Nama-Nama Pahlawan Perempuan yang Jarang Terdengar, Siapa Saja Mereka?

Nama-nama pahlawan yang diingat dan populer di tengah masyarakat masih didominasi oleh kaum lelaki, padahal peran perempuan juga tak kalah penting.

oleh Gabriella Ajeng Larasati diperbarui 10 Nov 2022, 17:00 WIB
(Kanan) Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan dalam peringatan Hari Pahlawan yang diadakan oleh Komnas Perempuan bertajuk Merayakan Ibu Nusantara, Pahlawan kita via Zoom Meeting, Kamis (10/11/2022). (Dok. Liputan6.com/Gabriella Ajeng Larasati)

Liputan6.com, Jakarta - Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November menjadi momen tepat untuk mengenal nama-nama pahlawan. Di antara sederet nama yang kerap disebut, figur pahlawan perempuan jarang disebut. Penokohan kepahlawanan masih banyak yang mengedepankan penokohan laki-laki dibandingkan perempuan.

Untuk itu, Komnas Perempuan membahas tema ‘Merayakan Ibu Nusantara, Pahlawan kita’, Kamis (10/11/2022). Pada 2021, Komnas Perempuan memperkenalkan enam pahlawan perempuan daerah sebagai bagian untuk mempromosikan metode pendekatan sejarah kepahlawanan.

Enam tokoh tersebut yaitu Lasminingrat, Monia Laturina, Boetet Satidjah, Setiati Surasto, Auw Tjoei Lan, dan Tamu Rambu Margaretha. Tahun ini, Komnas Perempuan kembali memperkenalkan profil pahlawan perempuan. Berikut tiga sosok pahlawan perempuan tersebut:

1. Johanna Tumbuan Masdani

Johanna Tumbuan Masdani atau yang lebih akrab disapa dengan Tante Jo, lahir di Amurang, 9 November 1910. Perempuan berdarah Minahasa ini merupakan seorang perempuan yang berani dan cerdas.

Tante Jo berasal dari keluarga yang terpandang dan mapan secara ekonomi. Dengan latar belakang keluarganya tersebut, orangtua Tante Jo mengedepankan pendidikan bagi anak perempuan satu-satunya di keluarga. 

Pada 1926, Tante Jo menempuh pendidikan di Batavia (saat ini bernama Jakarta) dan bersekolah di Christelijke MULO. Karena umurnya yang masih muda, Tante Jo diawasi oleh orangtuanya dari daerah asalnya, Sulawesi Utara.

Ketertarikannya pada perjuangan kemerdekaan dimulai ketika Tante Jo berkunjung ke Gedung Clubhuis (sekarang menjadi Gedung Sumpah Pemuda). Keluwesannya dalam berteman menjadi modal mendapatkan teman-teman seperjuangan, khususnya para pemuda seperti Mohammad Yamin, Dr. A.K. Gani, dan Masdani.


Perempuan Pembaca Sumpah Pemuda

Johanna Tumbuan Masdani, perempuan pembaca naskah Sumpah Pemuda 1928 asal Sulawesi Utara. (Dok. Liputan6.com/Gabriella Ajeng Larasati)

"Dia tidak berdiam sendiri. Dia hanya tidak bergaul di kalangan perempuan, tetapi dia menemukan teman-teman sebagai tokoh pemuda di sana itu," ujar Vivi George, Direktur Eksekutif Swara Parangpuang Sulawesi Utara.

Dia lalu bergabung dengan Jong Minahasa dan Jong Celebes. Pada 1927, ia bergabung dalam organisasi kepanduan bernama Indonesische Nationale Padbinders Organisatie (INPO).

Tante Jo merupakan salah satu dari sepuluh perempuan yang turut membacakan Naskah Sumpah Pemuda pada 1928, dalam usianya masih terhitung muda, yakni 18 tahun. Pada saat itu, dia mewakili Jong Minahasa untuk menghadiri kongres pemuda.

Di usianya ke-40 tahun, Tante Jo masih semangat untuk menempuh pendidikan di Paedagogische Algemene Middlebare School (PAMS). Pada 1961, Tante Jo memilih untuk melanjutkan studi di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. 

Walaupun merantau, ia membuktikan kepada orangtua bahwa pendidikan tetap yang utama. Tante Jo juga turut serta sebagai Perancang Tugu Proklamasi pada 1946.


2. The Sin Nio

Ilustrasi hari pahlawan 10 November, puisi pahlawan. (Photo on Freepik)

The Sin Nio adalah seorang pejuang kemerdekaan dalam masa revolusi Indonesia. Perempuan keturunan Tionghoa ini berasal dari Wonosobo, Jawa Tengah.

Dahulu, The Sin Nio tergabung dalam anggota Kompi 1 Batalyon 4, Resimen 18, di bawah komando Brigjen Sukarno, yang pernah menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Aljazair. Karena jenis kelaminnya sebagai seorang perempuan, The Sin Nio menyamar sebagai laki-laki agar diterima sebagai anggota tentara. Dia menyamar menggunakan nama Mochammad Muksin.

Semasa di medan perang, The Sin Nio berada di garis depan pertempuran dengan membawa senjata golok, bambu runcing, dan tombak. dia berhasil merebut senjata api milik Belanda pada saat itu. Dia ditugaskan untuk menjaga logistik dan persenjataan, sebelum dipindahkan ke bagian perawat.

Pada 1973, The Sin Nio berangkat menuju Jakarta untuk mengurus hak pensiunnya sebagai veteran, tetapi tidak semudah yang dibayangkannya. Selama di Jakarta, ia hidup menumpang di Kantor Legiun Veteran.

"Baru tahun 1981, selama puluhan tahun ia terkatung-katung tentang status veterannya. Barulah ia mendapatkan pengesahan itu," ujar J. Anto, praktisi media. The Sin Nio tutup usia pada 1985.


3. Ni Sombro

Ilustrasi hari pahlawan 10 November. (Photo on Freepik)

Ni Sombro, seorang Mpu pembuat keris pada era Pajajaran, sekitar abad 9 atau 10 Masehi. Mpu merupakan sebutan suatu gelar kehormatan bagi seorang ahli yang memiliki kemampuan filsafat.

Nama Ni Sombro melegenda di kalangan kolektor atau pemerhati Tosan Aji. "Tosan Aji adalah sentara pusaka, seperti keris atau tombak terutama di wilayah Pulau Jawa," ujar Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan.

Karya-karyanya tidak hanya berada di wilayah Kerajaan Pajajaran saja, tetapi merambah hingga daerah timur, di wilayah Kerajaan Majapahit. Pada akhir tahun 1950-an, keturunan dari Ni Sombro masih meneruskan budaya membuat kujang, senjata khas Jawa Barat.

Ni Sombro, tambah Dewi, ingin menggambarkan bahwa karakter keris yang ia buat ditujukan kepada kemanfaatan. Manfaat dari keris yang dibuat oleh Ni Sombro pada masanya ditujukan untuk memperlancar persalinan, diistilahkan Dhapur Brojol.

Keris yang dibuatnya tidak hanya sekadar tampilan, seperti penampilannya berwarna emas, tetapi lebih kepada manfaatnya. Keris yang dibuat oleh Ni Sombro dibentuk menggunakan tangan kosong, berbeda dengan keris yang dibuat pada umumnya.

Infografis 10 Daftar Pahlawan Nasional Perempuan di Indonesia. (Liputan6.com/Tri Yasnie)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya