Mengenal KH Agus Salim, Pahlawan Muslim Berjuluk ‘The Grand Old Man’

KH Agus Salim merupakan seorang pahlawan kemerdekaan yang berperan penting di balik pengakuan kedaulatan Indonesia oleh negara-negara lain setelah merdeka.

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 11 Nov 2022, 14:30 WIB
Hari Pahlawan - Agus Salim (Liputan6.com/pool/GerakanPramuka)

Liputan6.com, Jakarta - KH Agus Salim merupakan seorang pahlawan kemerdekaan yang berperan penting di balik pengakuan kedaulatan Indonesia oleh negara-negara lain setelah merdeka.

Memiliki nama Masyhudul Haq (Pembela Kebenaran) yang lahir dari tanah Minang di Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 8 Oktober 1884. Ayahnya bernama Sutan Muhammad Salim, seorang jaksa tinggi daerah Riau.

Nama adalah doa. Dalam pemberian nama tidak lain adalah harapan seorang ayah kepada anaknya agar sang putra kelak menjadi seorang muslim yang mempunyai keberanian dalam “Membela Kebenaran”.

Agus Salim bisa dikatakan merupakan sebuah nama panggilan yang tidak disengaja. Berawal ketika Masyhudul Haq masih kecil, saat itu ia diasuh oleh seorang pembantu dari Jawa yang memanggilnya dengan sebutan “Den Bagus” yang kemudian diperpendek menjadi “Gus” dan akhirnya orang-orang di sekitarnya memanggilnya dengan sebutan “Agus”.

Terlepas dari ayahnya yang merupakan jaksa di daerah Riau. Agus Salim merupakan seorang tokoh kemerdekaan yang sedari kecil sudah menunjukkan kecerdasannya. Ia mampu belajar dan menjadi lulusan terbaik di HBS (Hogere Burger School) 1903, sebuah tempat untuk menempuh pendidikan yang terpandang saat itu.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Mahir Berbagai Bahasa

Pengunjung melihat Surat Pendiri Bangsa di Museum Nasional, Jakarta, Kamis (15/11). Surat yang dipamerkan dari Sukarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, RA Kartini, John Lie, Ki Hajar Dewantara, dan KH Agus Salim. (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Tidak hanya itu, di usia mudanya Agus Salim juga sudah mengenal dan menguasai banyak bahasa seperti, bahasa Jerman, Inggris, Belanda, dan Arab. Karena kecerdasan yang dimiliki oleh Agus Salim, namanya menjadi terkenal seantero Hindia Belanda di kalangan kaum kolonial dan terpelajar.

Tidak lama setelah ia lulus dari HBS, Agus Salim mendapat kesempatan atas perintah pemerintahan Hindia Belanda untuk bekerja pada Konsulat Belanda di Jeddah sebagai penerjemah dan mengurus urusan haji di Arab sampai tahun 1911.

Semasa Agus Salim menjadi konsulat Belanda di Jeddah, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk terus belajar. Agus Salim memanfaatkannya untuk memperdalam ilmunya tentang ajaran agama Islam yang dibantu oleh pamannya Syaikh Ahmad Khatib.

Setelah menyelesaikan tugasnya di Jeddah, pahlawan muslim ini kembali ke Tanah Air, keluar dari birokrasi Belanda dan mendirikan sebuah sekolah swasta di kampung halamannya di Kota Gadang. Namun itu tidak lama, ia kemudian kembali ke Pulau Jawa dan mulai masuk ke dunia jurnalistik pada tahun 1915.

Tidak lama setelah Agus Salim terjun di dunia jurnalistik, ia juga mulai memasuki ranah politik. Agus Salim bergabung dengan Sarekat Islam dan menjadi pemimpin kedua setelah Oemar Said Tjokroaminoto.

Setelah memasuki ranah politik, tepatnya pada tahun 1921-1924, Agus Salim menjadi anggota Volksraad. Sebuah dewan perwakilan rakyat yang dibuat oleh kolonial Belanda.


Peran dalam Kemerdekaan

Ilustrasi Bendera Merah Putih Credit: unsplash.com/Nick

Menjelang hari kemerdekaan, Agus Salim turut andil dalam dibentuknya panitia sembilan dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang mempersiapkan UUD 1945.

Setelah Indonesia merdeka dan membutuhkan kedaulatan juga pengakuan dari negara lain, Agus Salim menjadi orang penting yang membuat negara Indonesia diakui oleh kancah dunia. Berkat keahlian diplomasinya, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal 10 Juni 1947, disusul oleh Suriah, Arab Saudi, dan Afghanistan.

Berkat keahlian diplomasi yang Agus Salim miliki, ia terus dipakai oleh pemerintahan hingga menjadi menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947, Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947 dan Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949.

Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerapkali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia pada kabinet presidensial dan pada tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri. 

Penulis: Hamzah Setia Al Muhandisyi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya