OPINI: Berebut ‘Turbo Impact’ Desa

Saat pandemi selama dua tahun, desa dan hasil bumi yang dihasilkan nyaris tak terdampak.

oleh Liputan6dotcom diperbarui 12 Nov 2022, 17:28 WIB
Nursida, sosok perempuan hebat yang bantu pemerataan ekonomi digital dari desa ke desa. (Foto: Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Desa kini menjadi kekuatan baru. Dalam perspektif politik, desa tak lagi hanya menjadi destinasi tradisional tentang etalase pangan dan lingkungan lestari namun sudah menjadi entitas baru dalam penguatan bidang ekonomi dan gerakan sosial yang diperhitungkan negara. Itulah hasil capaian setelah Presiden RI ke 7 Joko Widodo mentasbihkan Desa sebagai bagian dari strategi nasional melalui Nawacitanya yakni “membangun Indonesia melalui pinggiran, perbatasan dan desa”.

Melansir laporan dari Direktorat Jenderal Pembendaraan Kementerian Keuangan RI tahun 2022 terbukukan sejak tahun 2015, Dana Desa --instrumen kebijakan politik anggaran untuk mengakselerasi kemajuan desa-- sudah tersalurkan Rp 400,1 triliun yang digunakan untuk membangun infrastruktur dari mulai jalan desa, embung, irigasi, jembatan, pasar, fasilitas air bersih, drainase, sumur dan penguatan ekonomi lainnya.

Pagu Dana Desa tahun ini ditetapkan sebesar Rp 68 triliun yang dialokasikan kepada 74.961 desa di 434 kabupaten/kota se-Indonesia. Berarti ada penurunan Rp 4 triliun dibandingkan tahun lalu yang teranggarkan sebesar Rp 72 triliun.

Kebijakan distribusi anggaran ini yang menarik untuk dibahas. Dan political will Presiden Jokowi bukan sebatas odong-odong alias penggembiraAlhasil, dampak masuknya Dana Desa yang diperuntukkan untuk keperluan esensial pembangunan desa ternyata mampu menjadikan desa menjadi kekuatan ekonomi baru. Bahkan enjin ekonomi yang berkategori turbo di masa depan. Ibarat mobil, desa itu meski memiliki kapasitas enjin / cc yang kecil namun dibenamkan turbo yang mampu melaju cepat dalam waktu singkat.

Saat pandemi selama dua tahun, desa dan hasil bumi yang dihasilkan nyaris tak terdampak. Warga desa tetap saja melakukan aktivitas sebagaimana biasa. Sejak subuh, musala tetap saja penuh dengan jamaah, pagi ke ladang atau berkebun dan hasilnya dinikmati sendiri oleh keluarga, barter hasil bumi dan sebagian dijual ke pasar terdekat dan sore hari masih saja kedapatan kenduren atau kongkow sambil ngopi dan ngudut/ merokok antarwarga di wilayahnya.

Itu bukan berarti desa tak perduli bahaya infeksi Covid-19 yang konon mengincar para komorbit yang berusia lanjut untuk cepat menjadi pesakitan dan berakhir kematian. Warga desa lebih meyakini tentang kematian itu sebagai takdir, sementara bertahan hidup dengan tetap bersosialisasi dan berkebun merupakan keterpanggilan alam untuk memaknai apa arti kebersamaan dalam hidup.

Bagaimana dengan kehidupan warga kota ? Saat pandemi kota yang tadinya gemerlapan dan tak mati selama 24 jam, mendadak menjadi kota hantu. Kehidupan antarwarga saling curiga dan menutup diri karena dikuatirkan oranglain membawa carrier virus yang mematikan. Tak terkecuali antarsanak saudara.

Roda ekonomi kota lumpuh total. Pemerintah grojog ratusan triliun rupiah untuk BLT agar situasi pandemi tidak memantik pendemo. Dan itu indikator sahih betapa sangat riskan dan lemahnya struktur sosial masyarakat kota.

Kini, Indonesia didapuk menjadi salah satu negara yang mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya surplus di saat pandemi. Sementara negara maju minus hingga titik nadir. Dari mana struktur ekonomi Indonesia mampu tumbuh bahkan swasembada di tengah krisis pangan?

Itu akibat dari kontribusi yang diraih dari keberanian aparatur desa dan petani yang masih saja menjalankan aktivitasnya sebagaimana biasa menjaga lumbung-lumbung pangan mereka, meski dengan sejumlah keterbatasan. Warga desa terbiasa hidup mandiri.

Masuknya Anggaran Dana Desa/ ADD ke ribuan desa sejak tahun 2015 oleh pemerintah pusat menjadikan performa desa menjadi lebih kokoh, solid dan memahami arti kebijakan anggaran yang benar-benar dibutuhkan oleh desa.

Lepas 2,5 tahun pascapandemi kini desa-desa di Indonesia laksana jamur di musim penghujan prestasinya. Ada yang menjadi desa wisata, desa pangan, desa mandiri energi, desa entrepreneur dan lain-lain.

Akibat seksinya desa kini banyak tokoh politik nasional yang menginginkan panggung politik berbasis desa. Ada yang mengklaim mampu membangun 1000 desa pangan, penggelontor kredit petani dan Bumdes ratusan triliun untuk penguatan ekonomi desa.

Itu semakin kasat terlihat menjelang tahun politik 2024. Prestasi desa diklaim akibat buah tangan mereka, entah dari pejabat pemerintah maupun politisi baik di tingkat nasional, provinsi hingga kabupaten.

Sejatinya aparatur dan warga desa menyadari mulai dini bahwa wilayah dan prestasinya dalam beberapa bulan ke depan akan menjadi ajang rebutan klaim oleh banyak pihak.

Penulis: Tony Setiawan, Founder Rural Community Development

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya