jakarta - Popularitas KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) melampaui dimensi tempat dan waktu. Hingga wafat sekalipun, sosok dan ajaran Gus Dur tentang inklusi, toleransi dan kemanusiaan masih terus didengungkan.

Jutaan masyarakat mengidolakannya. Gus Dur mewakili sosok cendekiawan, politikus, sekaligus negarawan muslim. Selain sebagai ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Gus Dur adalah Presiden ke-4 Republik Indonesia.

Nyaris semua umat Islam di Indonesia juga tahu, Gus Dur adalah cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari. Sementara, banyak yang belum tahu sosok ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim.

Padahal, pada zamannya, KH Wahid Hasyim adalah tokoh besar yang turut bersumbangsih dalam perjuangan kemerdekaan sekaligus membangun pondasi bangsa Indonesia. Karena jasa-jasanya, Wahid Hasyim dianugerahi gelar pahlawan nasional.

Berikut adalah kisah singkatnya, dikutip dari berbaga sumber.

KH Abdul Wahid Hasyim merupakan putra pendiri NU, yang juga pahlawan nasional, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari. Dia lahir pada 1 Juni 1914.

Masa Kecil dan Pendidikan

Wahid Hasyim tidak menempuh pendidikan sekolah dasar di sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda, yaitu Hollandsch-Inlandsche School. Ini terjadi karena ayahnya KH Hasyim Asy'ari, dikenal sebagai tokoh anti-sekolah yang didirikan oleh penjajah.

Sejak kecil, Abdul Wahid Hasyim belajar di Madrasah Salafiyah di Pondok Pesantren Tebuireng. Ia telah berhasil mengkhatamkan Al Quran di usia 7 tahun. Kemudian setelah lulus dari madrasah, ia diminta oleh ayahnya untuk membantu mengajar adik-adik dan santri-santri pesantren seusianya.

Pada usia 13 tahun, ia belajar pendidikan Islam di Pondok Pesantren Siwalan Panji di Kabupaten Sidoarjo. Namun, ia hanya dapat bertahan selama sebulan. Ia kemudian pindah belajar ke Pondok Pesantren Lirboyo. Di pondok pesantren ini pun, ia hanya bertahan dalam waktu yang singkat. Akhirnya, pulang untuk belajar mandiri di rumahnya sendiri.

Abdul Wahid Hasyim mempelajari bahasa Arab hingga mahir. Setelahnya ia mempelajari alfabet Latin sekaligus belajar bahasa Belanda dan bahasa Inggris.

Pada tahun 1932 ia belajar di Makkah bersama sepupunya, Muchammad Ilyas. Dialah yang mengajari Wahid dalam belajar Bahasa Arab hingga ia fasih berbahasa Arab. Sehingga ia menguasai tiga bahasa asing, yakni Arab, Inggris, dan Belanda.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Kiprah di Dunia Pendidikan hingga BPUPKI

KH Wahid Hasyim, pahlawan nasional yang juga ayah presiden ke-4 RI, KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: Wikimedia commons)

Selain keaktifannya dalam gerakan politik dan sumbangsihnya terhadap perjuangan melawan penjajah secara diplomatis, pada tahun 1944 ia mendirikan sebuah Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang saat itu pengasuh sekaligus pimpinannya dipegang oleh oleh KH. A. Kahar Moezakkir.

Wahid Hasyim mengawali kiprah kemasyarakatannya pada usia relatif muda. Setelah menimba ilmu agama ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Mekah, pada usia 21 tahun Wahid membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan pada zamannya.

Dengan semangat memajukan pesantren, Wahid memadukan pola pengajaran pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum. Sistem klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari Bahasa Inggris dan Belanda.

Itulah madrasah nidzamiyah. Meskipun ayahandanya, Hadratush Syaikh Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama, butuh waktu beberapa tahun bagi Wahid Hasjim untuk menimbang berbagai hal sebelum akhirnya memutuskan aktif di NU.

