Kebijakan SPSK Melindungi Pekerja Migran Indonesia di Arab Saudi Diapresiasi

Syarat berikutnya telah melaksanakan kegiatan penempatan PMI ke Arab Saudi pada pengguna perseorangan paling sedikit 5 tahun.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Nov 2022, 18:05 WIB
Menaker Ida Fauziah di depan anggota DPR paparkan SPSK untuk Penempatan Pekerja Migran ke Arab Saudi. (Ist)

Liputan6.com, Jakarta Kebijakan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) yang membuka kembali penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi melalui Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) dinilai sebagai langkah yang tepat.

SPSK secara terbatas bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) ini tidak mencabut Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 tentang penghentian dan pelarangan Penempatan TKI pada pengguna perseorangan di negara-negara Kawasan Timur Tengah.

Wakil Sekjen Komisi Nasional Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (Komnas LP-KPK) Amri Piliang memberikan apresiasi kepada Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah atas keluarnya kebijakan ini. Apalagi kebijakan ini sebenarnya menjunjung tinggi pelindungan hak asasi manusia dan kesejahteraan Pekerja Migrain Indonesia (PMI).

SPSK ini sebenarnya merupakan exit strategy Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada selama ini terkait penempatan di sektor domestik di Saudi Arabia.

Sebelumnya, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah menyatakan poin penting yang tertuang dalam SPSK ini diantaranya penempatan PMI pada sektor domestik Arab Saudi, hanya dapat dilakukan melalui SPSK (sistem penempatan satu kanal). Kemudian, Arab Saudi berkomitmen menghentikan kebijakan konversi visa WNI menjadi visa kerja pada sektor domestik Arab Saudi.

"Jadi, yang harus dihighlight adalah larangan terkait dengan penggunaan tenaga pengguna perseorangan di Kawasan Timur Tengah," ujar Menaker Ida Fauziah.

LP-KPK pun sepakat dengan pernyataan Menaker. Malah menurut Amri, persyaratan yang diberikan Kemnaker kepada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) sangat mudah.

"Syarat-syarat itu sangat mudah, transparan dan sesuai dengan aturan yang ada. Tak hanya itu, ini juga melindungi hak-hak pekerja migrain Indonesia," kata Amri.

Beberapa syarat mudah itu menurut Amri misalnya, melakukan pendaftaran secara daring melalui laman http://pptkln.kemnaker.go.id/sipptkln.

"Ini kan hal yang biasa dilakukan bagi pemerintah untuk mempermudah mitra kerjanya dalam berbagai hal secara daring dan melalui laman," katanya.

Selain itu P3MI harus memiliki Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (SIPPTKI) yang masih berlaku. "Ini syarat mutlak bagi P3MI yang akan menempatkan PMI ke negara penempatan," katanya.

Syarat berikutnya telah melaksanakan kegiatan penempatan PMI ke Arab Saudi pada pengguna perseorangan paling sedikit 5 tahun.

"Program uji coba menjadi program prioritas pemerintah agar mendapat kesempurnaan. Tentunya perlu P3MI yang berpengalaman menempatkan ke Saudi Arabia, agar program uji coba itu mendapatkan hasil maksimal," ujar Amri.

"Sekarang ini banyak P3MI yang mempunyai pengalaman namun menyalahgunakan dengan menempatkan PMI non prosedural atau ilegal. Bahkan hingga saat ini mereka masih merongrong pemerintah untuk menggagalkan program uji coba SPSK secara masif dan tersetruktur. Mereka sudah menjadi sindikat yang menjual anak-anak bangsa," imbuh dia.

 


Terintegrasi dengan Sisnaker.

Selain itu, P3MI juga tidak sedang terkena sanksi administrative dan harus menandatangani pakta integritas serta harus memiliki ISO 9001 yang masih berlaku.

Kemudian, setiap perusahaan juga harus memiliki kantor dan sarana prasarana perkantoran sesuai dengan alamat yang tercantum di dalam SIPPTKI, memiliki sistem online dan bersedia untuk terintegrasi dengan Sisnaker.

"Sistem online yang terintegrasi ke Sisnaker adalah hal yang perlu untuk memastikan database pemerintah dalam perlindungan PMI. Serta tanggung jawab pelaku penempatan yang dilakukan oleh P3MI dalam melaksanakan uji coba program SPSK," ujarnya.

Dan yang terpenting, asosiasi bertanggung jawab dalam pelaksanaan penempatan dan pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang dilaksanakan oleh P3MI yang menjadi anggotanya.

Amri menyatakan, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan SPSK ini karena beberapa hal. Salah satunya belum adanya peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan PMI di negara penempatan.

"Selain itu belum adanya mekanisme penyelesaian masalah PMI di negara penempatan," kata Amri.

Saat ini banyak kasus terjadi di negara penempatan. Lebih dari 60 persen kasus yang terjadi adalah PMI yang bekerja pada pengguna perseorangan.

"Ada juga sistem kafalah pada pengguna perseorangan yang malah merugikan PMI," ujarnya.

Amri juga mengungkapkan meningkatnya jumlah PMI yang tinggal tanpa tercatat serta meningkatnya jumlah PMI yang mendapatkan masalah. Oleh karena itulah, Pemerintah Indonesia akhirnya menyepakati Technical Arrangements (TA) yang berfungsi sebagai pengaturan teknis pilot project Sistem Penempatan Satu Kanal Indonesia-Arab Saudi.

Amri melanjutkan, saat ini ada sekelompok kecil Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) yang merasa tidak puas dengan Program SPSK karena tidak lolos seleksi.

"Mereka adalah P3MI yang tidak memahami isi Kepmenaker No.291 Tahun 2018 dan memiliki catatan hitam pernah terlibat penempatan non prosedural/ilegal. Atau belum memiliki pengalaman 5 tahun menempatkan PMI ke Timur Tengah," katanya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya