Catatan Akhir Pekan: Menaikkan Derajat Masyarakat Adat yang Terpinggirkan Lewat Kerajinan Tangan

Masyarakat adat, khususnya warga Dayak, menjadi salah satu mitra utama Handep sebagai penyuplai produk kerajinan tangan berkualitas.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 13 Nov 2022, 08:30 WIB
Pendiri Handep, Randi Julian Mirana, mempromosikan brand-nya dalam acara Indonesia Brand Founders Summit 2022 di Jakarta, 13 Oktober 2022. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat adat kerap kali bukan jadi pihak utama yang akan diajak bermitra dalam usaha. Tapi, pendekatan berbeda dilakukan Randi Julian Mirana lewat brand Handep yang didirikannya sekitar tiga tahun lalu.

Ia sengaja mendekati mereka yang tinggal di pedalaman untuk naik kelas bersama-sama. Salah satunya adalah warga Dayak Ngaju yang berada di Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah. Sekitar 300 wanita Dayak diminta untuk kembali menganyam rotan menghasilkan kerajinan tangan kekinian.

"Their quality of working is amazing. You would never see that kind of product as good as what this community can make. Kalau lihat di booth kita, semuanya handmade," ujar Randi kepada Liputan6.com di sela acara Indonesia Brand Founders Summit, Oktober 2022.

Dia menjelaskan bahwa keterampilan menganyam itu sudah dimiliki warga Dayak secara turun-temurun. Keterampilan itu jadi penanda seorang perempuan masuk usia dewasa. 

"Kalau di Kalimantan Timur, nenun. Kalau di Kalimantan Tengah atau Utara, nganyam," ucap Randi menjelaskan keterampilan yang dimaksud.

Namun, para pemudi Dayak belakangan tak mau meneruskan tradisi sebagai penenun. Berkurangnya permintaan pasar dan dianggap tidak relevan, menurut Randi, adalah penyebabnya. Jika dibiarkan, keterampilan adat itu akan menghilang begitu saja.

Untuk itu, Randi mencoba membangkitkan kembali minat anak-anak muda dengan beberapa cara. Ia pertama-tama mendekati kaum ibu yang rata-rata berusia di atas 50 tahun. Produk kerajinan tangan mereka dibeli dengan harga pantas hingga mendapat penghasilan yang cukup. Cara itu rupanya berhasil menarik perhatian.

"Yang muda-muda ini juga mau join akhirnya," imbuh Randi.

 

 


Kompetisi Antar-Penenun

Sejumlah tas hasil kerajinan tangan para perempuan Dayak yang dipasarkan Handep. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Berikutnya, ia menggunakan platform kompetisi untuk meningkatkan kebanggaan dari para penenun. "We organize competition, Princess and Queen of Weaving," ujarnya.

Keterampilan penenun di masing-masing desa diadu. Pemenang berhak mendapat hadiah sejumlah uang dan kontrak eksklusif dengan Handep. Kesepakatannya adalah hanya pemenang yang boleh membuat produk dengan desain yang dirancang spesial oleh Handep. Produk yang dihasilkan dibayar dengan pantas.

"One piece of small hand bag, we pay up to two million (rupiah). Untuk anyamannya saja. We also take the on tour to Bali, to Jakarta. Mereka kemudian sharing their stories and demonstrating their weaving skill," imbuh Randi.

Total kurang lebih 550 masyarakat adat bergabung jadi mitra yang 99 persen adalah perempuan. Selain di Kalimantan Tengah, mereka juga bermitra dengan masyarakat adat yang di Kalimantan Barat, Banten, dan Bali utara. Sebaran yang luas, keterampilan mereka juga beragam. Masyarakat Bali Utara, misalnya, pandai menganyam produk dari bambu, sedangkan warga Baduy terkenal pandai menenun.

"Dalam beberapa tahun terakhir, kami melihat masyarakat adat lainnya yang juga berjuang. Mereka butuh dukungan, akses ke pasar, dan lain-lainnya," ia menjelaskan.

 


Naik Kelas

Sejumlah tas hasil kerajinan tangan para perempuan Dayak yang dipasarkan Handep. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Randi menerangkan, pada dasarnya, mereka menyerahkan motif di setiap produk kepada para penenun atau penganyam. Pihaknya ingin mempertahankan motif-motif tradisional yang banyak terinspirasi dari alam sekitar mereka. Yang dilakukannya adalah dengan memperkenalkan inovasi bentuk dan fungsi.

"Dulunya hanya untuk keranjang buah, tapi kita desain jadi tas atau apa," ujarnya seraya menyebut pihaknya juga memproduksi motif-mtif baru seiring waktu.

Pihaknya juga beradaptasi dengan sumber daya yang ada, baik manusia maupun bahan baku. Pendekatan dari bawah ke atas diterapkan karena itu dinilai paling strategis dan efisien menurut pengalaman mereka. 

"Ketika kita bekerja sama dengan masyarakat adat, jangan memperkenalkan sesuatu yang asing dengan konsep yang benar-benar baru. They're very reluctant to changes. We develop something they're familiar with, already have the skills as knowledge. Dari situ, kami bangun sesuatu bersama dan membawanya naik kelas," ia menjabarkan.

Selain produknya yang naik kelas, perajin yang terlibat juga diajak naik kelas. Salah satu yang akan dilakukannya adalah dengan membuka workshop yang juga berfungsi sebagai kantor bagi para perajin pada Januari 2023. Para artisan, ia menyebutnya, bisa datang bekerja seperti orang kantoran, dari jam 9 pagi hingga 5 sore. Mereka juga akan dibayar.

"We want to decolonized artisant itu cuma freelance, cuma dibayar murah. Jadi, kita bangun sebuah eksosistem buat orang-orang ini bekerja sebagai profesional, seperti jenis-jenis pekerjaan lain, tapi ini nganyam atau nenun," ia menjelaskan.

 


Susul Gucci, LV, dan Hermes

Penjelasan rangkaian proses produksi kerajinan tangan warga Dayak. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah

Di sisi lain, pihaknya juga sudah memikirkan segmentasi pasar yang dituju. Pasar penting agar produk tidak berakhir hanya jadi pajangan tanpa menghasilkan pendapatan. 

"Kalau di Handep, lebih ke people who passionate and interested dengan sustainability, sustainable product, local product, heritage product. Mostly in term of income, biasanya kategorinya masuk ke middle to upper class," tutur Randi.

Ia dan tim meyakini sejak awal bahwa produk buatan tangan dan termasuk warisan semestinya dihargai tinggi. "If big brand like Hermes, Gucci, LV can sell, we can sell the product like that. We can also slowly go to that level," ucapnya percaya diri.

Menurut dia, produk kerajinan tangan yang dihasilkan baik secara kualitas, keunikan, dan karakter, tidak bisa ditemukan di daerah lain. Karena itu, bayarannya harus pantas. Jika Anda mengira pembelinya mayoritas orang asing, tebakan itu salah. Randi menyebut sekitar 80 persen pembeli produk Handep adalah orang Indonesia.

"There's very positive trend on local heritage-based product. Kebanyakan customer kita dari Jakarta, Kalimantan," ia menerangkan.

"Anak-anak muda, khususnya generasi milenial itu banyak banget tertarik dengan produk-produk yang punya impact. Produk-produk yang championing for sustainability," sambungnya.


Bukan Sekadar Jual Cerita

Pendiri Handep, Randi Julian Mirana, mempromosikan brand-nya dalam acara Indonesia Brand Founders Summit 2022 di Jakarta, 13 Oktober 2022. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Randi tak menampik produk-produk itu juga dijual ke luar negeri dengan negara seperti Jepang, AS, dan beberapa negara Eropa. Namun, ia menyebut pasar domestik yang begitu besar adalah peluang utama saat ini. 

Kuncinya terletak pada kemampuan mengomunikasikan produk kepada target pasar yang dituju. Handep memanfaatkan media sosial untuk mengomunikasikan nilai-nilai brand sehingga konsumen semakin sadar saat membeli produk mereka. Handep juga rutin mengikuti pameran untuk memperkenalkan ke calon konsumen.

"Based on result of our survey tahun lalu, dari beberapa customer yang kita pilih, random sample, mereka ngisi lewat platform kita, mereka bisa appreciate lagi terhadap Indonesia's culture and product, karena, kita enggak hanya communicate end product, tapi dari hulu ke hilir," tuturnya.

Tapi, Randi menegaskan bahwa pihaknya tidak hanya menjual cerita sedih untuk menarik hati konsumen. Hal paling utama yang ditawarkan justru produk berkualitas baik, ditambah dengan sejumlah benefit. Handep menyediakan layanan purna jual sehingga konsumen bisa memperbaiki produk mereka yang rusak di Handep.

"Berikutnya one purchase one tree. Setiap pembelian, udah pasti nanam satu pohon di beberapa daerah terdegradasi di Kalimantan. Jadi, customer bakal aware dapat certain benefit kalau beli produk kita," ia menyebut. Harga produk Handep antara Rp500 ribu hingga Rp5 juta.

Infografis: Apa Itu Socialpreneur?  (Liputan6.com/Triysasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya