Ketua DPD Sebut Penjajahan Ekonomi Pelanggaran Hak Kesejahteraan 

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyatakan, penjajahan ekonomi pada hakikatnya adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Des 2022, 16:34 WIB
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menyatakan, penjajahan ekonomi pada hakikatnya adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Khususnya hak atas kesejahteraan. Sebab tujuan dari lahirnya negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Hal itu dikatakan LaNyalla yang hadir secara virtual dalam Seminar Nasional Hari HAM Internasional bertema “Urgensi Penegakan HAM Demi Mewujudkan Indonesia Yang Berkeadilan” pada Sabtu (10/12/2022).

"Hak Asasi paling mendasar dan substansial adalah kemerdekaan semua bangsa. Ini sudah dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Tertuang dalam naskah Pembukaan UUD kita. Sehingga tidak boleh ada kolonialisme dalam bentuk apapun, karena itu sama dengan penjajahan," kata LaNyalla.

Hanya saja, hari ini terjadi pola kolonialisme dalam bentuk baru yang menyusup melalui wajah Globalisasi yang menyatu dengan oligarki ekonomi di dalam negeri.  Menurut LaNyalla, integrasi ini ditandai dengan sejumlah perjanjian internasional sebagai konsekuensi pergaulan internasional yang memaksa bangsa ini untuk menjalaninya.  

"Persoalannya adalah, perjanjian-perjanjian atau ratifikasi hukum internasional tersebut berlatar kebutuhan kita atau kebutuhan mereka?" tanya LaNyalla.

"Ini otokritik dari saya terhadap persoalan Hak Asasi Manusia. Karena penjajahan dalam bentuk lain masih terjadi hingga hari ini. Indonesia menjadi salah satu korban penjajahan ekonomi, melalui globalisasi yang berwatak predatorik," tegas dia lagi. 

Menurut Senator asal Jawa Timur itu penjajahan ekonomi dalam bentuk baru ini menyebabkan jutaan rakyat Indonesia kehilangan hak atas kesejahteraan. Padahal hak atas kesejahteraan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi. 

LaNyalla memberi satu contoh yang dialami Indonesia saat krisis moneter di tahun 1997-1998. Saat itu terjadi penandatanganan Letter of Intent IMF oleh Presiden Soeharto.

"Apakah penandatanganan saat itu selaras dengan konstitusi kita? Konstitusi kita jelas memproteksi rakyat Indonesia. Sementara IMF mensyaratkan penghapusan subsidi dan proteksi demi kepentingan pasar bebas. Siapa yang happy dari penandatanganan Letter of Intent IMF? Kita atau kapitalisme global?" ucapnya. 

Padahal di satu sisi, katanya, kewajiban negara dalam proses ratifikasi perjanjian internasional adalah untuk memastikan keselarasan dengan konstitusi dan mentransformasikan ke hukum nasional. Tapi alih-alih hal itu menjadi koreksi. Justru sebaliknya, di era reformasi negara ini melakukan perubahan Undang-Undang Dasar secara total dari tahun 1999 hingga 2002. Perubahan itu justru membuka ruang bagi ‘penjajahan ekonomi’ wajah baru melalui liberalisasi ekonomi yang kapitalistik di Indonesia

Dalam perubahan itu memang ada 10 pasal tentang Hak Asasi Manusia. Tetapi di sisi lain, hak atas kesejahteraan tergerus oleh Daulat Pasar.  


Jami Kehidupan Rakyat

Dilanjutkannya, dari perubahan konstitusi tersebut, kekuasaan negara terhadap kekayaan yang terkandung di dalam bumi dan air, serta cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak telah dilucuti, untuk diberikan kepada swasta dan asing. 

Karena negara sudah dilucuti untuk menguasai dan mengolah kekayaan Sumber Daya Alam Indonesia yang melimpah ini, negara hanya berfungsi sebagai 'host' bagi investor. 

"Kewajiban pemerintah untuk menjamin rakyat dapat mengakses kebutuhan hidupnya, dikatakan sebagai Subsidi. Sehingga sewaktu-waktu Subsidi dapat dicabut, karena APBN tidak mampu lagi mengcover biaya tersebut," katanya. Menurut LaNyalla, hal itu pada hakikatnya adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya hak atas kesejahteraan. 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya