Liputan6.com, Jakarta - COVID-19 subvarian XBB sudah ada 48 kasus di Indonesia. Hal ini disampaikan Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI, dr. Mohammad Syahril dalam konferensi pers virtual, Kamis 10 November 2022.
Menurut Syahril, angka ini tersebar di beberapa provinsi tapi belum semua provinsi melaporkan kasus dari subvarian ini. XBB merupakan subvarian dari Omicron yang memiliki kemampuan penularan yang cepat.
Advertisement
“Sudah ada 48 kasus. XBB adalah mutasi dari BA.2 dan BA.2.75. Transmisinya memang lebih cepat dibanding dengan BA.5. Namun, tidak ada data yang menunjukkan tingkat keparahan yang lebih tinggi daripada varian Omicron lain,” kata Syahril.
Gejalanya pun lebih ringan ketimbang BA.4 dan BA.5. Meski kebanyakan pasien menjalani isolasi mandiri, tapi yang dirawat pun ada, tambahnya.
Sejauh ini, pasien XBB kebanyakan berasal dari kelompok usia dewasa. Pada kelompok anak-anak pun ada, hanya saja jumlahnya sedikit.
Upaya yang masih dilakukan untuk mencari kasus XBB adalah sekuensing pada orang-orang yang dirawat baik di isolasi maupun di ICU.
“Ini dilakukan untuk membuktikan apa betul-betul sakit karena XBB atau bukan.”
Dengan adanya subvarian XBB ini, Syahril mengingatkan bahwa Indonesia belum betul-betul aman dari pandemi COVID-19.
Ia pun meminta masyarakat menguatkan protokol kesehatan. Seperti menggunakan masker, menghindari kerumunan, mencuci tangan, dan melakukan tes jika mengalami tanda dan gejala COVID-19.
“Segera juga lakukan booster, untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat COVID-19,” tegasnya.
Peningkatan Kasus Sepekan Terakhir
Dalam kesempatan tersebut, Syahril juga menyampaikan informasi soal peningkatan kasus COVID-19 RI selama sepekan terakhir.
Menurutnya, hingga 9 November 2022 kasus konfirmasi positif mengalami kenaikan sebanyak 47,24 persen dan angka kematian naik 31,12 persen.
“Begitu juga dengan bed occupancy rate (BOR) atau hospitalisasi mengalami kenaikan 30,58 persen.”
Ia menambahkan, tren kasus Indonesia mengalami peningkatan 8,15 per 100 ribu penduduk per minggu. Dengan demikian, transmisi komunitasnya berada di level 1.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan standar transmisi komunitas yang dibagi dalam beberapa level, ini dihitung berdasarkan tiga indikator.
Ketiga indikator itu adalah kasus konfirmasi positif, rawat inap, dan kasus kematian. Pada level 1, kasus konfirmasi berada di bawah 20 per 100 ribu penduduk. Rawat inap di bawah 5 per 100 ribu penduduk, dan kasus kematian di bawah 1 per 100 ribu penduduk dalam satu minggu.
“Ketiga hal ini secara nasional masih menunjukkan bahwa kita di level 1. Cuman, kita harus hati-hati, walaupun kita masuk di level 1 ini tapi grafik menunjukkan ada penambahan di kasus kematian, kasus konfirmasi, dan rawat inap.”
Advertisement
XBB Belum Mendominasi
Hingga saat ini, lanjut Syahril, subvarian COVID-19 yang mendominasi di Indonesia adalah varian BA.4 dan BA.5.
“Hanya saja, subvarian XBB sudah mulai nampak di pertengahan Oktober. Belajar dari negara lain, XBB akan mencapai puncak lebih dari 24 hari.”
Sementara ini, XBB belum bisa dianggap sebagai biang keladi lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia. Sebaliknya, beberapa faktor lain seperti protokol kesehatan yang longgar dan banyaknya kerumunan diperkirakan memiliki kontribusi atas lonjakan yang terjadi sepekan terakhir.
Lonjakan kasus COVID-19 dari hari ke hari membuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperketat izin konser. Terkait hal ini, Syahril pun mengatakan bahwa Kementerian Kesehatan sangat setuju.
“Kemenkes sangat setuju, sangat senang karena memang (pengetatan) harus dilakukan oleh seluruh pihak yang terkait. Jadi terima kasih kepada DKI, saya kita tak hanya DKI, seluruh provinsi ya harus pintar-pintar, bijaksana, dalam mengurangi ini (kerumunan.”
Kerumunan yang amat besar, lanjutnya, bukan saja hanya menyebabkan penularan COVID-19, tapi juga menjadi pemicu beberapa kerusuhan.
Peningkatan Disiplin Jelang Nataru
Tak lama lagi, libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) akan tiba. Syahril kemudian menanggapi pertanyaan soal persiapan dan antisipasi lonjakan COVID-19 jelang Nataru.
Seperti pengalaman di tahun-tahun sebelumnya, kasus cenderung meningkat setelah libur panjang termasuk Nataru.
“Antisipasi jelang Nataru dalam keadaan seperti ini kita harus melakukan pengaturan, pengetatan, termasuk peningkatan disiplin.”
Ke depan, akan ada tata cara atau pedoman dalam menikmati libur Natal dan Tahun Baru di tengah situasi pandemi.
“Jadi tunggu aja ya, nanti akan ada pedoman-pedoman bagaimana menghadapi Nataru ini.”
Advertisement