Liputan6.com, Palembang - Kenaikan tarif penyeberangan sebesar 11 persen yang diputuskan pemerintah, mendapat respon pro kontra dari berbagai pihak. Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menyebut kenaikan tarif tersebut realistis, dengan mempertimbangkan biaya logistik dan transportasi.
Berbeda lagi dengan Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap), yang melihat tingginya tarif angkutan transportasi tidak berlandaskan perhitungan yang benar.
Ketua Umum Gapasdap Khoiri Soetomo mengatakan, operator angkutan penyeberangan telah mengajukan perhitungan tarif yang sesuai, yang sudah disetujui atas dasar perhitungan dan analisa, yang dilakukan Kemenhub beserta Gapasdap dengan melibatkan stakeholder.
Baca Juga
Advertisement
Pada Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 66 tahun 2019, formulasi perhitungan tarif angkutan penyeberangan terdiri dari kepelabuhanan PT. ASDP, perwakilan konsumen YLKI, asuransi Jasa Raharja dan bahkan juga melibatkan Kemenko Marves.
“Saat itu perhitungan tarif masih kurang 35,4 persen dari HPP operasional kapal penyeberangan. Kekurangan tarif tersebut, jauh sebelum adanya kenaikan BBM subsidi dari pemerintah sebesar 32 persen,” kata Ketum Gapasdap, Jumat (11/11/2022).
Jika Menhub Budi Karya Sumadi hanya menaikkan 11 persen di KM 184/2022, dia menilai kenaikan tersebut tidak berdasarkan pada Permenhub 66/2019.
Karena perhitungannya tidak melibatkan stakeholder tarif yang sesuai dengan peraturan menteri tersebut, sehingga KM 184/2022 dianggap melanggar perundang-undangan.
Dia juga mempertanyakan pernyataan Menhub Budi soal kenaikan tarif sebesar 35,4 persen, akan mengakibatkan dampak kenaikan inflasi yang tinggi.
"Kami (Gapasdap) siap dipertemukan Kemenhub, pengamat kebijakan publik, YLKI dan Badan Kebijakan Transportasi Balitbang Kemenhub," ujarnya.
Menurutnya, pengaruh kenaikan tarif angkutan penyeberangan 35,4 persen, berdampak terhadap harga komoditas hanya sebesar 0,11 persen.
Seperti truk pengangkut beras seberat 30 ton yang menyeberang di lintas Merak-Bakauheni, tarifnya biasanya sebesar Rp. 974.278. Jika dinaikkan hingga 35,4 persen, biaya penyeberangan truk pengangkut beras mencapai Rp. 1.319.172.
Ada kenaikan Rp 344.894 untuk 30 ton beras, di mana harga komoditas beras 30 ton adalah Rp 300 juta, jika per kilogramnya sebesar Rp10.000.
“Tak ada alasan Pak Menhub untuk tidak menaikkan tarif, dengan besaran perhitungan yang sebenarnya. Karena kenaikan tersebut juga menjamin standarisasi keselamatan dan standardisasi pelayanan kenyamanan,” ujarnya.
Jumlah transportasi publik dan logistik yang menggunakan angkutan feri, jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan yang tidak mengikuti angkutan feri. Seperti di lintas Pelabuhan Merak-Bakauheni yang terpadat. Dalam satu hari hanya menyeberangkan 5.000 unit truk dan bus.
Inflasi Tinggi
Sedangkan, jumlah angkutan logistik yang ada di Indonesia, ada sekitar 6,5 juta unit dan jumlah angkutan publik sekitar 200 ribu unit, sehingga total ada 6,7 juta unit.
Bila dibanding dengan 5.000 unit kendaraan yang diangkut oleh angkutan penyeberangan, tidak lebih dari 0,07 persen, dibanding dengan jumlah unit yang beroperasi diluar angkutan penyeberangan.
“Sehingga dampak kenaikan harga logistik yang tidak menggunakan angkutan feri, jauh lebih besar dan berakibat inflasi yang tinggi, jika dibanding dengan yang menggunakan angkutan feri,” katanya.
Karena alasan itulah, Khoiri berani menyebut jika pernyataan Menhub Budi tentang dampak inflasi yang disebabkan oleh kenaikan tarif feri adalah sangat tinggi, tidak berdasar pada analisis yang benar.
Baca Juga
Advertisement