Pada usia 25 tahun Wahid bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), federasi organisasi massa dan partai Islam saat itu. Setahun kemudian Wahid menjadi ketua MIAI.

Anggota BPUPKI dan PPKI

Menjelang kemerdekaan tahun 1945 di usianya yang masih 23 tahun, ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara, pendidikan, politik, kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi lapisan sejarah ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang tidak dapat tergantikan oleh siapapun.

Sila pertama Pancasila, 'Ketuhanan Yang Maha Esa' tak lepas dari peran Wahid Hasyim. Rumusan 'Ketuhanan Yang Maha Esa' dalam Pancasila menggantikan bunyi rumusan 'Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya'.

Pada mulanya rumusan sila pertama tersebut ditolak oleh penduduk Indonesia yang beragama non-muslim. Sebab tidak hanya umat Islam saja yang ikut berperan dalam kemerdekaan Bangsa Indonesia, namun dari berbagai pihak.

Kemudian Wahid mengusulkan diubahnya sila pertama yang berbunyi 'Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya' menjadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Wahid memang dikenal sebagai tokoh yang moderat, substantif, dan inklusif.

 


Politik dan Pemerintahan

Dalam buku Samudera Merah Putih 19 September 1945, Jilid 1 (1984) karya Lasmidjah Hardi, alasan Presiden Sukarno memilih tanggal 17 Agustus sebagai waktu proklamasi kemerdekaan adalah karena Bung Karno mempercayai mistik. (Dok.Arsip Nasional RI)

Wahid Hasyim menjadi Menteri Negara Republik Indonesia periode 1945–1949. Jabatan ini merupakan hasil penunjukan langsung oleh Presiden Soekarno.

Kemudian ia menjadi Menteri Agama selama tiga periode kabinet secara berurutan. Periode pertama yaitu Kabinet Hatta mulai pada 20 Desemnber 1949 hingga 6 September 1950. Periode kedua yaitu Kabinet Natsir sejak 6 September 1950 hingga 27 April 1951. Periode ketiga dalam Kabinet Sukiman mulai 27 April 1951 hingga 3 April 1952.

Di lain sisi, Wahid Hasyim juga berkiprah dalam bidang politik. Pada tahun 1939, Nahdlatul Ulama menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam pada zaman pendudukan Belanda.

Saat pendudukan Jepang yaitu tepatnya pada tanggal 24 Oktober 1943 ia ditunjuk menjadi Ketua Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI. Selaku pemimpin Masyumi ia merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan.

Tak hanya itu, pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-19 di Palembang pada tahun 1951, Wahid Hasyim terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dengan Rais 'Aam KH. A. Wahhab Hasbullah.

Wafat

Wahid Hasyim wafat dalam usia yang masih muda, yakni umur 39 tahun. Wahid meninggal akibat kecelakaan mobil di jalan yang menghubungkan Kota Cimahi dan Kota Bandung pada tanggal 19 April 1953.

Saat itu, ia sedang dalam perjalanan untuk mengahadiri rapat Nahdlatul Ulama di Kabupaten Sumedang. Setelah meninggalnya Wahid Hasyim, anak-anaknya diasuh oleh istrinya yang tengah hamil anak keenam. Anak keduanya, Aisyah Hamid Baidlowi ikut membantu mengurus adik-adiknya di saat ibunya bekerja.

Semua anak Wahid Hasjim tumbuh menjadi orang sukses yang berperan besar dalam kemajuan negara. Anak pertamanya Abdurrahman Wahid sebagaimana diketahui adalah Presiden ke-4 RI, Aisyah Hamid Baidlowi dan Lily Chadijah Wahid merupakan mantan anggota DPR, Salahuddin Wahid pada masanya pernah menjadi Wakil Ketua Komnas HAM, Umar Wahid seorang dokter dan adiknya, Hasyim Wahid juga turut masuk ke dalam dunia politik.

Tim Rembulan

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya