Kenapa Kawasan Gumitir, Jalur Utama Jember - Banyuwangi Rawan Longsor?

Gunung Gumitir yang menjadi jalur utama yang menghubungkan antara Kabupaten Jember dan Banyuwangi akhir-akhir ini menjadi kurang efektif. Hal ini seiring dengan insiden longsoran yang kerab terjadi di wilayah tersebut.

oleh Hermawan Arifianto diperbarui 15 Nov 2022, 05:05 WIB
Jalan raya Gumitir yang menghubungkan Kabupaten Banyuwangi- Jember longsor (Istimewa)

Liputan6.com, Banyuwangi - Gunung Gumitir yang menjadi jalur utama Jember - Banyuwangi akhir-akhir ini kerap diterjang  longsor. Terlebih pada musim penghujan saat ini.

Saat longsoran terjadi pada sisi atas tebing, material seperti tanah, bebatuan dan kayu seringkali menutupi jalan utama. Terkadang longsor juga terjadi pada sisi bawah jalan beraspal hingga menggerogoti bidang jalan.

Kondisi itu jelas merugikan. Karena setiap kali longsor pasti akan menyebabkan kemacetan parah hingga mengular. Tak jarang banyak kendaraan yang terjebak di jalur ini selama berjam-jam lamanya.

Berdasarkan penelitian berjudul "Stabilitas Lereng Pegunungan Gumitir Sisi Atas Jalan Jalur Jember-Banyuwangi KM 37+150m" pada 2006 yang dilakukan Mahasiswa D3 Teknik Sipil, Atwinarti Surtiyah disebutkan bahwa kondisi tebing Gumitir tidak aman.

Penyelidikan dilakukan di lapangan dengan pengambilan sampel tanah undisturb, disturb, pengukuran kemiringan lereng dengan theodolith dan penyelidikan di laboratorium Geologi dan Mekanika Tanah PS Teknik Universitas Jember.

Penyelidikan meliputi, Index Properties, Attemberg limit, Kekuatan geser langsung, Permeabilitas. Dari hasil penyelidikan dilaboratorium dan hasil analisa stabilitas lereng, diperoleh nilai stabilitasnya (F) = 1.284.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa sisi atas jalan lereng Pegunungan Gumitir tidak aman terhadap longsor karena syarat tanah aman terhadap longsor (F) ≥ 1.5.

Penelitian juga dilakukan Akvian Erie Perwira 2014. Dalam penelitiannya Mahasiswa Universitas Negeri Malang itu ditemukan beberapa titik yang telah longsor pada sepanjang jalan ini. Hal ini akan memicu terjadinya longsor susulan yang lebih besar dan membahayakan pengguna jalan yang melintasi jalur tersebut.

Identifikasi tingkat kerentanan longsor dihitung berdasarkan pengharkatan beberapa variabel yaitu kemiringan lereng pemusatan mata air tingkat pelapukan tanah kerapatan kekar kedalaman pelapukan struktur lapisan batuan permebilitas tanah indeks plastisitas tekstur tanah penggalian tebing dan vegetasi penutup.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah penelitian terbagi menjadi tiga kriteria tingkat kerentanan longsor yaitu rendah sedang dan tinggi.

Tingkat kerentanan longsor tinggi mendominasi dengan panjang jalur 3 3 km pada satuan lahan V321. 2. Tomb1. H (Km 34 Km 37 4).

Tingkat kerentanan longsor sedang terdapat pada satuan lahan V12. 2. Qpvk2. Kb (Km 40 6 Km 41) V12. 2. Qpvk2. B/S (Km 39 4 Km 40 6) V321. 2. Tomb1. B/S (Km 38 5 Km 39 4) dan V321. 1. Tomb1. Kb (Km 37 7 Km 38 2) dengan panjang jalur 3 km.

Sedangkan tingkat kerentanan longsor rendah pada satuan lahan (Km 32 7 Km 34 1 dan Km 37 4 Km 37 7) dengan panjang jalur 1 7 km.

Penggalian tebing kemiringan lereng dan tekstur tanah merupakan faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi tingkat kerentanan longsor pada Jalur Gunung Gumitir

 


Sisa Gunung Berapi Purba

 

Ketua Harian Ijen Geopark Banyuwangi Abdillah Baraas mengatakan, Gumitir merupakan sisa-sisa gunung berapi purba. Usia gunung ini diperkirakan sudah 33 juta tahun lalu.

Di tataran pegununngan di Banyuwangi dan Jember, Gumitir merupakan yang paling tertua.

"Gumitir adalah dinding atau kaldera yang tersisa dari gunung api itu. Sehingga batu-batu penyusunnya itu lebih lapuk dibanding gunung-gunung yang baru yang berada di utara yang masih berumur puluhan atau ratusan ribu tahun," kata Abdillah, Senin (14/11/2022).

Selain memang karena usia, faktor lain penyebab longsor di Gumitir adalah pembebanan. Setiap hari, hampir tidak bisa dihitung berapa kendaraan yang melintas di jalur ini. Baik itu skala kecil hingga kendaraan logistik yang memiliki beban berat.

"Dengan pembenanan semacam itu maka itulah respon tanah. Untuk menyeimbangkan dirinya sehingga dia harus longsor. Tapi triggernya adalah air biasanya terjadi saat musim penghujan. Bisa dilihat dari bentuk longsor yang selalu berbentuk oval, karena memang itu bidang gelincirnya," ujar Abdillah.

Pria berumur 31 tahun ini mengatakan selanjutnya adalah alterasi, sebuah proses perubahan komposisi mineralogi batuan dalam kondisi padat, sebagai akibat adanya pengaruh suhu dan tekanan tinggi.

Alterasi terindikasi berada di sisi bagian timur Gumitir. Hal itu terlihat dari ciri tanah yang cenderung memiliki warna merah. Tanah normal yang memiliki struktur kuat seharusnya berwarna kecoklatan.

"Itulah alasannya lereng bagian timur lebih sering longsor. Dari pada bagian barat," tegas Abdillah.

Menurut dia, dalam jangka panjang Gumitir sangat tidak layak untuk dijadikan jalur utama. Perlu adanya alternatif. 

 


Siapkan Jalur Alternatif

Pemerintah sebetulnya sudah menyiapkan jalur alternatif, yaitu di Jalur Lintas Selatan (JLS) ataupun Tol Probowangi. Namun pembangunan mega proyek itu hingga saat ini masih belum tuntas.

Abdillah menyebut, karena ketika masih mempertahankan Gumitir sebagai jalur utama hanya akan menyebabkan kerugian yang berlarut-larut. Baik itu kerugian materil dan tidak menutup kemungkinan adalah korban jiwa.

"Ketika masih bertahan di jalur itu, akan sia-sia. Perbaikan berkali-kali pun juga akan percuma . Solusinya adalah pemindahan jalur. Atau solusi lain adalah mengurangi volume kendaran yang lewat. Jembatan timbang difungsikan, baik dari Jember ke Banyuwangi atau sebaliknya. Fungsi logis yang bisa dilakukan oleh Dinas Perhubungan untuk mengawasi pembebanan," tegasnya.

 

Infografis Manfaat KTT G20 Bali Bagi Masyarakat Indonesia (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya