Usulan No Work No Pay, Kemnaker: Tergantung Perjanjian Kerja

Jika perusahaan ingin menerapkan prinsip no work no pay, berarti perusahaan harus memperbaharui perjanjian kerja dengan pekerja atau buruh.

oleh Tira Santia diperbarui 10 Nov 2022, 17:00 WIB
Komentar Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Dita Indah Sari soal fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay.. (Merdeka.com)

Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini pengusaha meminta Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menerbitkan aturan yang berisi fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay alias tidak bekerja dan tidak dibayar, untuk mencegah terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Dita Indah Sari mengatakan, kebijakan itu sebenarnya tergantung pada kesepakatan atau perjanjian antara perusahaan dan pekerja atau buruh itu sendiri.

“Tergantung serikat pekerja di perusahaan masing-masing. Pokoknya serikat pekerja yang diperusahaan itu setuju, kita setuju. Kuncinya di situ,” kata Dita saat ditemui di kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Kamis (10/11/2022).

Dia menjelaskan, setiap pekerja atau buruh yang memulai kerja pada satu perusahaan, biasanya terdapat perjanjian kerja yang disepakati kedua belah pihak. Jika akhirnya perusahaan ingin menerapkan prinsip no work no pay, berarti perusahaan tersebut harus memperbaharui perjanjian kerja dengan pekerja atau buruh.

“Setiap perusahaan itu, setiap bekerja itu ada perjanjian bersama. Nah, di situ kan ada standar-standar, berarti harus membahas standar itu kan. Maka harus bikin perjanjian baru dong. Kalau pekerja ngerti dan paham situasi perusahaan, yaudah deh kita bikin perjanjian baru daripada kita di PHK atau daripada kita kehilangan pekerjaan. Ya enggak apa-apa itu yang terbaik,” jelasnya.

 

Pekerja melintasi peron saat hendak menaiki kereta Commuter Line (KRL) di Stasiun Manggarai, Jakarta, Senin (27/12/2021). Pemprov DKI resmi menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2022 naik 5,1 persen atau menjadi Rp4.641.854. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Sejauh ini, Kementerian Ketenagakerjaan tidak mengatur kebijakan tersebut. Dia menegaskan kembali, bahwa kebijakan itu seharusnya ada di tangan pengusaha dan pekerja/buruh yang bersangkutan.

“Enggak, sejauh ini belum. Pada prinsipnya pertama waktunya harus terbatas, jadi no pay ini misalnya jangan sampai 2024 dong, jelas kapan, misal (pengusaha) bikin kesepakatan dengan buruh, yaudah no pay buruhnya setuju 6 bulan kah atau 8 bulan kah. Di dalam perjanjian itu harus tercantum batas waktu, begitu batas waktunya selesai kembali kepada perjanjian yang asli,” ungkapnya.

Disamping itu, dia juga menyebut tidak semua sektor yang layak menerapkan prinsip no work no pay. Menurut dia, yang layak menerapkan prinsip tersebut adalah sektor industri yang mengalami gangguan.

“Tidak semua sektor. Kan ada sektor yang tumbuhnya positif, yaitu sawit, tambang, kan itu bagus-bagus lho tumbuhnya. No pay itu yang ordernya kurang-kurang itu lah, garmen, tekstil itu wajar. Kalau nikel, timah, ikut-ikutan makannya jangan, buruhnya juga harus kritis dong jangan disamain sawit sama sepatu,” pungkasnya.

 


Gelombang PHK Massal Kian Dekat, Sri Mulyani Siapkan Stimulus

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (19/1/2022). Rapat kerja tersebut terkait evaluasi APBN tahun 2021 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 serta rencana PEN 2022. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dampak pelemahan ekonomi global diperkirakan akan semakin terasa pada tahun depan. Sejumlah pihak memperkirakan pelemahan ekonomi dunia akan meningkatkan kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.

Sejauh ini beberapa sektor sudah mulai terjadi, seperti industri tekstil dan alas kaki. Bila kondisi PHK massal ini terus berlanjut ke berbagai sektor lain, maka pemerintah harus segera mengambil tindakan.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pemerintah telah berupaya menahan dampak krisis global. Instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini telah banyak digunakan untuk menahan berbagai gejolak ekonomi global.

"Belanja negara akan mengalami peningkatan dalam 2 bulan terakhir. Ini tentu akan meningkatkan perekonomian untuk menahan gejolak," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) secara virtual, Kamis (3/11/2022).

Sepanjang tahun ini, dia membeberkan APBN telah banyak digunakan untuk memberikan bantuan sosial (bansos) dalam banyak program. Mulai dari tambahan bansos pemerintah untuk masyarakat miskin, bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng, bantuan subsidi upah (BSU) untuk pekerja dengan gaji dibawah Rp 5 juta.

"Ini semua akan dieksekusi sampai akhir tahun ini," kata dia.

 


Kerja Sama Kementerian dan Lembaga

Begitu juga dengan berbagai stimulus dari pemerintah. Dalam hal ini, Sri Mulyani mengatakan pemberian stimulus menyesuaikan dengan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) tahun ini. Misalnya bekerja sama dengan kementerian/lembaga (KL) untuk memulihkan sektor pariwisata, manufaktur dan sebagainya.

Caranya dengan meningkatkan belanja APBN untuk mendorong kebangkitan dari sektor tersebut. Di tingkat pemerintah pusat, sampai akhir tahun masih 40 persen anggaran yang harus dibelanjakan.

"Ini akan menambah agregat demand. Demikian juga dengan langkah spesifik untuk menjaga daya beli masyarakat menjelang libur Natal dan tahun baru yang akan segera dieksekusi," kata Sri Mulyani.

Untuk itu, demi menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, APBN tahun 2023 telah dirancang untuk tetap mengawal pemulihan ekonomi nasional. Program-program prioritas akan terus dilanjutkan tahun depan. Semisal pembangunan infrastruktur, anggaran bansos, dan berbagai insentif yang diberikan langsung kepada targetnya.

 

Infografis Ancaman Gelombang PHK Massal Akibat Corona. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya