110 Muslim Rohingya Melarikan Diri dari Myanmar Pakai Perahu, Berlabuh di Aceh Indonesia

Seratusan muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar, mengarungi lautan dengan perahu dan mendarat di sepanjang pantai Aceh, Selasa (15/11/2022) pagi.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Nov 2022, 07:01 WIB
Ilustrasi perahu. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Aceh - Seratusan muslim Rohingya yang bepergian dengan perahu selama lebih dari sebulan berlabuh di sepanjang pantai Provinsi Aceh, Indonesia pada hari Selasa. Kelompok pengungsi terbaru ini diyakini melakukan perjalanan laut yang berbahaya dari Myanmar.

Mengutip dari AP News, Selasa (15/11/2022), nelayan lokal melihat 110 Rohingya pagi-pagi sekali di sebuah pantai di Desa Meunasah Baro, Aceh Utara. Mereka termasuk 65 pria, 27 wanita dan 18 anak-anak, menurut Herman Saputra, Kapolsek Muara Batu.

Otoritas lokal sedang mengumpulkan data dari para pengungsi untuk menentukan keadaan mereka. Menurut laporan, mereka dalam keadaan lemah dan lapar.

Sementara ini, mereka dipindahkan ke balai masyarakat di desa untuk pemeriksaan kesehatan sampai pihak berwenang memutuskan di mana akan menampung mereka. 

Muhammad Amin, salah satu pengungsi, menuturkan, sebelum terdampar di perairan Aceh, mereka mengincar Malaysia sebagai tujuan akhir.

Pada bulan Maret, 114 pengungsi Rohingya juga ditemukan di sebuah pantai di Kabupaten Bireuen di Provinsi Aceh.

Ratusan ribu Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar yang mayoritas beragama Buddha ke kamp-kamp pengungsi di Bangladesh sejak Agustus 2017, ketika militer Myanmar melancarkan operasi sebagai tanggapan atas serangan oleh kelompok pemberontak.

Pasukan keamanan Myanmar juga diduga melakukan pemerkosaan massal, pembunuhan, dan pembakaran ribuan rumah Rohingya.

Kelompok Rohingya telah berusaha meninggalkan kamp-kamp di Bangladesh melalui laut untuk mencari kehidupan yang lebih baik di negara-negara mayoritas Muslim lainnya yang terdekat.

Malaysia telah menjadi tujuan umum kapal-kapal tersebut meskipun banyak pengungsi Rohingya yang mendarat di sana menghadapi penahanan.

Meskipun Indonesia bukan penandatangan Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951, badan pengungsi PBB mengatakan bahwa peraturan presiden tahun 2016 memberikan kerangka hukum yang mengatur perlakuan terhadap pengungsi di atas kapal yang mengalami kesulitan di dekat Indonesia dan membantu mereka turun di negara tersebut.


Sekelompok Orang Bunuh 2 Pemimpin Rohingya di Bangladesh, Serangan Terburuk Terbaru

Pandangan umum dari Kamp Pengungsi Kutupalong di Cox's Bazar, Bangladesh, Senin (22/7/2019). Lebih dari satu juta etnis Rohingya melarikan diri dari Myanmar dan menetap di Kutupalong yang merupakan salah satu kamp pengungsi terbesar di dunia. (MUNIR UZ ZAMAN/AFP)

Bulan lalu, kondisi kamp-kamp pengungsi di Bangladesh juga dikabarkan memburuk.

Sekelompok orang melakukan aksi pembunuhan terhadap dua pemimpin komunitas Rohingya di Bangladesh, ketika kondisi keamanan memburuk di kamp-kamp yang menampung hampir satu juta pengungsi.

Dilansir Al Jazeera, Senin (17/10/2022), juru bicara polisi Faruk Ahmed mengatakan para pemimpin Rohingya tewas Sabtu malam di Camp 13. Ia menyebutnya sebagai salah satu serangan terburuk dalam beberapa bulan terakhir.

"Lebih dari selusin penjahat Rohingya menyerang Maulvi Mohammad Yunus (38) yang merupakan ketua majhi Camp 13. Mereka juga membunuh Mohammad Anwar (38), majhi lainnya. Yunus meninggal di tempat dan Anwar meninggal di rumah sakit,” kata Ahmed.

“Majhi” adalah istilah untuk pemimpin kamp Rohingya.

Seorang perwira senior dari unit polisi elit yang bertugas menjaga keamanan di kamp-kamp itu menyalahkan pembunuhan itu pada Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), sebuah kelompok bersenjata yang memerangi militer di Myanmar.

