Liputan6.com, Jakarta - Analis Politik Boni Hargens meyakini terdapat sejumlah indikasi yang menjadi titik rawan jelang pemilu 2024. Salah satunya adalah politik identitas. Menurut Boni, politik identitas kerap dimainkan oleh kelompok oligarki.
“Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) sejak lama memberikan atensi terhadap politisasi identitas dan peran oligarki yang mengalami transformasi pasca Orde Baru dan terus berupaya untuk merangsek ke supra struktur politik dan mengendalikan sepenuhnya sistem demokrasi modern,” kata Boni yang juga menjadi direktur dari lembaga tersebut saat diskusi publik bertema Mainan Oligarki di Balik Politik Identitas Menjelang Pemilu 2024 yang dihelat oleh LPI, Sabtu (12/11/2022).
Advertisement
Boni menambahkan, realitas oligarki memang ada dan sulit ditiadakan. Namun demikian, hal itu bukan tidak mungkin dikendalikan dan dipenetrasi perannya melalui sistem demokrasi modern.
“Mencermati bahwa ada peran para oligarki dalam memproduksi narasi politik identitas yang kembali digaungkan untuk kepentingan kandidasi pencapresan,” kata pria yang meraih gelar doktoralnya dari Walden University ini.
Pria yang mengangkat tema desertasi soal Kartelisasi Oligarki di Indonesia Pasca-Soeharto: Mengupas Proses Legislasi UU Pemilu 2017 pun menegaskan, dari sejumlah diskusi dan penelitian yang digelar secara tertutup, Boni meyakini ada relasi kuat yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung terhadap peran segelintir oligark terhadap narasi identitas keagamaan yang diusung oleh kelompok tertentu.
“Hasil riset dan diskusi membawa kami (LPI) terhadap hipotesis bahwa dinamika keagamaan dan polarisasi kelompok masyarakat itu tidak hanya sebatas tafsir terhadap teks keagamaan yang intinya membentuk narasi dukungan atau mendeskreditkan kelompok tertentu atas nama agama,” Boni menutup.
Oligarki Didukung Faktor Kultural
Sementara itu, Direktur Polhuk Hankam BRIN, Muhammad Nur Hasyim, juga menjadi pembicara dalam diskusi senada menyebut, keberadaan oligarki turut didukung oleh faktor kultur masyarakat yang patron klien dan pesebaran kaum oligark paska rezim Suharto yang kemudian mendominasi hampir seluruh proses politik, terutama di level hilir.
Menurut dia, peran oligarki bisa dipenetrasi dengan sistem demokrasi modern. Hanya saja, struktur demokrasi kita dalam beberapa hal masih harus dibenahi agar para oligark dapat sepenuhnya tunduk pada sistem dan tidak memberikan ruang untuk mengorganisir kekuatannya.
Sependapat dengan itu, politikus Ferdinand Hutahaean menyebutkan bahwa setelah dibubarkannya Petral, kaum oligark diduga mengambil peran lain untuk berada di belakang kandidasi pencapresan dan membangun relasi ekonomi politik dengan partai politik.
“Mereka berharap, melalui jalur elektoral, mereka dapat memainkan peran ekonomi bisnis, sebagaimana saat Petral masih eksis,” kata Ferdinand dalam diskusi yang sama.
Advertisement
Minta Pemilih Cerdas
Dia lalu menyinggung praktik liberalisme politik yang sebelumnya merupakan andil dari para oligarki. Hanya saja, disayangkannya adalah relasi oligarki yang berada di balik layar untuk mengerahkan kelompok tertentu menggunakan identitas keagamaan untuk kepentingan politik jangka pendek yang efeknya merusak hubungan antar kelompok masyarakat.
“Saya berharap masyarakat pemilih cerdas dan bijak dalam memilih dan menentukan dukungan jelang masa pencapresan menuju pemilu 2024 mendatang, jangan sampai memilih sesaat, rasa penyesalannya begitu panjang,” dia menandasi.