"Ini adalah pembunuhan yang ditargetkan oleh ARSA. Bentrokan internal di Myanmar berdampak pada situasi keamanan di kamp-kamp," katanya, yang berbicara tanpa menyebut nama.

Permukiman kumuh tersebut telah mengalami peningkatan kekerasan dalam beberapa bulan terakhir, dengan kelompok-kelompok mencoba untuk menegaskan kontrol atas perdagangan narkoba dan mengintimidasi kepemimpinan sipil pengungsi melalui pembunuhan dan penculikan.


Hampir 60 Warga Rohingya Ditemukan Telantar di Sebuah Pulau Thailand

Sejumlah perahu berlabuh di Maya Bay, pulau Phi Phi Leh, Thailand, Kamis (31/5). Maya Bay akan ditutup untuk memulihkan terumbu karang yang sakit akibat peningkatan suhu serta pencemaran lingkungan oleh pengunjung. (AP Photo/Sakchai Lalit)

Di sisi lain, pengungsi Rohingya juga pernah ditemukan terdampar di Thailand.

Lima puluh sembilan orang Rohingya telah ditemukan di sebuah pulau Thailand, mengatakan mereka ditinggalkan oleh pedagang dalam perjalanan ke Malaysia, kata seorang perwira polisi senior pada Minggu (5 Juni).

Dilansir dari laman Channel News Asia, Senin (6/6/2022), kelompok itu--di antaranya lima anak-anak-- ditemukan di Pulau Koh Dong di Provinsi Satun Selatan pada Sabtu, kata Letnan Jenderal Surachet Hakpan.

Setiap tahun, ribuan minoritas Muslim Rohingya yang sebagian besar dianiaya di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, mempertaruhkan hidup mereka dalam perjalanan selama berbulan-bulan untuk mencapai Malaysia melalui Laut Thailand.

Polisi mengatakan mereka telah didakwa dengan masuk secara ilegal dan dapat menghadapi deportasi ke Myanmar setelah kasus pengadilan.

"Kami memberikan bantuan kemanusiaan dan akan menyelidiki apakah mereka adalah korban perdagangan manusia atau jika mereka masuk secara ilegal," kata Surachet.

Kelompok itu tampak "kelaparan dan kemungkinan tidak makan selama tiga sampai lima hari", kata sebuah pernyataan polisi.

Anggota kelompok mengatakan kepada petugas bahwa kapal mereka termasuk di antara tiga kapal yang membawa 178 orang yang telah meninggalkan Myanmar dan Bangladesh, setelah membayar agen sekitar RM5.000 (Rp 16,4 juta) untuk perjalanan tersebut.

Selengkapnya di sini ...


Pengadilan PBB Tolak Keberatan Myanmar, Kasus Genosida Rohingya Tetap Disidangkan

Bendera PBB - Image by Edgar Winkler from Pixabay

Sementara itu, bagaimana sikap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas kejahatan HAM yang menimpa muslim Rohingya ini?

Majelis hakim di pengadilan tertinggi PBB, pada Jumat, 22 Juli 2022, menolak keberatan awal Myanmar atas kasus yang menuduh negara Asia Tenggara itu bertanggung jawab atas genosida terhadap etnis minoritas Rohingya.

Dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (24/7/2022), keputusan yang menetapkan yurisdiksi Mahkamah Internasional memastikan penyelenggaraan sidang yang akan menyiarkan bukti-bukti kekejaman terhadap Rohingya, yang menurut kelompok hak asasi manusia dan hasil penyelidikan PBB telah melanggar Konvensi Genosida tahun 1948.

Maret lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan bahwa penindasan yang disertai kekerasan terhadap populasi Rohingya di Myanmar, yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, tergolong genosida.

Tun Khin, presiden Organisasi Rohingya Burma Inggris, menyambut baik keputusan itu. ia mengatakan, 600.000 warga Rohingya “masih menghadapi genosida,” sementara “satu juta orang yang berada di kamp-kamp di Bangladesh, mereka menanti harapan ditegakkannya keadilan.”

Gambia, negara di benua Afrika, mengajukan kasus tersebut tahun 2019 di tengah kemarahan dunia atas perlakuan terhadap warga Rohingya, di mana ratusan ribu di antara mereka melarikan diri ke Bangladesh, negara tetangganya, di tengah tindakan brutal pasukan Myanmar pada 2017. Gambia berpendapat bahwa negaranya dan Myanmar sama-sama penandatangan Konvensi 1948, dan semua penandatangan memiliki kewajiban untuk menjamin konvensi itu ditegakkan.

 

Penulis: Safinatun Nikmah

Infografis Indonesia, Tempat Transit Pengungsi Global. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya